Politik Melanjutkan Tradisi

  • Bagikan

Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dalam beberapa bukan sebelum perhelatan Pilrpes 2024 yang lalu, seorang negarawan dan juga mantan presiden ke-6 yakni Susilo Bambang Yudhoyono menulis buku yang berjudul “Pilpres 2024 dan Cawe-cawe Presiden Jokowi” yang dianggap sebagai buku merah Jokowi atas segala perilaku politiknya yang dinarasikan SBY dalam buku tersebut.

Posisi partai demokrat yang memang saat itu menjadi bagian dari oposisi pemerintahan Jokowi---AHY sebagai ketua umum Partai Demokrat begitu kritis terhadap pemerintahan Jokowi. Namun tak seberapa lama, munculnya buku tersebut hampir bersamaan AHY didapuk menjadi Menteri Agraria dan tata Ruang (ATR) oleh Jokowi, sehingga buku tersebut hilang begitu saja---netizen: Jokowi memberi tulang pada peliharaannya.

Buku Pilpres 2024 dan Cawe-cawe Presiden Jokowi bagi SBY adalah buku merah bagi Jokowi dengan berbagai gejolak dan situasi carut marutnya ekonomi dan politik, demokrasi, dan hukum diberangus. Daya kritik seorang mantan presiden sekelas SBY patut diapresiasi sebagai bentuk check and balances dalam demokrasi.

SBY melihat adanya gejala dari perilaku politik Jokowi yang sudah menyimpang dari prinsip-prinsip hukum tatakenegaraan serta kode etik dari sumpah jabatan seorang presiden.

Cawe-cawe bagi SBY dipersonifikasikan sebagai politik penguasa memainkan peran dalam mengendorse, mengkampanyekan calon tertentu dalam proses politik. Apa yang disorot oleh SBY terbukti. Saat di salah satu pangkalan militer Presiden Jokowi yang didampingi Prabowo (Menhan saat itu) dengan terus terang menyampaikan di hadapan awak media, menurutnya tidak ada larangan bagi presiden untuk tidak terlibat dalam kempanye.

Sehingga pernyataan ini kemudian menimbulkan kegaduhan di ruang publik mengingat saat itu situasi politik tensinya semakin meningkat. Publik memandang bahwa cawe cawe itu adalah bagian dari bentuk ketidaknetralan presiden dalam proses politik yang berlangsung.

Berbagai spekulasi bermunculan dengan cawe-cawe tersebut karena dipandang sebagai tindakan abuse of power (penyalahgunaan kewenangan). Politik cawe-cawe Jokowi lebih bersifat nepotis, mengingat anak sulungnya (Gibran) adalah cawapres Prabowo saat itu. Dan, semua langkah politknya terbaca saat bagaimana keputusan 90 MK yang meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden.

Maka cawe-cawe itu bukan hanya apa yang ditulis oleh SBY dalam bukunya, tetapi pengamat juga memandang kalau cawe cawe adalah bagian dari bentuk ketidak-netralan pejabat negara dalam proses politik, dan itu juga adalah bagian penting dari jalan rusaknya hukum dan demokrasi.

Anehnya, di berbagai tempat Jokowi selalu menyampaikan untuk semua aparat agar tetap menjaga netralitas---tetapi cawe-cawe justru menepis isu kenetralan seorang presiden. Dalam persepketif gestur dan bahasa dalam politik dari George Orwell disebutkan “Politik itu dirancang untuk berbohong agar terdengar jujur dan pembunuhan pun didesain agar terlihat terhormat”.

Apakah Prabowo melanjutkan tradisi cawe cawe? Ini sesungguhnya adalah pertanyaan sekaligus pernyataan klasik atas perilaku politik yang pernah ada dan sementara berjalan. Sebelumnya, saya mengasumsikan bahwa maksud presiden berpihak adalah sikap presiden untuk memilih salah satu peserta pemilu, baik ketika menggunakan hak suaranya, maupun sikap untuk mendukung salah satu peserta pemilu dengan mengajak orang lain untuk ikut memilih paslon tertentu, atau ikut berkampanye dengan salah satu paslon.

Dalam hal presiden sebagai warga negara menggunakan hak suaranya maka hal tersebut sesuai dengan koridor hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) UU HAM bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum.

Namun, bagaimana jika presiden ikut berkampanye untuk pasangan capres/cawapres tertentu, atau pada kontekstasi politik di pilkada? Apakah presiden boleh kampanye dan memihak? Untuk menjawab hal tersebut, kita bisa memperhatikan ketentuan dalam Pasal 299 ayat (1) Undang-undang Pemilu yang menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu yang berbunyi sebagai berikut:

Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, Wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota harus memenuhi ketentuan: (a) tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (b) menjalani cuti di luar tanggungan negara.

Selama melaksanakan kampanye, harus memperhatikan koridor hukum yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Pertama, presiden wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara. Kedua, selama melaksanakan kampanye, presiden dilarang menggunakan fasilitas negara berupa: (1) sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas; (2) gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota kecuali daerah terpencil yang pelaksanaannya harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan; (3) sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi milik pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan peralatan lainnya; dan (4) fasilitas lainnya yang dibiayai APBN atau APBD.

Penggunaan fasilitas negara yang melekat pada jabatan presiden yang menyangkut pengamanan, kesehatan, dan protokoler dilakukan sesuai kondisi lapangan secara profesional dan proporsional.[3] Menurut hemat kami, bentuk fasilitas negara yang demikian seperti pengamanan, tetap boleh digunakan presiden ketika kampanye.

Ketiga, presiden yang berkampanye harus menjalankan cuti. Jadwal cuti kampanye yang dilakukan oleh presiden disampaikan Menteri Sekretaris Negara kepada KPU maksimal 7 hari kerja sebelum presiden melaksanakan kampanye.

Namun demikian, menurut Bivitri Susanti pada artikel Begini Ulasan Pakar Terkait Aturan Presiden Berkampanye-Berpihak disampaikan bahwa dalam membaca Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu tentang presiden berhak melaksanakan kampanye harus utuh karena terkait dengan pasal lainnya. Ketentuan itu pada intinya memberi kesempatan kepada presiden sebagai petahana yang maju dalam pemilu sebagai calon presiden dan wakil presiden untuk periode kedua. Selain itu, menurut Bivitri, presiden harus juga terdaftar dalam tim kampanye resmi dari pasangan calon yang didukungnya.

Ada pandangan lain menurut Zainal Arifin Mochtar dalam artikel Akademisi HTN UGM: Presiden Berkampanye-Memihak Munculkan Komplikasi Hukum, UU Pemilu memberikan hak kepada presiden dan wakil presiden untuk berkampanye. Secara umum, UU Pemilu memberikan rambu-rambu bagi presiden untuk berkampanye, tetapi beleid itu tidak menjelaskan semua hal secara rinci.

Menurut Zainal, jika presiden berkampanye, maka akan banyak komplikasi hukumnya, karena UU Pemilu tidak mengatur detail. Posisi presiden dalam soal kepemiluan bisa merujuk UU Administrasi Pemerintahan yang memandatkan presiden tidak boleh melakukan tindakan atau menerbitkan keputusan yang tujuannya bukan untuk kepentingan negara, misalnya untuk kepentingan pribadi. Kemudian, UU 28/1999 jelas melarang penyelenggara negara negara melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Meskipun presiden mengajukan cuti untuk kampanye, menurut Zainal apakah tindakan itu menguntungkan pribadi, keluarganya, dan lainnya? Jika presiden didaftarkan sebagai pelaksana kampanye, sehingga bisa berkampanye, dampaknya bisa menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Zainal juga berpendapat bahwa Pasal 299 UU Pemilu harusnya dimaknai hak presiden dan wakil presiden melakukan kampanye hanya untuk petahana.

Dengan demikian, secara normatif, dalam UU Pemilu memang tidak ada larangan bagi presiden berkampanye untuk paslon tertentu, asalkan harus menjalani cuti di luar tanggungan negara dan tidak menggunakan fasilitas negara. Namun demikian, tindakan presiden berkampanye sebagaimana disampaikan oleh Zainal Arifin Mochtar berpotensi menimbulkan komplikasi hukum dan bisa berdampak menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Kebolehan presiden berkampanye menurut Zainal Arifin Mochtar dan Bivitri Susanti, sebagaimana diatur di dalam Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu harus dimaknai kampanye untuk dirinya sebagai petahana.

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam UU Pemilu memang tidak dijelaskan mengenai larangan atau kebolehan yang dituliskan secara tegas mengenai presiden berkampanye untuk paslon lain. Hal ini karena frasa yang digunakan dalam Pasal 281 UU Pemilu adalah “Kampanye Pemilu yang mengikutsertakan Presiden, … harus memenuhi ketentuan”. Sementara, dalam Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu dinyatakan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.”

Adapun, ketentuan Pasal 299 ayat (2) dan (3) UU Pemilu mengenai kewajiban untuk masuk ke dalam tim atau pelaksana kampanye menurut hemat kami ditujukan kepada kepada pejabat negara lainnya selain presiden dan wakil presiden.

Meskipun dalam UU Pemilu ditetapkan bahwa presiden memiliki hak untuk berkampanye, namun, perlu diingat bahwa presiden juga merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara sesuai dengan mandat konstitusi. Dengan demikian, karena presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara, maka seyogianya independensi dan netralitas presiden dalam pemilu harus dijaga, terutama ketika di luar cuti kampanye. Hal ini dalam rangka menjalankan sumpah presiden untuk memenuhi kewajiban presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memang teguh undang-undang dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada nusa dan bangsa.

Selain itu, presiden juga harus memperhatikan rambu-rambu konstitusi agar pemilu tetap dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Apabila keberpihakan presiden dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan, tindakan, ataupun keputusan tertentu dengan menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan salah satu peserta pemilu, maka tindakan tersebut melanggar UU Pemilu dan berpotensi menjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Misalnya menyalahgunakan sumber daya negara untuk kepentingan kelompok tertentu atau paslon tertentu.

Dalam Pasal 282 UU Pemilu ditegaskan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Lebih lanjut, diterangkan dalam Pasal 283 UU Pemilu bahwa pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye. Larangan tersebut meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Pejabat negara (termasuk presiden) yang melanggar ketentuan Pasal 282 UU Pemilu yaitu yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu dalam masa kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp36 juta sebagaimana diatur di dalam Pasal 547 UU Pemilu.

Adapun, mengenai potensi penyalahgunaan wewenang, kami akan menjelaskan sebagai berikut. Penyalahgunaan wewenang atau abuse of power atau dalam Bahasa Perancis disebut dengan detournement de pouvoir adalah salah satu tindakan menyimpang badan/pejabat administrasi berdasarkan prinsip exces de pouvoir (melampaui batas kekuasaan) dalam konsep rechtsstaat. menurut Anna Erliyana, titik berat dalam mengukur penyalahgunaan wewenang terletak pada apakah keputusan/tindakan pejabat tata usaha negara sesuai dengan motivasi atau alasan dikeluarkannya keputusan/tindakan tersebut.

Menurut Utrecht, detournement de pouvoir dapat terjadi ketika suatu alat negara menggunakan wewenangnya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum lainnya dari pada kepentingan umum yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan. Utrecht memberikan istilah untuk hal tersebut sebagai menjungkirbalikkan wewenang atau afwenteling van macht.
Penyalahgunaan wewenang presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam pemilu, dapat dikategorikan sebagai mencampuradukkan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b UU Administrasi Pemerintahan. Tindakan mencampuradukkan wewenang dapat berupa tindakan yang dilakukan oleh badan/pejabat pemerintahan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan.

Adapun, jika tindakan presiden bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maka dapat dikategorikan sebagai tindakan melampaui wewenang. Presiden juga dapat dikategorikan bertindak sewenang-wenang jika keputusan atau tindakannya dilakukan tanpa dasar kewenangan dan/atau bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Tindakan presiden yang dianggap melampaui wewenang dan tindakan yang dilakukan/ditetapkan secara sewenang-wenang dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Tidak sah di sini berarti keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh badan/pejabat pemerintahan yang tidak berwenang sehingga dianggap tidak pernah ada atau dikembalikan pada keadaan semula sebelum keputusan dan/atau tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan dan segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.

Sedangkan tindakan mencampuradukkan wewenang dapat dibatalkan jika telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dapat dibatalkan di sini maksudnya adalah pembatalan keputusan dan/atau tindakan melalui pengujian oleh atasan pejabat atau badan peradilan. Pengadilan tata usaha berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan. Permohonan untuk menilai ada atau tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang tersebut dapat diajukan oleh badan/pejabat pemerintahan dan wajib diputus paling lama 21 hari kerja.
Sebagai wujud check and balances, ketika ada dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh presiden ketika pemilu dalam wujud suatu kebijakan pemerintah, maka DPR dapat menggunakan fungsi pengawasannya yaitu tiga hak DPR berupa hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Terlepas dari berbagai perspektif hukum yang ada atas sikap seorang presiden dalam upaya cawe cawe atau keberpihakan pada calon tertentu dalam proses pemilu atau proses politik yang ada bukan hanya disorot dalam pandangan hukm tata negara tetapi juga apada aspek etika, moral dan netralitas seorang pejabat negara, apatah lagi kalau seorang presiden terlibat dalam pemihakan secara politik.

Menuju 100 Hari yang Pesimis

Hal ini kemudian menjadi perdebatan dan diskursus di jejaring median sosial dan bahkan diskusi-diskusi publik yang mencoba menyorot sikap preside Prabowo yang secara terang-terangan mengkampanyekan calon gubernur Jateng Ahmad Lutfhi-Taj Yasin disalah satu channel yotutobe—yang kemudian mendapat respon balik dari pengamat dan aktivis media sosial lainnya yang memandang bahwa apa yang dilakukan oleh presdien saat ini bentuk kesamaan dari rezim Jokowi. Sehingga secara tajam sebagian netizen menyebutnya bahwa Prabowo tak lebih baik dari Jokowi bahkan lebih buruk dari Jokowi.

Apakah ini juga bagian dari politik melanjutkan tradisi? yakni upaya Prabowo melanjutkan tradisi politik Jokowi. Tentu sangat disayangkan bila praktek politik Jokowi juga dilakoni oleh Prabowo, kalau itu tidak terjadi, maka tidak ada lagi harapan untuk mengembalikan citra buruk pemerintahan di masa lalu menjadi lebih baik. Sebab publik berharap ditangan presiden Prabowo keadaan bisa menjadi lebih baik---sebab posisi Prabowo adalah kepala negara untuk semua tidak terdikhotomi oleh kepentingan dan arus kepentingan kelompok tertentu.

Pameo : Biarkan macan mengaung, dan biarkan kucing mengeong. Tetapi bila macan mengeong dan kucing mengaung, itu tanda kita tak lagi bisa berharap dari seekor binatang. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version