Oleh: Nildawati, SKM., M.Kes. (Epid)
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Perkembangan teknologi kesehatan, khususnya mobile health (mHealth), telah mengubah pengelolaan sistem kesehatan secara global. Inovasi ini memungkinkan layanan kesehatan dapat diakses secara jarak jauh, mengurangi hambatan geografis dan meningkatkan aksesibilitas, terutama bagi masyarakat di daerah terpencil.
Melalui aplikasi mHealth, pengguna dapat memantau kesehatan, berkonsultasi dengan dokter, dan memperoleh informasi serta edukasi kesehatan dengan mudah. Inisiatif Be He@lthy, Be Mobile (BHBM) dari WHO merupakan program kesehatan seluler global yang berfokus pada pencegahan dan pengelolaan penyakit tidak menular (PTM).
Sejak diluncurkan pada 2013, BHBM telah menjangkau 3,7 juta pengguna di 12 negara. Program ini menunjukkan potensi besar dalam pengelolaan PTM, terutama di wilayah yang kurang terlayani.
Penggunaan teknologi digital, seperti aplikasi mobile dan telemedicine, terbukti efektif dalam meningkatkan manajemen penyakit kronis di berbagai konteks. Kesehatan seluler membantu pencegahan, pengelolaan, dan pengobatan penyakit dengan menyediakan dukungan kepada pasien dan penyedia layanan kesehatan melalui pesan teks dan aplikasi seluler.
Beberapa negara telah sukses mengimplementasikan aplikasi mHealth. Misalnya, Senegal dengan mDiabetes yang memiliki lebih dari 117.000 pengguna, India dengan mTobaccoCessation sebanyak 2,1 juta pengguna, dan Zambia dengan mCervicalCancer yang menjangkau lebih dari 600.000 pengguna. Di Indonesia, Kementerian Kesehatan telah meluncurkan lima aplikasi untuk mendukung kesehatan masyarakat, termasuk SATUSEHAT dan Sehat Indonesiaku Training.
Namun di balik resolusi kesehatah digital yang dianggap memudahkan, terdapat tantangan etika, terutama terkait privasi, dan keamanan data pengguna. Risiko kebocoran data pengguna dapat mengancam privasi, misalnya, perusahaan asuransi dapat memanfaatkan data yang bocor untuk kepentingan mereka.
Untuk melindungi privasi dalam mHealth, kebijakan keamanan yang kuat sangat diperlukan. Penggunaan enkripsi dan kontrol akses yang ketat penting untuk melindungi data pribadi. Transparansi tentang bagaimana data pengguna akan digunakan juga sangat penting. Pengguna perlu dididik mengenai risiko aplikasi kesehatan untuk membuat keputusan yang tepat.
Persetujuan yang diinformasikan juga harus diperhatikan. Pengguna harus diberi informasi yang jelas tentang penggunaan data mereka. Proses persetujuan harus mudah dipahami agar kepercayaan antara pengguna dan penyedia layanan dapat terbangun. Keadilan akses mHealth juga menjadi perhatian.
Meskipun teknologi meningkatkan akses layanan kesehatan, masih ada kesenjangan antara mereka yang memiliki dan tidak memiliki akses. OleH karena itu, kolaborasi antara pemerintah dan organisasi kesehatan diperlukan untuk menyediakan infrastruktur yang mendukung.
Meskipun teknologi meningkatkan akses dan efisiensi, interaksi manusia dalam perawatan kesehatan tidak boleh diabaikan. Ketergantungan berlebihan pada aplikasi dapat mengurangi kualitas perawatan. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara teknologi dan interaksi manusia dan etika.
Implementasi mHealth yang berhasil memerlukan kemitraan lintas sektor, regulasi yang mendukung, dan alokasi sumber daya yang efektif. Berbagai aplikasi mHealth global telah menunjukkan dampak positif, termasuk di Indonesia melalui program-program yang dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan.
Secara keseluruhan, mHealth menawarkan inovasi yang menjanjikan dalam meningkatkan pengelolaan kesehatan masyarakat. Namun, tantangan etika seperti privasi, keamanan data, dan akses yang adil harus diatasi.
Dengan pendekatan yang hati-hati, kita dapat memanfaatkan potensi mHealth tanpa mengorbankan nilai-nilai etika dasar. Menjaga keseimbangan antara inovasi dan etika adalah kunci untuk menciptakan layanan kesehatan yang lebih baik di era digital ini. (*)