Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Di berbagai negara di belahan dunia ini akan begitu banyak sistem politik yang pernah ada dan berkembang yang kemudian mempengaruhi kehidupan politik, kebijakan, dan cara berwarga negara. Setidaknya sistem yang diterapkan adalah bagian dari kepentingan politik penguasa di satu pihak dan kepentingan warga negara di pihak yang lain.
Sistem monarki di Inggris, misalnya, sebagai negara kerajaan tentu proses pengambilan keputusan sangat sentralistik yakni di tangan seorang raja atau dalam sistem politik modern menyebutnya sebagai kekuasaan despotisme yakni kekuasaan yang dikendalikan dan berada di tangan satu orang.
Monarki sebagai suatu sistem dalam tata-kenegaraan “otoritarianisme personal” dari seorang raja begitu kuat. Hak prerogatif seorang raja begitu besar untuk mengambil keputusan-keputusan strategis. Dalam perkembangannya, di Jerman, misalnya, yang berkembang teori sosial kritis yang lebih familier dengan sebutan “mazhab Frankfurt” pada masanya mulai melakukan upaya kritis terhadap sistem politik dan pemerintahan yang cenderung monokrasi atau monarki sebagaimana yang berkembang di Inggris.
Kritik sosial di Mazhab Frankfurt yang dimotori oleh Max Horkheimer, Theodor Adorno, Jurgen Habermas, Sigmund Freud—mazhab Frankfurt atau berkembangnya cara pandang kritis sosial terhadap hubungan individu dan masyarakat, hubungan masyarakat dengan melihat gejala-gejala pada aspek sosial, ekonomi, politik dan demokrasi. Para pemikir mazhab ini secara terang-terangan mulai membangun diskursus sosial di berbagai tempat di dalam upaya memberikan pendidikan kesadaran kritis pada kehidupan berwarga negara.
Pada prinsipnya teori kritis ini mulai mendorong satu gagasan yang humanistik, populis, dan demokratis sebagai bagian untuk memutus mata rantai otoritarian, fasisme, dan monarki di berbagai negara. Menurutnya sistem ini cukup menghambat proses pendewasaan (maturity civilitation) sehingga perlu dibangun satu sistem sosial yang egaliter.
Monarki yang sistem kepemilikian kekuasaan secara dominan tentu bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi termasuk pada aspek kemanusiaan karena di dalam prakteknya---pusat kekuasaan dikendalikan oleh satu orang yakni seorang raja. Sementara egalitarian adalah upaya memposisikan warga negara dalam persamaan, setara dengan warga negara yang lain. Egalitarian juga sering kita sebut sebagai gerakan tanpa kelas atau masyarakat persamaan.
Melirik makna pergeseran kekuasaan secara history-deskriptif; dari monarki, otoritarian, dan fasisme ke arah demokratis yang egalitarian—tentu akan berdampak pada sistem dan pola ketatanegraan di satu negara. Sebagaimana pandangan politik dari David Easton (1974) dalam bukunya “The political System” maka ada dua hal yang menjadi dasar pengetahuan untuk melihat sekaligus membedakan “negara politika dan negara demokrasi”.
David Easton: negara politika adalah sistem pemerintahan yang dikelolah oleh banyak orang dan peruntukan kekuasaan itu hanya untuk kolega, keluarga, dan kroni. Sementara negara demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dikelolah oleh banyak orang dan peruntukan kekuasaan untuk banyak orang atau lazim disebut dengan istilah “dari, oleh, dan untuk rakyat”.
Pergeseran kekuasaan bukan hanya dipahami sebagai perpindahan kekuasaan pemerintahan dari seorang presiden ke presiden berikutnya tetapi pergeseran kekuasaan lebih lebih kepada penguatan serta karakteristik dari bergesernya kepemimpinan dalam satu sistem politik. Dalam pengertian bahwa kekuasaan akan selalu mengalami fase dan ciri ideologi yang membersamainya. Karakter kepemimpinan selalu mengikuti gaya dan gestur apakah ia sispil atau militer.
Sebagai sebuah catatan dalam sejarah bahwa dalam politik Indonesia pernah mengalami berbagai fase pergantian kekuasaan---Soekarno (sipil), Soeharto (militer), BJ. Habibie (ilmuwan), Gusdur (agamais), Megawati (nasionalis), SBY (militer), Jokowi (sipil), dan Prabowo (militer). Dari semua pemimpin negara tersebut memiliki ciri dan karakter serta kondisi yang berbeda dalam menjalankan sistem tatakenegaraan. Situasi politik dalam negeri juga akan memberi dampak terhadap karakter kepemimpinan di masing-masing periode.
Sistem politik yang ruang pemilihan umum sebagai medium untuk melahirkan pemimpin yang baru dalam demokrasi—justru semakin menuai tantangan yang tidak ringan. Money politics, mahar politik dan politik mahar, budaya politik transaksional (obligator vote), perusakan konstitusi, semua itu menjadi fatsoen yang harus diperbaiki oleh pemimpin-pemimpin baru yang dihasilkan oleh proses politik yakni pemilu.
Membangun politik yang elegan di era post-truth tentu sangat tidak mudah, sebab kontrol politik di jejaring media sosial begitu sangat masif dan memberi pengaruh pada kekuasaan dalam proses pengambilan keputusan (decision making). Melalui tulisan, orasi, pernyataan sikap, artikel opini, panggung sastra dan musikalisasi puisi, menjadi bagian terpenting di dalam melihat “tubuh politik penguasa.”
Dan amat sangat berbeda pergeseran kekuasaan Orde Baru ke Orde Reformasi 98-itu satu tragedi dalam politik yang didasari oleh kondisi negara yang sedang krisis moneter, KKN (kolusi, korupsi, nepotisme) yang kemudian bergerak menuju pada krisis kepemimpinan.
Kondisi ini kemudian memicu munculnya the political forces dan the moral forces sebagai gerakan sosial yang memprotes Orde Baru yang semakin kehilangan arah. Pergeseran kekuasaan di masa itu adalah bentuk katarsis publik dengan perilaku elit yang koruptif dan nepotisme di jejaring kekuasaan. Sampai kepada pola-pola bisnis di lingkaran Istana atas penguasaan sumber daya alam secara sistematik.
Oleh sebab itu, membaca pikiran Michel Foucault di dalam memahami pergeseran kekuasaan; Michel Foucault memandang kekuasaan sebagai situasi strategis kompleks dalam masyarakat yang tidak terpusat pada satu orang atau sekelompok orang. Kekuasaan menurut Foucault memiliki beberapa karakteristik, yaitu (1) kekuasaan tidak dipandang negatif, melainkan positif dan produktif. (2) kekuasaan bekerja dari bawah ke atas, bukan sebaliknya. (3) kekuasaan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari melalui wacana (diskursus). (4) kekuasaan dan pengetahuan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. (5) kekuasaan tidak dapat dimiliki sebagai properti, perolehan, atau hak istimewa. (6) kekuasaan tidak beroperasi secara negatif melalui tindakan represif, koersif, dan menekan.
Foucault juga menekankan bahwa tidak ada klaim kebenaran yang final dan bersifat universal, melainkan bersifat versi. Kekuasaan berada di area yang tidak stabil sehingga perlu dipertahankan dengan berbagai cara, sekalipun dengan cara yang manipulatif. Artinya pandangan Foucault tentang hal demikian cendrung menyoroti pada proses politik yang curang dan menghalalkan segala macam cara.
Pada sorotan Foucault tentang kekuasaan yang diperoleh secara istimewa---adalah tragedi dalam politik yang seringkali terjadi dalam proses pemilu ke pemilu. Nepotisme, misalnya, menjadi bagian yang disorot dalam pandangan Foucault, bagaimana kekuasaan itu diperoleh.
Di peroleh dengan cara melanggar konstitusi adalah bagian terburuk dalam sisi demokrasi. Dan itu juga yang menjadi bagian penting dalam pikiran Max Weber tentang dinastokrasi yang berdampak pada tumbuh suburnya korupsi karena sirkulasi kekuasaan diputar di tengah keluarga sehingga mata rantai kejahatan politik sulit untuk dihindari bahkan nyaris berkecendrungan untuk selalu dipraktekkan.
Catatan Politik Indonesia
Memaknai pergeseran kekuasaan di demokrasi Pancasila (ala Indonesia), tentu kita akan melihat sketsa kecil terjadinya pergeseran kekuasaan seperti: pergeseran kekuasaan dapat diartikan sebagai penurunan kekuasaan relatif. Pergeseran kekuasaan juga dapat diartikan sebagai perubahan dalam pembagian kekuasaan di dalam suatu negara.
Berikut ini adalah beberapa contoh pergeseran kekuasaan di Indonesia: (a) sebelum amendemen UUD 1945, Presiden memiliki kekuasaan untuk membentuk undang-undang. Setelah amendemen, kekuasaan tersebut berada di tangan DPR, sedangkan Presiden hanya mengesahkan rancangan undang-undang yang telah dibahas bersama DPR. (b) sebelum amendemen UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia berada dalam keadaan executive heavy. Hal ini disebabkan karena konstitusi tidak cukup memuat check and balances antarcabang pemerintahan. Setelah amendemen, sistem check and balances dikuatkan dalam konstitusi.
Konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) atau trias politica membagi suatu pemerintahan negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Secara konsepsi trias politika cukup ideal-tetapi praktik kekuasaan justru jauh dari konsep ideal tersebut.
Di banyak fakta, kasus hukum selalu mendapatkan intervensi politik sehingga siapa yang berada di dalam kekuasaan maka begitu sulit untuk diproses secara hukum sekalipun ia terindikasi bahkan tersangka korupsi.
Law enforcement seringkali mendapat tekanan secara politik untuk melindungi kolega-kolega dalam politik. Kekuasaan yudikatif justru di intervensi oleh kekuasaan eksekutif—sehingga proses hukum mengalami kebuntuan. Semua itu adalah wajah pergeseran kekuasaan yang belum ideal dipraktikkan dalam demokrasi yang transisi.
Konsep idealnya adalah (Trias Politika) adalah bagaimana kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif itu bekerja sesuai tupoksinya tanpa intervensi dari kekuasaan politik lainnya sehingga prinsip Law Enforcement semaksimal mungkin bisa dilakukan.
Akhirnya sebagai satu catatan dari tulisan ini adalah; pergeseran kekuasaan dari kiri ke kanan merupakan upaya untuk menerjemahkan siklus politik yang seringkali berganti dari rezim yang satu ke rezim berikutnya. Kiri yang lebih berkonotasi “radiks” atau oposisi, sementara kanan lebih diasosiasikan “nasionalisme” normatif dan penegakan pada nilai-nilai kultural, agama dan kebangsaan.
Dan, Jokowi ke Prabowo adalah bagian dari siklus politik yang bergeser--dari sesuatu yang “rusak” menuju satu perubahan yang lebih baik. Semoga Prabowo Subianto bisa mengakselerasi perubahan itu, agar tumbuh demokrasi dengan baik dan elegan. Demokrasi yang ideal adalah ruang suara tanpa intervensi politik. (*)