MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemungutan suara di pemilihan kepala daerah serentak akan digelar besok. Masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi sudah selayaknya berdiskresi agar mandat yang akan diberikan dalam bilik suara tidak jatuh ke tangan orang yang salah.
Dengan suara nurani, pemilih akan dapat melihat secara jernih calon pemimpin yang selalu mengedepankan nilai agama, moral, etika, dan budaya, dan mana yang hanya dikendalikan oleh hawa nafsu untuk mendesakkan kepentingan pribadi dan golongan. Ketajaman nurani juga mampu menilai mana kandidat yang benar-benar tulus dan murni untuk menjadi abdi masyarakat dan mana yang hanya bersandiwara untuk mendulang suara.
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sulawesi Selatan, Profesor Wahyuddin Naro meminta masyarakat tidak melakukan aksi golput pada pemilihan kepala daerah serentak, 27 November nanti. Menurut dia, sebagai warga negara yang bertanggung jawab, memiliki hak dan kewajiban untuk menggunakan hak konstitusi dalam menentukan masa depan daerah.
"Ini adalah momentum penting untuk memilih pemimpin yang amanah dan berkomitmen pada kesejahteraan dan kedamaian rakyat,” kata Wahyuddin, Senin (25/11/2024).
Naro mengatakan, pemilih dihadapkan tidak menyia-nyiakan hak pilih dengan mendatangi tempat pemungutan suara (TPS). Dia meminta, warga menggunakan hak konstitusional untuk memilih pemimpin yang terbaik.
"Pilihlah sesuai dengan suara hati nurani dan demi masa depan yang lebih berkemajuan dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Sulsel," ujar Naro.
Guru besar Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar itu mengatakan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik ke depan, sedapat mungkin dimulai dari daerah. Menurut dia, Pilkada Serentak 27 November 2024 adalah kesempatan untuk menentukan arah pembangunan daerah di Sulsel.
"Dengan satu suara, kita bisa memilih pemimpin yang visioner dan mampu mewujudkan perubahan nyata," tegas Naro.
Jangan ragu untuk menggunakan hak pilihmu sesuai dengan amanat konstitusi dan perintah agama. Suaramu adalah kekuatan yang mampu membentuk masa depan Sulsel yang lebih baik," lanjut dia.
Naro mengatakan, selaku ketua FKUB Sulsel bersama Pimpinan Majelis Agama mengimbau kepada para jemaat/umat untuk mewujudkan Pilkada yang JURDIL dan LUBER guna terciptanya kerukunan dan kedamaian di Sulsel.
"Pilkada Serentak 27 November 2024 bukan hanya tentang memilih, tetapi juga tentang tanggung jawab sebagai warga bangsa dan umat beragama untuk ketentraman dan kerukunan warga bangsa. Hak pilih kita adalah amanah konstitusi dan amanah Tuhan yang harus kita gunakan dengan bijak," tegas Naro.
Dia menyatakan, dalam menentukan pilihan maka pahami serta pelajari visi dan misi para calon serta sedapat mungkin menghindari penilaian personal. Menurut Naro, warga bisa memilih pemimpin yang benar-benar berkomitmen untuk membangun Sulsel yang berperadaban dan religius yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman budaya, agama, suku, bahasa dan menjaga ketentraman dan kedamaian.
"Jangan biarkan suara kita hilang dan mengganggu kerukunan. Pilkada pesta lima tahunan untuk itu jangan karena pilkada sehari merusak ketentraman dan kedamaian di masyarakat sulsel. suara kita adalah kekuatan untuk perubahan dan menciptakan kerukunan yang damai di rumah kita Sulsel," tutur Naro.
Waspada Pelibatan Aparat
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto mengatakan pelibatan aparat khususnya TNI/Polri dalam kepentingan politik, utamanya pemilu atau pilkada dikarenakan karena mereka cukup strategis untuk dikerahkan. Terlebih, kata dia, TNI/Polri ini disebut memiliki wilayah teritorial yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, dalam hal ini para pemilih. Sehingga potensi besar tersebut kerap dimanfaatkan oleh orang-orang yang memiliki akses komunikasi dengan dua institusi negara tersebut.
"TNI dan Polri ini berbahaya kalau dipolitisasi, apalagi kalau dimobilisasi untuk kepentingan politik. Karena sama seperti birokrasi, mereka punya cakupan teritorial. TNI dan Polisi ini punya wilayah teritorial, mulai dari tingkat kabupaten seperti polres, polsek, dan di level desa itu ada babinsa, bhabinkamtibmas dan itu bisa bersentuhan langsung masyarakat dan bisa mempengaruhi secara langsung pemilih," tutur Ali.
Oleh karena itu, kata Ali, sangat berpengaruh jika institusi-institusi negara tersebut dikerahkan oleh oknum-oknum tertentu untuk mendapatkan keuntungan, khususnya dalam pelaksanaan Pilkada yang sementara berlangsung ini.
Menurut dia, pengaruh sangat besar tersebutlah dikatakan salah satu alasan negara melalui undang-undang mengatur TNI dan Polri agar mereka netral dalam setiap perhelatan demokrasi. Bahkan TNI dan Polri dicabut hak pilihannya sehingga tidak dapat menyalurkan hak suaranya pada pelaksanaan pemilu maupun pilkada.
"Sama juga ASN kalau memanfaatkan jabatannya. Makanya ini sangat berbahaya kalau dipolitisasi karena mereka mampu menciptakan pengaruh atau memobilisasi pemilih untuk orang-orang tertentu dan itu bisa memberikan kontribusi yang signifikan atau memberi kontribusi besar untuk orang-orang yang didukungnya," sebut Ali.
Isu atau informasi mengenai TNI dan Polri ikut "cawe-cawe" dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 disebut bukan lagi rahasia umum di masyarakat. Terlebih keterlibatan birokrasi dalam hal ini ASN, yang dibuktikan dengan banyaknya laporan-laporan di pengawas pemilu atau Bawaslu.
Untuk itu, Ali berharap masyarakat tidak diam jika menemukan tindakan-tindakan oknum TNI, Polri, maupun birokrasi atau ASN dalam melakukan mobilisasi atau intervensi untuk mendukung pasangan calon tertentu dalam Pilkada yang sementara berlangsung ini.
Meskipun, menurut dia, gerakan-gerakan yang dilakukan itu sulit terdeteksi dan dibuktikan secara hukum dikarenakan masif dan terstruktur. Terlebih pihak pengawas penyelenggara pemilu juga disebut kadang ogah memproses jika menemukan pelanggaran-pelanggaran yang buktinya minim.
"Kembali lagi kita mendorong masyarakat untuk melawan gerakan-gerakan politik konservatif seperti ini. Karena tentu gaya berpolitik seperti ini akan menguntungkan sebagai orang, tidak berpihak kepada masyarakat dan hanya memikirkan politik sesaat. Dan lebih parahnya karena mereka memanfaatkan sesuatu yang ilegal untuk memenangkan Pilkada dan untuk itu harus kita lawan bersama-sama," pesan Ali.
"Memang persoalannya ini adalah hal yang susah untuk dideteksi karena juga misalnya tidak ada laporan dan bahwa kalau diverifikasi ke Gakkumdu kebanyakan menyangkal informasi-informasi tersebut, sehingga memang anga membingungkan ketika kita berbicara. Untuk itu kita kembali lagi, harus dilawan dengan gerakan rakyat," sambung dia.
Terakhir, Ali kembali menjelaskan kenapa posisi TNI, Polri, maupun birokrasi atau ASN sangat berpengaruh dan menguntungkan jika digunakan sebagai alat dalam politik karena hampir semua kerja-kerja mereka bersentuhan langsung dengan masyarakat, utamanya masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah. Bahkan skala birokrasi saja disebut bisa saja melakukan intervensi hingga ke RT/RW dalam momentum Pilkada ini untuk memenangkan pasangan calon tertentu.
Dalam sejarah demokrasi di Indonesia, pengerahan TNI dan Polri dalam politik praktis disebut pernah dilakukan di era Orde Baru. Dimana saat itu Parti Golkar unggul telak hingga 70 persen dari partai-partai lainnya saat ini dikarenakan adanya pergerakan TNI dan Polri. Sehingga jika pola tersebut kembali dimainkan oleh para calon kepala daerah yang memiliki akses terhadap TNI dan Polri maka dipastikan akan sama menguntungkan dan bisa memenangkan pertarungan.
"Sama birokrasi, juga, kan, sampai RT/RW punya otoritas untuk memobilisasi (massa). Jadi ini yang bahaya kalau otoritas ini (TNI/Polri dan ASN) dimanfaatkan untuk memenangkan seseorang tentu akan sangat efektif sekali, makanya banyak yang tertarik untuk melakukan karena ini memang alat yang efektif untuk memobilisasi masyarakat," imbuh dia.
Adapun Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Inspektur Jenderal Yudhiawan memastikan dan menjamin seluruh personilnya bersikap netral selama pelaksanaan hingga hari pencoblosan 27 November Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024. Hal tersebut disampaikan menepis adanya isu-isu mengenai anggota Polri di Sulsel turut "cawe-cawe" atau melakukan intimidasi untuk pasangan calon tertentu dalam pilkada.
Yudhiawan memastikan seluruh jajarannya akan bersikap netral dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 di Sulsel, terlebih ada aturan dan undang-undang yang melarang anggota Polri terlibat dalam politik praktis.
"Saya pastikan tidak (cawe-cawe). Kami harus netral, sudah ada hukumnya itu," tegas Yudhiawan saat diwawancara di halaman Mapolda Sulsel, Senin (25/11/2024).
Aturan netralitas Polri, kata Yudhiawan, mulai dari Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri Pasal 28 ayat (1) yang berbunyi Polri harus bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis. Dan ayat (2) disebutkan, anggota Polri tidak menggunakan hak pilih dan dipilih.
"Pertama Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 Pasal 28 tentang netralitas dan hak politik polri, netral. Kalau mau memilih, keluar dari Polri baru bisa memilih," tutur dia.
Selain itu, jika seorang anggota Polri disebut terlibat dalam politik praktis juga akan dikenakan sanksi etik sebagaimana diatur dalam Peraturan Polri (Perpol) Nomor 7 Tahun 2022. Dalam aturan tersebut salah satu poinnya berbunyi bahwa setiap pejabat Polri dalam etika kenegaraan wajib bersifat netral dalam kehidupan politik.
"Terus kode etik, yaitu peraturan kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 Pasal 4 huruf F, terus kemudian Pasal 9 huruf H," terangnya.
Tak sampai di situ, mantan Kapolrestabes Makassar itu juga menyampaikan bukan hanya sanksi etik saja yang bisa menjerat anggota Polri yang terlibat politik praktis atau tak netral dalam pelaksanaan Pilkada 2024, tapi juga bisa diproses secara pidana oleh pengawas pemilu dalam hal ini Bawaslu sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 136/PUU-XII/2024.
Adapun Putusan MK yang dikeluarkan itu yakni Pasal 188 UU Nomor 1/2015 berbunyi "setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 bulan atau paling lama 6 bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00".
MK memasukkan frasa "pejabat daerah" dan "anggota TNI/Polri" ke dalam norma Pasal 188 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota tersebut.
"Apalagi itu ada dari Mahkamah Konstitusi (MK) apabila ada anggota Polri yang tidak netral bisa diproses pidana ancaman 1 sampai 6 bulan (penjara)," ucap Yudhiawan. (isak pasa'buan/C)