MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Netralitas pejabat daerah dan anggota TNI-Polri benar-benar menjadi perhatian dalam pemilihan kepala daerah serentak. Kelompok ini dinilai sangat rentan "merusak" tatanan demokrasi bila ikut cawe-cawe dalam menenangkan pasangan calon tertentu. Prinsip yang dilanggar bisa berupa membuat keputusan maupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pilkada, bisa dijatuhi pidana penjara dan atau denda.
Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan pejabat daerah dan anggota TNI/Polri bisa dipidana jika melanggar prinsip netralitas pada Pilkada yang termuat dalam putusan perkara nomor 136/PUU-XII/2024. Ketentuan tersebut merupakan putusan MK yang memasukkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri" ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Pasal 188 UU 1/2015 yang dikabulkan tersebut berbunyi: "Setiap pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.”
MK menyebutkan bahwa pasal tersebut merupakan norma yang berpasangan dengan Pasal 71. Dalam dinamikanya, Pasal 71 mengalami perubahan melalui UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, khususnya pada ayat (1).
Dalam UU 1/2015, Pasal 71 ayat (1) hanya memuat “Pejabat negara, pejabat aparatur sipil negara, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon selama masa kampanye.”
Dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 terdapat penambahan dua subjek hukum baru, yakni "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri". Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, faktanya perubahan tersebut tidak dimasukkan ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder. Terlebih lagi, UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015.
MK mengatakan kondisi tersebut berimplikasi pada tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap dua subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri.
Sebagai norma sekunder, Pasal 188 UU 1/2015 memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma primernya, yakni Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016, tidak dipatuhi atau dilanggar.
Dalam hal ini, Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut setelah perubahan UU 1/2015.
Atas dasar itu, MK menyimpulkan dalil permohonan uji materi yang diajukan oleh seorang konsultan hukum, Syukur Destieli Gulo, ini beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Dengan demikian, Pasal 188 UU 1/2015 kini selengkapnya menjadi berbunyi:
Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00.
Itu sebabnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), termasuk Bawaslu Sulsel kembali diuji untuk menunjukkan tajinya dalam menertibkan atau menindak para pejabat daerah, ASN, anggota TNI-Polri.
Kewenangan Bawaslu untuk menindak TNI dan Polri yang tidak netral dalam Pilkada Serentak 2024 diatur dalam Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 136/PUU-XXII/2024, terkait pejabat daerah serta TNI/Polri sudah dapat dijerat hukuman pidana atau dapat ditindak lewat jalur pidana jika melanggar ketentuan netralitas dalam Undang-Undang Pilkada.
Pakar hukum dari Universitas Al Azhar Indonesia, Profesor Suparji Ahmad mengatakan Putusan MK tersebut merupakan angin segar untuk kemajuan demokrasi di Indonesia. Di mana putusan MK tersebut juga memberikan kepastian hukum terhadap TNI dan Polri apabila melakukan pelanggaran netralitas selama pelaksanaan Pilkada Serentak 2024.
"Putusan MK ini harus diapresiasi, karena memberikan kepastian tentang sanksi bagi TNI, Polri, ASN yang tidak netral dalam Pilkada, sehingga lebih jelas rujukannya itu," ujar Suparji kepada Harian Rakyat Sulsel, Selasa (19/11/2024).
Untuk itu, kata Suparji, putusan MK tersebut harus segera ditindaklanjuti dan dilaksanakan oleh TNI dan Polri. Terlebih kedua institusi tersebut merupakan bagian dari negara yang harus menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi.
Bukan itu saja, menurut Suparji, lewat Putusan MK ini kesadaran TNI dan Polri sebagai salah satu pilar bangsa sehingga harus netral juga diharap bisa ditegakkan.
"Kedua harus dilaksanakan, sebagaimana mestinya dalam arti, yah, betul-betul netral. Karena apa? karena TNI, Polri, dan ASN itu milik negara, bukan milik golongan, bukan milik parti politik dan keberadaannya berkesinambungan. Kesadaran itu harus dibangun, TNI, Polri, dan ASN adalah salah satu bagian pilar bangsa ini, maka harus netral," papar dia.
Suparji juga menyampaikan putusan MK ini harus ditegakkan oleh lembaga pengawas pemilu atau Bawaslu. Pelanggaran-pelanggaran yang menyangkut terkait netralitas TNI dan Polri disebut bisa ditindaklanjuti oleh Sentra Gakkumdu yang di dalamnya ada perwakilan Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan.
"Yang ketiga adalah bagaimana ini ditegakkan, dalam hal ini keberanian Bawaslu, keberanian Sentra Gakkumdu untuk menegakkan (Putusan MK). Jangan hanya berhenti di pasal saja, tapi harus ada satu upaya yang sungguh-sungguh dari Sentra Gakkumdu untuk menegakkan aturan ini sehingga netralitas ASN, TNI/Polri itu betul-betul terwujud," kata Suparji.
Suparji mengatakan, dengan adanya putusan MK ini masyarakat juga disebut harus berperan aktif dalam pengawasan dan melaporkan jika menemukan adanya dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota TNI dan Polri, bukan hanya oleh ASN maupun kepala desa sebagaimana aturan dalam putusan MK terbaru itu.
"Keberanian dari masyarakat dalam pengawasan partisipatif, kalau ada yang terbukti berpihak (TNI/Polri tidak netral) maka harus berani laporkan ke Bawaslu. Jangan sampai dibiarkan, tapi harus ada pelaksanaannya," sebut dia.
Dia mengatakan bahwa Putusan MK tersebut berbeda dengan sanksi etik polri maupun TNI yang selama ini dilaksanakan jika ada anggotanya yang melakukan pelanggaran netralitas. Putusan MK terbaru itu disebut merupakan masuk ranah pidana umum, sehingga anggota Polri dan TNI yang tidak netral dalam Pilkada bisa diproses secara pidana sebagaimana yang diterapkan terhadap ASN selama ini.
"Jadi beda antara sanksi etik dan sanksi hukum. Sanksi etik itukan terkait pelanggaran etik internal, sementara pelanggaran hukum, kan, pelanggaran hukum publik, maka ini dua hal berbeda. Kalau sanksi etik itukan berupa teguran, lisan, tertulis, tapi kalau sanksi hukum bisa berupa pidana penjara atau denda," bebernya.
Terakhir, Suparji menuturkan, karena pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 tinggal seminggu lagi, tepatnya 27 November mendatang masyarakat sudah melakukan pencoblosan di TPS, maka Putusan MK ini bisa menjadi modal untuk masyarakat turut memantau pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 yang bersih dari keterlibatan atau campur tangan oknum-oknum pejabat negara, ASN, TNI/Polri, maupun Kepala Desa.
"Ini tinggal satu minggu lagi pilkada, harapannya ini menjadi satu modal yang baik untuk memutuskan Pilkada yang benar-benar sesuai dari kehendak Pemilu, bukan karena kehendak golongan tertentu. Oleh karena itu, ini sesuai bentuk yang baik, tinggal menurut saya bagaimana Bawaslu, Kejaksaan dan Kepolisian (Gakkumdu) untuk menuntaskan ini," imbuh dia.
Polda Sulsel mengatakan komitmen dan akan menindaklanjuti Putusan MK tersebut. Terlebih Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Brigadir Jenderal Polisi Trunoyudo Wisnu Andiko telah angkat bicara soal Putusan MK Nomor 136/PUU-XXII/2024, yang mengatur pidana bagi aparat TNI/Polri dan pejabat daerah yang tak netral dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
"Polda Sulsel berkomitmen dan menindaklanjuti apa yang telah disampaikan oleh Mabes Polri, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Div Humas (Karo Penmas)," ujar Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Didik Supranoto.
Menurut dia, Mabes Polri dipastikan bakal menindak tegas personel bila tak netral dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2024. Polri berkomitmen menjaga profesionalisme dalam mewujudkan demokrasi dan memelihara kehidupan bernegara serta bermasyarakat yang kondusif.
Polri juga komitmen bersikap netral dan tak melakukan kegiatan politik praktis dalam setiap tahapan Pemilu Serentak 2024. Netralitas Polri disebut penting supaya memberi pengamanan dan memastikan Pemilu dan Pilkada serentak 2024-2025 berjalan aman, damai, dan bermartabat.
Sebelumnya, Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan Profesor Zudan Arif Fakrulloh menyampaikan, kepada para pegawai pemerintah agar tidak bermain-main dengan persoalan netralitas. Apalagi, sudah sampai harus jor-joran menyatakan dukungan kepada salah satu calon yang akan berkontestasi nanti.
“Seluruh masyarakat Sulsel, penjabat kepala daerah, ASN-non ASN, TNI, dan Polri mari sama-sama jaga Sulsel,” tutur Zudan.
Dia mengatakan, terutama untuk para aparatur negara untuk tetap menjaga dan terus menghidupkan ruh netralitas dalam setiap proses menjalankan tugas untuk menjaga dan menghidupkan ruh masing-masing yaitu masing-masing, netralitas. “Saya percaya Sulsel bisa lakukan itu,” imbuh dia.
Menurut Zudan, untuk Pemprov Sulsel tegas terhadap pegawai yang melakukan tindakan yang tidak netral. Pemberian sanksi pun akan terus dilakukan kepada siapa saja yang terbukti. “Provinsi Sudah memberhentikan sementara yang ada pegawai yang ada di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Sulsel,” ungkap dia.
Ia menghimbau kepada seluruh aparatur negara agar tetap tegak lurus kepada peraturan yang ada. “Mari seluruh ASN, kepala desa dan penjabat kepala daerah, tegak lurus pada sistem aturan yang berlaku,” kata Zudan.
Sementara Putusan MK 136/2024 adalah norma baru yang langsung efektif berlaku. Sehingga TR netralitas anggota Polri disebut telah dibuat lebih dulu dan masih berlaku. TR netralitas Anggota Polri dalam Pilkada Serentak 2024 bernomor: ST/1899/VIII/WAS/2024 berisi larangan-larangan berperilaku tak netral dalam tahapan Pilkada 2024 dan akan ditindak secara tegas sesuai ketentuan yang berlaku.
"Artinya jika ditemukan anggota Polri tidak netral maka selain bisa dipidana juga dapat diberi sanksi kode etik Polri," kata dia.
Komisioner Bawaslu Sulsel, Andarias Duma mengatakan sejauh ini pihaknya belum mendapatkan petunjuk teknis dari Bawaslu RI terkait aturan pelaksanaan Putusan MK tersebut.
"Kami masih menunggu petunjuk teknisnya seperti apa karena kita belum bisa berkomentar, walaupun ada putusan MK seperti itu tapi Bawaslu RI akan mengeluarkan petunjuk teknis seperti apa. Ini kalau Polri dan TNI, kita menunggu petunjuk teknisnya dari Bawaslu RI seperti apa terkait dengan penerapan Putusan MK tersebut," ujar Andarias.
Andarias mengatakan, selama ini proses penindakan hukum terhadap anggota Polri dan TNI mengenai netralitas dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 masih dilaksanakan di internalnya sendiri dalam hal ini Propam untuk anggota Polri dan Provos untuk anggota TNI.
Adapun pelanggaran-pelanggaran terkait netralitas yang dilakukan oleh anggota Polri dan TNI selama ini, Bawaslu Sulsel disebut hanya bersifat koordinasi saja dengan kedua institusi tersebut.
Andarias juga mengatakan, sejauh ini pihaknya tidak pernah menerima aduan atau laporan dari masyarakat terkait pelanggaran netralitas anggota TNI dan Polri. Namun dalam beberapa kasus, Bawaslu Sulsel disebut tetap melakukan monitoring seperti kasus dua oknum anggota Polda Sulsel yang kedapatan mengikuti deklarasi bahkan mengantarkan salah satu calon Bupati ke KPU Bone.
"Sekarang paling banyak netralitas ASN, kalau ada pidananya di proses di Gakkumdu kalau terkait dengan netralitasnya kita langsung serahkan BKN. Sampai hari ini juga tidak ada laporan (pelanggaran netralitas TNI/Polri), hanya saja kemarin ada di (Bone), tapi itukan kemarin belum ada Putusan MK, jadi langsung ditangani Polda yang ada di Bone itu," ujar Andarias.
Sepuluh Terdakwa Divonis
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Sulsel menyebut selama pelaksanaan Pilkada Serentak 2024, total ada 10 perkara atau kasus tindak pidana Pemilu yang divonis di Pengadilan Negeri (PN). Dari 10 perkara tersebut, satu perkara diantaranya ditangani Bawaslu Sulsel dan selebihnya tersebar di kabupaten/kota di Sulsel.
Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Sulsel, Abdul Malik mengatakan 10 perkara tindak pidana Pemilu tersebut rata-rata melanggar Pasal 188 juncto Pasal 71 ayat 1 Undang-Undang (UU) Pemilu dan rata-rata terlapornya didominasi oleh pejabat Aparatur Sipin Negara (ASN) dan Kepala Desa (Kades).
"Sampai saat ini data penanganan Pilkada di Sulsel itu sudah 10 dan sudah selesai di pengadilan negeri," kata Malik.
Adapun 10 kasus tindak pidana Pemilu yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut diantaranya di Kabupaten Bone, Toraja Utara, dan Luwu Utara masing-masing 2 kasus. Sementara di Kabupaten Luwu, Sinjai, Pinrang, dan Bawaslu Provinsi Sulsel sendiri masing-masing 1 kasus.
Tren pelanggaran tersebut dikatakan melibatkan ASN dan Kades. Mereka disebut terbukti melakukan kegiatan yang menguntungkan salah satu pasangan calon atau peserta Pilkada 2024 di daerahnya masing-masing sehingga dijatuhi hukuman sebagian diatur dalam undang-undang pelanggaran Pemilu.
"Hampir semua seperti itu, baik ASN ataupun kepala desa. Itulah yang masuk di Bawaslu dan diproses di Setra Gakkumdu sampai di pengadilan. Dan pengadilan menyebutkan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran tindak pidana pemilihan oleh karena itu diputuskan dan telah inkrah," ucap Malik.
Malik juga menjelaskan, khusus untuk pelanggaran Pemilu yang dilakukan para kades tersebut dikarenakan minimnya pengetahuan terkait mana yang melanggar aturan dan mana loyalitas terhadap pimpinan.
Minimnya pengetahuan itulah disebut jadi pemicu maraknya kepala desa dilaporkan oleh masyarakat mengenai tindak pidana Pemilu.
"Saya kira hampir semua setelah dilakukan penanganan pelanggaran ternyata banyak yang melakukan tindakan pribadi untuk melakukan dukungan memperlihatkan (dukungan). Tidak mampu membedakan mana loyalitas pada perundang-undangan dan mana loyalitas kepada calon atau pemimpinnya ataupun panutan mereka. Sehingga melakukan tindakan tersebut kemudian dilaporkan, diproses dan terbukti," imbuh dia.
Melihat maraknya laporan terkait tindak pidana Pemilu selama pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 di Sulsel, Malik berharap menjelang masa tenang dan hari pencoblosan 27 November yang tinggal beberapa hari lagi, ASN serta kepala desa diminta untuk tetap menjaga wibawanya dan mematuhi undang-undang yang berlaku.
Apalagi, kata Malik, bahwa dari laporan Bawaslu se-Indonesia pemutusan pelanggaran Pilkada paling tinggi yakni di Sulawesi Selatan.
"Itu harapan kami sebenarnya menjelang akhir pelaksanaan Pilkada ini. Kami berharap teman-teman, khususnya ASN ataupun kepala desa untuk menjaga wibawanya untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada politik praktis terlebih lagi membuat tindakan atau keputusan yang menguntungkan ataupun merugikan salah satu pasangan calon baik di pilgub maupun kabupaten/kota," kata dia.
"Dan sekali lagi sampai saat ini Sulsel yang sudah memutus 10 perkara, kalau di provinsi lain saya tidak tau tapi selama ini masih Sulsel yang tertinggi penanganan pelanggaran," sambung dia.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sulawesi Selatan juga menggelar kegiatan sosialisasi terkait tindak pidana dan pasal-pasal pidana pemilihan. Kegiatan ini dihadiri oleh sejumlah peserta dari berbagai elemen, termasuk tim pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulsel.
Malik mengatakan bahwa kegiatan ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan peserta terkait tindak pidana dan pasal-pasal pemilihan. Dengan demikian, tingkat pengawasan partisipatif masyarakat dapat meningkat, sehingga pelaksanaan pemilu berjalan lancar dan sesuai aturan.
"Kami mengadakan kegiatan ini, karena kami gusar galau. Hal lain juga yang menjadi acuan adalah banyaknya temuan dan laporan yang masuk ke Bawaslu Sulsel," ucap Malik.
Sementara Kepala Bagian Penanganan Pelanggaran dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Sulsel, Zulkifli menjelaskan tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan pemahaman peserta mengenai tindak pidana dan pasal-pasal yang mengatur pelanggaran dalam pemilihan.
"Maksud kegiatan kita pada hari ini adalah agar ada pemahaman terkait tindak pidana dan pasal-pasal pidana pemilihan. Dengan begitu, potensi-potensi pelanggaran dapat dikurangi," ujar Zulfikli.
Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya peserta menyosialisasikan pengetahuan yang diperoleh kepada masyarakat. "Tujuannya adalah agar peserta memahami regulasi yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota tahun 2024. Selain itu, peserta diharapkan dapat menurunkan pemahaman tersebut kepada masyarakat, sehingga pemilihan dapat berjalan dengan baik," tambah dia.
Zulfikli juga mengingatkan bahwa masa tenang akan dimulai pada 24-26 November 2024. Oleh karena itu, pihaknya mengundang tim pasangan calon untuk memastikan aturan tersebut dipatuhi. "Kita berharap semua pihak dapat menjaga masa tenang ini, di mana sudah tidak boleh ada lagi kegiatan kampanye," tegas dia. (isak pasa'buan-fahrullah/C)