Pemuda dan Tantangan Disrupsi Teknologi

  • Bagikan

Oleh: Babra Kamal
Akademisi Universitas Teknologi Sulawesi

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pada 28 Oktober 2024 kita memperingati Hari Sumpah Pemuda. Ini merupakan peristiwa historis. Hampir seabad yang lalu pemuda dari berbagai daerah berkumpul dan mengikrarkan diri, menjadi satu kesatuan: bertumpah darah satu tanah air Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.

Tak pelak lagi, peran anak muda dalam setiap pergerakan dan sejarah bangsa memang tak dapat ditampik, dimulai dari kebangkitan nasional, Sumpah Pemuda, Revolusi Agustus 1945, Peristiwa 66, Malari, hingga Reformasi 98.

Hari ini peran mereka tidak kalah signifikan. Event politik yang baru saja berlalu pada 2024 yakni pemilu dan pilpres serta Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) serentak 27 November yang akan datang menjadikan posisi anak muda sangat strategis dalam menentukan arah bangsa dan daerah. Menurut data CSIS pemilih milenial dan gen Z di atas 60 persen.

Pemuda dalam hal ini milenial dan gen Z tentu saja menempati porsi paling besar mendapat perhatian bagi para kandidat yang akan bertarung di pilkada. Tidak hanya jumlah mereka yang signifikan tapi secara kualitas akan mempengaruhi demokrasi ke depan.
Sebagai kelompok yang mendominasi pemilih di tahun 2024, penting untuk mencermati komitmen generasi muda terhadap demokrasi melihat perilaku dan partisipasi politik mereka sehingga kita bisa memahami aspirasi politik mereka.

Karakter Generasi

Seperti kita ketahui ada hubungan kausalitatif antara perkembangan teknologi dan karakter tiap generasi. Hal ini bisa dilacak dari bagaimana mereka tumbuh dan lingkungan seperti apa yang membentuk mereka.

Tanpa bermaksud menyingkirkan generasi yang lebih tua, saya akan memfokusan tulisan ini pada tiga generasi saja yakni generasi X, milenial, dan gen Z. Mari kita mengurai bagaimana karakter ketiga generasi ini.

Gen X rentang usia (45-59) tahun mereka cenderung memandang bahwa hierarki sosial sangat penting. Bisa dikatakan mereka sangat strukturalis memandang segala sesuatunya secara vertikal. Masa depan mereka berada di dalam struktur. Sukses bagi gen X adalah ketika mampu naik tangga secara perlahan dan berada di puncak hierarki. Mereka memimpikan bekerja di lembaga pemerintah atau institusi bisnis yang mapan.

Pada umumnya ijazah sangat penting bagi mereka dan relasi dengan patron harus dijaga dengan baik. Tidak heran muncul teori Korea yang dipromosikan politisi PDIP Bambang Pacul yakni bagaimana cara mencari galah agar melenting. Hal itu sangat khas generasi X.

Sementara itu gen milenial yang berada dalam rentan usia (25-44) tahun kerap dihubungkan dengan teknologi, khususnya teknologi informasi (internet). Karena itu, generasi milenial juga dikenal dengan sebutan digital native. Sedari kecil mereka tumbuh dengan teknologi dan internet.

Generasi ini tidak lagi memandang hierarki sosial sepenting generasi X. Mereka cenderung tidak lagi memandang perlunya memanjat status sosial seperti generasi X, tapi Quasi-Meritrokratik, alih-alih mengandalkan ijazah mereka justru fokus pada keahlian yang mereka punya. Kaum milenial adalah pencipta isu di media sosial dan wirausahawan paruh waktu menjadi ciri pekerjaan mereka.

Generasi Z (15-24) bukan hanya telah mengenal internet sedari kecil. Generasi inilah memprakarsai hidup bersama internet dan bahkan AI yang saat ini menjadi sangat masif. Karena itu, mereka ini adalah generasi yang menggunakan teknologi digital, tak seperti dua generasi sebelumnya, gen Z tidak lagi memandang hierarki sosial secara vertikal, tapi horizontal dalam bentuk kolaborasi yang menjadi penanda mereka.

Media sosial tidak hanya menjadi ajang eksistensi tapi sudah menjadi sumber kemakmuran bagi mereka. Maka berwirausaha penuh waktu menjadi jalan ninja mereka. Generasi ini adalah pencipta nilai-nilai baru di dalam masyarakat.

Bonus Demografi dan Bonus Teknologi

Anak muda dalam hal ini generasi milenial dan gen Z menghadapi tantangan yang tentu saja tidak mudah terutama disrupri teknologi. Jika sebelumnya ekonomi ditopang dari sektor ekstraktif, saatnya mulai memikirkan industri kreatif yang lokomotifnya anak muda.
Tantangan disrupsi teknologi yakni terjadinya inovasi dan perubahan besar-besaran secara fundamental karena digitalisasi.

Situasi keberlimpahan teknologi (bonus teknologi) dalam hal ini: pertama, kecepatan kekuatan pemrosesan yang meningkat berkali lipat dari sebelumnya. Kedua, big data yang telah menjadi sumber daya “minyak” baru di abad ke-21. Ketiga, Internet Of Things dan keempat, kecerdasan buatan (AI) yang dalam 5-10 tahun mendatang akan mampu melakukan sebagian besar tugas-tugas manusia dengan lebih baik.

Tentu saja hal tersebut menjadi PR bersama yang tidak boleh dipandang sebelah mata oleh pemerintahan baru yang akan datang agar mampu memanfaatkan bonus teknologi dan bonus demografi di segala sektor. Untuk memanfaatkan bonus demografi dengan optimal, perlu ada peningkatan kualitas sumber daya manusia, akses pendidikan, serta kesempatan kerja yang luas. Tanpa persiapan yang baik, bonus demografi ini bisa menjadi beban ekonomi, seperti tingginya angka pengangguran dan masalah sosial.

Jika kita ingin menggapai cita-cita Indonesia Emas 2045, tentu saja kita membutuhkan kerja bersama. Meminjam istilah Bung Karno “gotong royong” harus menjadi spirit di dalam kehidupan kita.

Ke depan tidak hanya transfer knowledge tetapi juga transfer teknologi menjadi keniscayaan menuju cita-cita bersama masyarakat adil dan makmur. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version