TAKALAR, RAKYATSULSEL - Menjelang pelaksanaan Pilkada 2024, pasangan calon bupati dan wakil bupati Takalar, Syamsari Kitta-Haji Nojeng (SK-HN), menginisiasi sayembara yang mengundang masyarakat untuk merekam atau memotret oknum Aparatur Sipil Negara (ASN), aparat TNI/Polri, kepala desa, atau aparat desa yang diduga tidak netral. Langkah ini menuai berbagai tanggapan, termasuk dari pengamat pemilu, Ainun Try Risky Ch Nisa yang menyorot sayembara tersebut.
Menanggapi kritik itu, Mirwan, anggota tim hukum paslon SK-HN, menegaskan bahwa sayembara ini memiliki dasar hukum dan bertujuan memperkuat demokrasi. Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 448, yang mengatur peran aktif masyarakat dalam pengawasan pemilu.
“Pengawasan partisipatif masyarakat merupakan salah satu bentuk penguatan demokrasi. Dengan demikian, sayembara ini dapat dipandang sebagai mekanisme untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengawasan netralitas aparat,” ujar Mirwan, Rabu (20/11/2024).
Mengenai kekhawatiran Ainun tentang potensi pelanggaran UU ITE, Mirwan menyatakan bahwa dokumentasi yang dikumpulkan sesuai prosedur dan dilaporkan ke Bawaslu tidak melanggar hukum.
“UU ITE melarang penyebaran informasi yang memicu kebencian, namun jika dokumentasi ini digunakan sebagai bukti sah kepada Bawaslu, maka tidak ada pelanggaran. Bahkan, Bawaslu mengakui foto atau video sebagai alat bukti pelanggaran pemilu,” tegas dia.
Lebih lanjut Mirwan menjelaskan bahwa sayembara ini sejalan dengan prinsip check and balance dalam demokrasi.
“Netralitas ASN sering menjadi sorotan dalam Pilkada. Dengan melibatkan masyarakat, potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat dapat diminimalisir. Selama sayembara ini transparan dan sesuai hukum, hal ini justru mendukung demokrasi,” ujar dia.
Menanggapi klaim bahwa sayembara ini dapat menciptakan stereotip negatif terhadap ASN dan aparat, Mirwan menilai pandangan tersebut kurang relevan. Ia merujuk pada teori field theory dari Lewin (1947), yang menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat dapat dibangun dengan memunculkan masalah secara kolektif.
“Alih-alih menciptakan prasangka negatif, sayembara ini justru memicu kesadaran kritis masyarakat tentang pentingnya netralitas aparat. Dalam konteks psikologi sosial, prasangka yang positif dapat memotivasi masyarakat untuk menjaga integritas pemilu,” katanya, mengutip teori social identity dari Tajfel & Turner (1986).
Mirwan juga membantah bahwa sayembara ini berpotensi memicu konflik sosial.
“Dengan pengaturan mekanisme yang jelas, seperti pelaporan langsung ke Bawaslu tanpa penyebaran di media sosial, risiko konflik dapat diminimalisir. Kolaborasi masyarakat dengan lembaga resmi justru mengurangi ketegangan sosial,” tutur Mirwan.
Sayembara yang diinisiasi Paslon SK-HN, menurut Mirwan, adalah inovasi dalam memperkuat partisipasi masyarakat.
“Dengan mekanisme yang tepat, langkah ini dapat memperkuat proses demokrasi dan menjaga netralitas aparat dalam Pilkada 2024,” imbuh dia. (*)