Oleh: Babra Kamal
Akademisi Universitas Teknologi Sulawesi
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - "Gunung pun akan kudaki, lautan kuseberangi asalkan ku dapati cinta kasih abadi, permata aku tak peduli."
Kurang lebih seperti itulah potongan lirik lagu "Hidupku untuk Cinta" yang dipopulerkan oleh Titiek Puspa. Begitu pula mungkin kurang lebih gambaran tekad para kandidat calon kepala daerah bersama tim suksesnya yang berusaha dengan segala cara untuk meraih suara pemilih yang tak kenal waktu siang-malam bersosialisasi.
Sistem politik indonesia yang menurut sebagian pengamat di antaranya Edward Aspinall dan Ward Berenschot dalam bukunya "Democracy for Sale" mengatakan ciri politik di Indonesia adalah relasi patron-klien. Patron kurang lebih adalah para politisi, seorang tokoh, atau wali masyarakat. Sementara rakyat pemilih adalah kliennya.
Tapi dalam konteks jelang pilkada situasinya berbalik. Dalam beberapa bulan jelang pilkada patronnya berbalik kepada rakyat pemilih, sementara kliennya adalah para politisi pencari suara. Para politisi akan menghamba untuk memperoleh suara para patron mereka; rakyat.
Kurang lebih 13 hari ke depan kita akan memasuki masa-masa paling genting dari pemilihan kepala daerah yang akan dilaksanakan secara serentak untuk pertama kalinya. Para kandidat telah ditetapkan oleh KPU setidaknya telah melewati satu atau dua kali debat kandidat. Tulisan ini mencoba menganalisis titik-titik krusial seminggu jelang pencoblosan, 27 November 2024.
Politisasi Birokrasi
Titik pertama adalah politisasi birokrasi. Kandidat akan menggunakan seluruh sumber daya termasuk berusaha dengan koneksi yang ada untuk menggunakan aparatur negara terutama para ASN jika merujuk ke aturan adalah wilayah yang terlarang untuk mereka terlibat.
Hal ini sesuai dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 282 yang menyatakan pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.
Baru-baru ini, tim hukum dari salah satu pasangan cabup dan cawabup di Kabupaten Gowa melaporkan tiga oknum camat, dua oknum anggota kepolisian, dan beberapa oknum kepala desa kepada Bawaslu. Mereka diduga melakukan politik praktis dengan mengarahkan dukungan kepada salah satu pasangan calon tertentu dalam Pilkada.
Begitu pula yang terjadi di Kabupaten Sinjai. Perwakilan Asosiasi Pemeritah Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten Sinjai menggeruduk kantor DPRD. Mereka meminta menggelar RDP untuk membahas netralitas ASN di Pilkada Sinjai, termasuk mencopot kadisdik Sinjai karena dianggap "cawe-cawe" pada kontestasi pilkada.
Situasi ini memperkuat dugaan bahwa netralitas yang seharusnya dipegang teguh oleh aparatur negara telah dilanggar. Oknum camat dan ASN sebagai bagian dari birokrasi, seharusnya menjadi pilar netralitas dalam pemilu. Namun, jika mereka terbukti mendukung pasangan tertentu, hal ini tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga mencederai kepercayaan publik terhadap proses demokrasi yang akan dihelat pada November mendatang.
Money Politics
Titik krusial yang kedua adalah politik uang yang menggejala setidaknya dalam dua dekade terakhir. Pilkada kali ini tentu saja salah satu ujian demokrasi bagi perjalanan bangsa ke depan.
Bukan hanya karena pelaksanaannya yang serentak, tapi juga baru saja kita melewati Pemilu 2024 yang oleh sebagian pengamat dikatakan sebagai pemilu paling brutal sepanjang sejarah.
Beberapa bentuk money politics yang mengemuka. Pertama, "vote buying" adalah pembelian suara atau pemberian amplop. Ini adalah bentuk paling vulgar dari politik transaksional.
Yang kedua, "public goods" seperti pemberian sumbangan kepada rumah ibadah ataupun memberikan santunan kepada kelompok-kelompok masyarakat.
Baru-baru ini salah satu lembaga survei dalam rilisnya tentang gejala politik uang di masyarakat memaparkan data; sekitar 45,1 persen responden mengatakan akan menerima barang/uang dan memilih calon tersebut, 24,6 persen mengatakan menolak pemberian uang/barang tersebut dan 15,7 persen menerima uang dan barang tapi belum tentu memilih calon tersebut dan 14,6 persen menjawab tidak tahu/ tidak jawab.
Dari survei ini tergambar bahwa tingkat persentase pemilih yang masih toleran terhadap money politics masih sangat tinggi.
Padahal regulasi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada telah mengatur dengan jelas tentang money politics. Jika pada UU Pemilu hanya oknum pemberi yang dikenakan sanksi, tapi pada UU Pilkada sanksinya tidak hanya kepada pemberi tapi juga penerima uang.
Sesungguhnya money politics merupakan buah dari sistem politik klientelisme yang menjadi salah satu ciri negara demokrasi baru sebagaimana temuan Edward Aspinall dalam penelitiannya. Politik berbiaya tinggi ini perlahan akan membunuh demokrasi dan ini berkonsekuensi terhadap produk hasil pilkada yang bisa dipastikan akan menghasilkan kepala daerah yang tersandera biaya politik tinggi.
Fenomena yang terjadi dalam beberapa hari terakhir setidaknya memberikan gambaran bahwa demokrasi dalam hal ini pelaksanaan pilkada tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja.
Adanya indikasi keterlibatan oknum birokrasi, bahkan oknum ASN yang turut serta terlibat dalam politik praktis juga ancaman money politics membuat demokrasi kita terancam untuk tidak lagi berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip yang seharusnya dijunjung tinggi, yakni pilkada yang JURDIL dan LUBER. (*)