Kelompok Marginal Jadi Sasaran Empuk Kepentingan Politik

  • Bagikan
DISKUSI. Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto (tenah) dan budayawan Sulawesi Selatan, Profesor Andi Halilitar Lathief menjado pembicara apda diskusi politik yang digelar oleh Alinasi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar, Minggu (24/11/2024). isak/A

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pelibatan kepentingan marginal atau kelompok masyarakat terpinggirkan dalam visi misi kandidat kepala daerah di Pilkada Serentak 2024 dinilai hanya sekadar "basa-basi" belaka. Minimnya pengetahuan tentang politik dan jumlah komunitasnya besar kemudian dimanfaatkan atau dipolitisasi untuk mendapatkan simpati.

Hal tersebut disampaikan pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto saat menghadiri diskusi "Cek Fakta Visi Misi Kandidat" di Sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Makassar, Jalan Toddopuli, Kecamatan Manggala, Makassar, Minggu (24/11/2024).

Andi Ali menjelaskan dalam konteks politik, khususnya politik elektorat, semua hal akan dilakukan oleh seorang kandidat. Bahkan hal-hal yang sebelumnya dianggap tabu sekalipun akan dilanggar untuk mendapatkan simpati dari pemilih.

"Misalnya dalam konteks politik elektorat bahkan orang alergi sama Bissu, alergi sama penari, tiba-tiba ada videonya dia sawer penari. Jadi ini seperti tidak terpisahkan dalam konteks politik elektorat dengan kontek kebijakan. Kebijakan boleh tidak berpihak, tapi dalam konteks politik elektoral, itu dibuka selebar mungkin terkhususnya untuk kelompok-kelompok marginal," tutur Ali.

Dia menjelaskan dalam konteks Pilkada, kelompok-kelompok marginal atau kelompok masyarakat yang terpinggirkan ini sebetulnya paling banyak mendapat perhatian dari para kandidat. Mereka disebut mendapatkan perhatian lebih dalam proses pelaksanaan Pilkada dikarenakan mereka adalah kantong suara terbanyak.

"Paling banyak sebenarnya mendapat perhatian, kelompok-kelompok misalnya bissu, disabilitas, dan kelompok marginal lain. Termasuk orang-orang 3T, termiskin, terluar dan terbelakang. Inikan semua kelompok-kelompok marginal yang juga kantong-kantong suara," beber dia.

Untuk di Kota Makassar, kelompok-kelompok terpinggirkan ini adalah mereka yang tinggal dan hidup di kampung-kampung kumuh, kelompok jalan, pengamen, dan kelompok masyarakat menengah ke bawah lainnya.

Selama proses pilkada, mereka disebut akan disentuh oleh para kandidat dikarenakan mereka ingin menunjukkan keberpihakannya. Sebab kalau mereka tidak tersentuh, kandidat tersebut akan ditingkatkan oleh kantong-kantong suara terbesar tersebut, sehingga kepentingannya harus diakomodasi selama proses pelaksanaan pilkada.

"Makanya segala sesuatu menjadi persoalan persoalan politik. Kalau dulu kelompok bissu tidak diperhatikan sekarang tiba-tiba banyak orang, kandidat-kandidat datang foto, datang duduk di situ mendengarkan keluhan-keluhan para bissu. Datang berfoto dengan orang yang tinggal di tempat kumuh, lalu fotonya dibikinkan baliho besar, reels di media sosial, karena itu tadi politik elektoral penting menyetujui kelompok-kelompok yang merupakan target penyumbang suara," ungkap Ali.

"Sehingga kalau kita bertanya apakah visi dan misi calon itu menyentuh kelompok-kelompok marginal saya jawab iya. Makanya visi misi itu dibuat general supaya bisa diaplikasikan di mana saja. Makanya kalau di tanya bissu belum tersentuh di visi misi, mereka pasti bilang ada di dalam kelompok marginal. Tapi kalau di runut ke bawah pasti tidak ada (keberpihakannya)," lanjut dia.

Andi Ali menjelaskan kalau melihat polanya dalam politik atau pilkada sebenarnya justru kelompok-kelompok marginallah yang disasar oleh para kandidat. Mereka dalam politik yang disebut "idiot" atau tidak terlalu melek politik tapi mereka penting dalam proses pelaksanaan politik.

"Ini adalah kelompok-kelompok marginal, karena mereka adalah justru idiot. Kata idiot dalam politik itu artinya orang yang buta politik atau tidak punya literasi politik, tapi bermanfaat," tutur dia.

Dia mencontohkan pola politik mantan Presiden Joko Widodo. Dalam menjalankan praktik politiknya disebut banyak menawarkan program-program gratis dan menyasar kelompok-kelompok marginal, seperti kartu pintar, kartu sehat dan kartu miskin. Mereka kemudian dieksploitasi untuk mendapatkan simpati dalam proses pemilihan.

"Ini mereka yang kemudian ditawari berbagai program gratis. Jokowi sekali, bodoh, miskin, dan sakit-sakitan. Jokowi kan itu andalannya, kartu pintar, kartu sehat, dan kartu miskin. Jadi orang bodoh, miskin dan sakit-sakitan inilah yang dieksploitasi dan ini semua berlatar kelompok marginal," ungkapnya.

Dalam konteks Pilkada Makassar 2024 juga disebut ada beberapa kandidat yang coba melakukan pola yang sama, seperti menawarkan baju seragam sekolah gratis, iuran sampah gratis, bantuan UMKM dan program gratis lainnya.

Kelompok marginal ini disebut menjadi sasaran untuk para kandidat dikarenakan jumlahnya sangat besar. Sehingga dalam visi misi para kandidat yang paling banyak porsinya adalah kelompok terpinggirkan, dan justru kelompok-kelompok menengah ke atas disebut yang tidak terlalu dilibatkan.

"Ada tidak tidak yang bilang nanti kita kasi sejahtera dosen, mau kasi sejahtera budayawan, wartawan, tidak, karena mereka (politkus) tahu anda bukan kantong suara besar. Tapi justru orang-orang inilah (marginal) yang merupakan kantong-kantong suara besar," beber dia.

"Kelompok ini, kepentingannya diangkat supaya lebih tertarik untuk memilih, memberikan suaranya, dan kalau kita perhatikan justru yang termarjininilisasi pada visi dan misi calon kepala daerah adalah kelompok menengah ke atas," sambung dia.

Sementara budayawan Sulsel, Prof Andi Halilintar Lathief mengatakan kebudayaan adalah modal utama dalam membangun karakter. Namun budaya tidak dilibatkan dalam politik karena proses dan hasilnya panjang.

"Kebudayaan itu kenapaa tidak dilibatkan dalam politik karena 25 tahun baru nampak hasilnya. Satu periode itu hanya 5 tahun sehingga jualannya pakai pakaian adat, kata-kata mutiara daerah," tutur Halilintar. (isak pasa'buan/C)

  • Bagikan