JAKARTA, RAKYATSULSEL - Pemerintah Indonesia terlihat lebih bertindak sebagai penjaja karbon yang hanya akan menguntungkan negara-negara penghasil emisi dan menciptakan cuan baru bagi segelintir konglomerat industri ekstraktif di Indonesia dalam Conference of the Parties (COP) ke-29 di Baku, Azerbaijan.
Sementara rencana Presiden RI Prabowo yang akan meluncurkan pendanaan ekonomi hijau dari target penjualan 557 juta karbon mengandung banyak solusi palsu yang mempertaruhkan keanekaragaman hayati, masyarakat adat bahkan tanggungan utang-utang baru.
Perdagangan karbon ini ditargetkan bisa meraup US$65 miliar (sekitar seribu triliun rupiah) pada 2028 digadang-gadang mampu membuka lapangan pekerjaan baru yang mendongkrak pertumbuhan ekonomi jadi 8%, dan penghutanan kembali [1].
Penjualan karbon yang disebut pemerintah sebagai aksi iklim ini ingin mengingkari ketidakhadiran negara saat hutan-hutan alam sebagai natural carbon sink dibabat dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan pada 2023 lalu, hutan habitat satwa langka terancam punah-orangutan dan sumber kehidupan masyarakat adat di Kalimantan Barat seluas 33 ribu hektar dihancurkan oleh satu perusahaan saja. [2]
“Penjualan karbon dikampanyekan di saat pemerintah tidak bertindak apa-apa ketika hutan-hutan alam dihancurkan baik untuk pencapaian target program transisi energi palsu melalui co-firing biomassa maupun proyek strategis nasional seperti food estate di Papua dan kawasan industri hilirisasi di timur Indonesia,” kata Amalya Reza, Manager Kampanye Bioenergi Trend Asia.
Alih-alih menjajakan karbon, aksi iklim yang bisa dilakukan pemerintah selain menghentikan rencana pembangunan PLTU baru dan memensiunkan pembangkitan dari sumber energi fosil adalah menerapkan pajak karbon bagi para pencemar emisi. Regulasi Indonesia telah mengenal pajak karbon sebagai tindakan preventif yang akan menghitung dampak kesehatan dan kerusakan lingkungan sebagai biaya yang dipertanggungjawabkan.
Dari banyak kajian mengungkapkan, pemerintah Indonesia dapat memperoleh potensi penerimaan pajak dari sektor energi senilai Rp23,651 triliun pada tahun 2025 dari pajak karbon yang dikenakan.[3] Sedangkan kajian lain menyebut potensi pendapatan minimal bisa mencapai Rp51 triliun untuk pajak karbon dan Rp145 triliun dari izin karbon per tahunnya. [4]
“Sudah saatnya Presiden Prabowo membalikan kebijakan-kebijakan yang merusak lingkungan dan bertindak melindungi warga yang semakin rentan melalui pemungutan pajak dari industri penghasil emisi penyebab cuaca ekstrim dan pemanasan global,” ujar Beyrra Triasdian, Pengampanye Energi Terbarukan Trend Asia.
Lanjut dia, perdagangan karbon yang didorong melalui mekanisme pasar hanya akan menjadikan masyarakat lokal sebagai penanggung pajak karbon.
"Terlebih regulasi kita telah memfasilitasi pengenaan pajak karbon yang potensinya jauh lebih besar dari yang ditargetkan melalui pasar. Alih-alih mendorong energi terbarukan untuk mengatasi emisi karbon, pilihan solusi palsu yang ditawarkan malah akan menjebak Indonesia dalam praktik greenwashing saja.Padahal pengenaan pajak karbon terbukti cukup efektif untuk mendorong perusahaan pencemar mengubah bisnisnya menjadi lebih efisien dan ramah lingkungan,” tambah Beyrra.
Pemerintah Indonesia juga acapkali menggunakan solusi palsu transisi energi. Sebagai contoh, pemerintah menjauhi deforestasi tapi dengan mendorong pembakaran kayu (co-firing biomassa) melalui Hutan Tanaman Industri (HTI) atau Hutan Tanaman Energi (HTE). Padahal keduanya merupakan jenis hutan yang rakus lahan dan merusak ekosistem di sekitarnya. Riset Trend Asia (2022) juga menemukan bahwa keberadaan HTE tidak mampu menekan sampai nol emisi akibat deforestasi yang dihasilkan [5].
“Upaya untuk mereduksi krisis iklim seharusnya fokus pada pendekatan non pasar yang memperhatikan keberlanjutan ekosistem di sekitarnya, misalnya pemulihan menyeluruh hutan yang dibabat dan melakukan pemulihan ekonomi bagi masyarakat terdampak. Pemulihan ekonomi bukan hanya dinilai dengan uang, tapi sistem ekonomi berkeadilan dan berkelanjutan,” tutup Amalya. (***)