Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Gambaran diri yang kita tampilkan di hadapan pergaulan masyarakat disebut public self. Di tengah-tengah masyarakat kita ingin menyajikan diri kita seperti “naskah” yang kita persiapkan. Kita semua sebagai pemain drama, seorang pembicara di hadapan publik menggunakan berbagai istilah-istilah asing, untuk membentuk kesan bahwa pembicara tersebut adalah orang pintar.
Seorang birokrat yang berbicara di hadapan para ulama dengan mengemukakan ayat-ayat Alquran dan hadis, meskipun tidak relevan dengan apa yang diucapkannya. Karena berhari-hari ia menghafalkan ayat-ayat dan hadis itu, bukan bermaksud mengajari para ulama, melainkan sedang mengelola kesan orang lain terhadap dirinya bahwa dia tahu banyak tentang agama.
Karena kita memahami, orang membentuk kesan tentang diri kita dari perilaku yang kita tampilkan, kita rekayasa perilaku kita. Orang lain akan memberi kesan tentang diri kita dari pembicaraan kita; maka kita atur pembicaraan kita sesuai dengan kesan yang ingin kita peroleh. Rekayasa kesan selanjutnya disebut pengelolaan kesan.
Setiap hari kita melakukan pengelolaan kesan. Jika kita mengelola kesan dengan menggunakan sesuatu yang dapat dilihat, maka ini disebut riya’. Misalnya, ketika di masjid Anda melakukan salat dengan membaca ayat-ayat yang panjang, salat sunat yang banyak.
Agar memberi kesan kepada orang lain bahwa Anda orang yang sangat religius. Sedang ketika di rumah Anda baca ayat yang pendek-pendek dan jarang salat sunat. Ini berarti Anda merekayasa kesan dengan mempertontonkan sikap keberagamaan Anda.
Jika Anda memperdengarkan kebaikan-kebaikan yang telah Anda lakukan kepada orang lain. Misalnya, membantu orang lain yang membutuhkan bantuan, peduli kepada mereka yang teraniaya, memberi makan kepada mereka yang kelaparan, memberi pakaian dan selimut kepada mereka yang kedinginan.
Kebaikan yang Anda perdengarkan kepada orang lain disebut sum’ah. Riya’ dan sum’ah keduanya bertentangan dengan ikhlas. Jika ikhlas adalah beribadah dan beramal saleh untuk mendekatkan diri kepada Allah (karena Allah), sedang riya’ dan sum’ah beribadah dan beramal saleh untuk mendekatkan diri kepada manusia (karena manusia).
Makna ikhlas dengan indah digambarkan dalam doa iftitah setiap salat kita berjanji, “Sesungguhnya salatku, pengorbananku, hidupku, dan matiku Lillahi Rabbil ‘Alamin”. Lillahi Rabbil ‘Alamin mengandung makna: karena Allah, kepunyaan Allah, dan untuk Allah.
Bila Anda memberikan bantuan kepada orang yang kesusahan, karena Anda mengetahui bahwa Allah memerintahkannya, Anda beramal karena Allah. Namun, bila Anda menghentikan bantuan kepada orang itu, karena ternyata tidak berterima kasih bahkan menceritakan kejelekan Anda ke mana-mana, Anda tidak ikhlas.
Karena Anda beramal sangat dipengaruhi oleh reaksi orang lain pada Anda. Semangat Anda melakukan kebaikan bergantung pada penghargaan orang kepada Anda, memuji Anda, dan memperhatikan Anda. Gairah Anda untuk berjuang hilang ketika orang mencemooh Anda, menjauhi Anda, bahkan mengganggu Anda.
Imam Ali Karramallahu wajhah berkata, “Ada empat tanda orang yang riya’, malas bila beribadah sendirian, rajin di depan orang banyak, bertambah amalnya bila dipuji, dan berkurang amalnya jika tidak ada yang memujinya”. Perhatikan salat Anda. Anda salat di masjid dengan khusyuk.
Anda lakukan salat sunat. Anda sempurnakan dengan wirid yang panjang. Semuanya Anda lakukan dengan mudah. Namun, ketika Anda salat di rumah, Anda salat dengan cepat. Sesudahnya Anda baca wirid yang sangat pendek, kemudian meninggalkan tempat salat tanpa salat sunnah. Hati-hati gejala riya’ menghampiri Anda.
Riwayat menyebutkan ketika orang-orang digiring ke neraka. Allah Swt. memerintahkan agar Malik (malaikat penjaga neraka) tidak membakar kaki-kaki mereka, karena kaki-kaki itu pernah digunakan melangkah ke masjid dan tidak membakar tangan-tangan mereka, karena tangan-tangan itu pernah diangkat untuk berdoa.
Malik bertanya, “Apa yang terjadi pada kalian hai orang-orang yang celaka?” Ahli neraka itu menjawab, “Kami dahulu beramal bukan karena Allah”. (*)