Selain kehidupan masyarakat yang terbatas, akses terhadap pendidikan pun demikian. Di Pulau Layya, ada SD 8 Layya, dan SMP 5 yang sehari-harinya menjalankan proses belajar mengajar. Namun akses listrik minim. Akibatnya para siswa harus puas belajar hanya dengan mengandalkan buku hasil foto kopi dari guru.
"Di sekolah kami para siswanya sangat terbatas menerima pelajaran sebab disiang hari tak ada akses ke listrik," ujar Wakil Kepala sekolah SMPN 5 Liukang Topa Biring Utara, M. Ziaul Haq.
Kondisi semakin parah ketika musim kemarau, suhu di pulau Layya lebih panas dari beberapa tempat di Sulawesi Selatan. Para siswa memiliki satu kipas angin di masing-masing kelas, namun tidak adanya listrik membuat kipas hanya sebagai pajangan dan tempat laba-laba membuat sarang.
"Kondisi sebelum ada penerangan listrik hanya digunakan 2 jam sehari, itupun tidak setiap hari. Kondisi ini fatal karena bisa merusak bahan elektronik seperti kipas,dan laptop. Biayanya pun luman mahal sekitar Rp30 Ribu perhari. Jadi kita memili untuk menggunakan buku cetak saja di foto copy atau di print kemudian diberikan ke siswa," tambahnya.
Setelah menggunakan Super Sun, barang elektronik seperti laptop, proyektor bisa di gunakan, begitupun kipas angin dan siswa lebih nyaman belajar.
Perekonomian sama pincangnya dengan pendidikan di pulau ini. Mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan menjadikannya sangat tergantung dengan listrik. Namun karena kondisi, ikan hasil tangkapan nelayan terpaksa di jual langsung ke kota dengan harga lumayan murah.
Tidak ada es batu jadi kendala paling berat bagi masyarakat Pulau Layya. Es batu dibutuhkan untuk menjaga ikan tetap segar dan tahan lama, tetapi karena tak ada es batu, maka mau tak mau ikan harus dijual secepatnya dan para nelayan tidak ada pilihan bahkan sekedar untuk tawar menawar harga.