Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Salah seorang sahabat Nabi yang sangat dikasihi adalah Abu Dzar Al-Ghifari. Dia berasal dari suku Ghifar dikenal sebagai sosok yang memiliki keteguhan hati, berpikiran matang, dan visioner.
Dia orang pertama yang mengucapkan salam Islam pada zaman Jahiliah. Dipuji Nabi sebagai sahabat yang lidahnya paling jujur. Dia hidup sederhana dan bergabung dengan orang-orang yang sederhana. Islam telah mengubah masa lalunya sebagai pemberontak menjadi seorang pejuang.
Sebagai sahabat Nabi, banyak nasihat Nabi kepadanya. Salah satu di antaranya: “Nabi saw yang mulia berwasiat kepadaku beberapa hal yang baik. Dia berwasiat agar aku tidak memandang orang yang di atasku dan hendaknya memandang orang yang lebih di bawahku. Dia mewasiatkan kepadaku agar untuk menyayangi orang miskin dan akrab dengan mereka. Dia mewasiatkan kepadaku untuk menyambung persaudaraan walaupun kepada orang yang menjauhiku. Dia mewasiatkan kepadaku untuk tidak takut pada kecaman orang yang mengecam dalam menegakkan agama Allah. Dia mewasiatkan kepadaku untuk mengatakan yang benar walaupun pahit. Akhirnya dia mewasiatkan kepadaku untuk memperbanyak bacaan La haula wa la quwwata illa billah, karena kalimat itu termasuk perbendaharaan surga”.
Wasiat Nabi kepada Abu Dzar mengandung makna bahwa kesederhanaan menjadi kunci untuk mereguk kebahagiaan. Sikap sederhana akan menjadikan nikmat yang sedikit menjadi sesuatu yang melapangkan dada. Meskipun harta minim jika memiliki jiwa kanaah, menyebabkan pelakunya kaya jiwa.
Sedangkan kekayaan jiwa tidak mungkin dimiliki ketika hidup kita jauh dari sikap sederhana. Menjalani hidup perlu sikap sederhana. Bayangkan jika seseorang berusaha berpenampilan tidak seperti kehidupan sebenarnya, pakaian, aksesori, makanan, kendaraan, bahkan parfum yang boleh jadi sangat mahal jika dibanding dengan keadaan kita yang sebenarnya.
Hasilnya adalah kita tidak pernah merasa puas, karena hidup diliputi dan berpacu melawan sejumlah keinginan. Kita pun jadi lupa diri, karena senantiasa diliputi perasaan iri.
Bandingkan sikap kesederhanaan yang dipraktikkan para sahabat Nabi dalam menjalani hidup, kurang kaya apa Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Usman bin Affan. Sepanjang hidup mereka tidak pernah berfoya-foya, menunjukkan bahwa sikap sederhana yang mereka tunjukkan bukanlah bukti kemiskinan.
Perhatikan kemuliaan Umar bin Khattab, ketika menjadi khalifah tidak pernah memperalat takhta dan kekuasaan untuk memperkaya diri dan keluarga. Sikap kesederhanaan Umar bukanlah bukti kerendahan derajat.
Telusuri kepakaran Ali bin Abi Thalib, sehingga Nabi sendiri menyebutnya sebagai gerbang atau pintu ilmu, meskipun demikian ungkapan hikmah yang terlontar dari pikiran dan lisannya senantiasa mudah dicerna dan dimengerti oleh siapa saja. Sikap kesederhanaan bukan bukti kebodohan.
Selanjutnya sadari dan segera berbenah diri untuk memulai seluruh aspek kehidupan dengan pola hidup sederhana mulai dari sekarang, jika kita mendambakan kebahagiaan menaburi kehidupan kita. Dalam bidang apa saja pola hidup sederhana dapat kita terapkan, misalnya sebaiknya kita melakukan sesuatu yang dapat kita wujudkan.
Hindari untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak dapat kita lakukan. Dalam beragama sekalipun, Tuhan memerintahkan kita agar menjalankan sesuai dengan kadar kemampuan.
“Bertakwalah kamu kepada Allah sesuai dengan batas kesanggupanmu”. Sejalan dengan pesan tersebut, Rasulullah juga melarang kita beribadah secara berlebihan, apalagi di luar batas kemampuan. “Tiadalah seseorang mengeras-ngeraskan agama, kecuali agama akan mengalahkannya,” demikian tutur Sang Nabi.
Keberuntungan senantiasa merupakan hasil dari upaya nyata, bukan dari sesuatu yang serba mistis yang berujud angan-angan. Karena keberuntungan tidak selalu bermula dari proses yang menyenangkan.
Mereka yang terkena PHK, akhirnya diterima bekerja di perusahaan yang lebih bonafide. Ada juga yang gagal menikah dengan kekasih pujaan hati, nyatanya mendapat jodoh yang lebih setia. Dan sederet contoh-contoh serupa yang hadir di pelupuk mata, bersikap sederhana kunci meraih kebahagiaan. (*)