Oleh: Babra Kamal
Pengajar Ekologi Politik, Universitas Teknologi Sulawesi
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sektor pertambangan merupakan sektor yang sempat menjadi perbincangan hangat terutama setelah dibolehkannya ormas agama untuk mengelola tambang. Beberapa tahun belakangan memang sektor pertambangan terus tumbuh positif baik dari segi jumlah investasi maupun harga komoditas di level global.
Selain batubara, nikel saat ini menjadi sumberdaya alam andalan dalam hal energi tak terbarukan. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar, sebesar 25 persen dari total cadangan yang diketahui known reserve secara global. Metal strategis ini merupakan bahan dasar stainless steel dan baterai kendaraan listrik yang menjadikan komoditas tak terbaharui ini sebagai rebutan.
Sejak 2014 pemerintah menggencarkan proses hilirisasi industri tambang. Setelah melarang ekspor bijih nikel pada Januari 2020, seperti diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomomor 11 Tahun 2019. Pemerintah Indonesia juga berencana melarang ekspor tembaga, bauksit, dan timah beberapa tahun ke depan.
Hal ini dilakukan untuk menjaga pasokan bahan mentah agar tetap berada di dalam negeri sebelum diekspor sebagai bahan semi-jadi atau setelah melalui proses pemurnian lebih lanjut di Indonesia. Percepatan investasi dan hilirisasi ini, serta kontribusi signifikan sektor tambang terhadap perekonomian nasional baik dalam bentuk pajak, PDB, hingga lapangan kerja, membuat industri tambang amat rentan terhadap dinamika politik nasional maupun lokal
Peran Oligarki
Menurut Winters, oligarki merujuk kepada politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material. Pertahanan kekayaan oleh para oligark mencakup tantangan dan kapasitas tertentu. Terminologi tentang penyebutan “oligark” adalah seorang yang sangat kaya dan secara politik terhubung sebagai pengusaha, seorang miliarder atau semacamnya, pemilik utama sebuah konglomerasi yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan atau presiden.
Oligarki merupakan segelintir orang yang menggunakan kekuasaan yang dimilikinya baik secara langsung maupun tidak langsung untuk keuntungan pribadi. Keterlibatan langsung-seperti partisipasi mereka sebagai pejabat eksekutif dan legislatif- dapat berperan dalam mempengaruhi kebijakan.
Keterlibatan tidak langsung dapat mengambil bentuk, misalnya, mereka menjadi pemodal atau pendukung partai politik. Artinya, oligarki tambang di sini adalah segelintir orang yang sangat kaya dan secara politik punya hubungan dengan kekuasaan yang kekayaannya diperoleh dari hasil tambang.
Herri Junius Nge pada penelitiannya berjudul : Oligarki Partai Politik Dalam Rekruitmen Calon Kepala Daerah (Studi Kasus Munculnya Calon Tunggal Pada Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Landak Tahun 2017) menunjukkan bahwa kasus munculnya oligarki partai dalam menentukan calon Kepala Daerah Pemilukada Landak 2017 disebabkan oleh aturan internal partai (legitimasi yang kuat dari undang-undang) yang memberi kuasa pada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) sebagai struktur tertinggi dalam organisasi partai politik, sehingga DPP memiliki kewenangan yang besar dan mutlak untuk menentukan dan memutuskan calon kepala daerah.
Selaras dengan penelitian tersebut, dalam sebuah jurnal berjudul The Role of Oligarchy In Local Elections Funding: A Case Study of Central Sulawesi, Zuada dkk memaparkan bagaimana para oligarki melakukan kegiatan politik dengan menjadi pendana para kandidat pada pemilu lokal di Sulawesi Tengah pada tahun 2020.
Oligarki secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam kegiatan pilkada. Mereka menjadi bagian dari tim kampanye kandidat, membiayai kegiatan politik, berperan dalam mengeluarkan rekomendasi partai, memobilisasi kampanye massa, membayar konsultan politik, mengontrol opini publik, mendistribusikan bantuan sosial dan merancang koalisi partai politik.
Temuan dari penelitian Zuada dkk menunjukkan bahwa terjadi pergeseran orientasi pengusaha dalam memberikan dukungan politik. Dari sebelumnya melakukan dukungan semacam itu secara diam-diam, kini oligarki lebih berani tampil didepan publik bahkan tampil mencalonkan diri sebagai kandidat kepala daerah.
Perilaku Pemilih
Perilaku pemilih dalam pemilu merupakan suatu bentuk perilaku politik. Menurut Mahendra, perilaku pemilih adalah tindakan seseorang ikut serta dalam memilih orang, partai politik ataupun isu public tertentu. Kemudian, Kristiadi mendefinisikan perilaku pemilih sebagai keterikatan seseorang untuk memberikan suara dalam proses pemilihan umum berdasarkan faktor psikologis, faktor sosiologis dan faktor rasional pemilih atau disebut teori voting behavioral.
Kedua pendapat tersebut diartikan sebagai sebuah tindakan seseorang atau sekelompok orang dalam proses pengambilan keputusannya untuk memilih dipengaruhi oleh sebuah kondisi dan latar belakang.
Para oligarki tambang ini tidak segan-segan mempengaruhi pemilih lewat kekuatan uang. Mengapa demikian? Karena semua tahu investasi sektor tambang sedang mendapat angin segar lewat peraturan pemerintah, dalam hal ini hilirisasi. Tentu saja mereka akan menggunakan kekuatan “uang tambang” tersebut untuk mempengaruhi pemilih -terutama pada daerah-daerah yang terkenal kaya akan sumberdaya mineral.
Oleh karena itu dalam pilkada yang akan dihelat beberapa hari kedepan para pemilih perlu kiranya berhati-hati dalam menentukan pilihan politik, pemilih diharapkan dapat menentukan figur pilihannya secara rasional dengan menimbang rekam jejak calon kandidat gubernur/wakil gubernur, dan bupati/wakil bupati.
Tidak hanya rekam jejak kandidat, pemilih diharapkan menelusuri orang-orang yang berdiri di belakang mereka, sehingga pemilih dapat dengan jernih melihat siapa saja yang menjadi calon pemimpin mereka dan orang-orang yang berada di belakangnya. (*)