Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Dulu, setiap murid pada jenjang pendidikan apa pun di mana mereka belajar tidak ada seorang murid atau peserta didik yang berani melawan guru. Karena siapa saja yang melawan guru, ilmunya tidak akan berkah. Apalagi di lingkungan pesantren doktrin dan etika seperti ini senantiasa dijaga sehingga hubungan guru dan murid senantiasa santun dan penuh hormat.
Meskipun seorang santri telah menamatkan pelajarannya di lingkungan pesantren, berhasil meraih gelar tertinggi doktor hingga gelar profesor, ketika berjumpa dengan gurunya tetap memosisikan dirinya sebagai santri di hadapan gurunya.
Kini, sikap santun dan penuh hormat secara tulus kepada guru semakin menipis di lingkungan pendidikan kita. Perhatikan di media, ada di antara murid yang justru berani memukul gurunya bahkan dilakukan secara bersama-sama dengan orang tua sang murid.
Demikian pula tidak sedikit di antara guru yang diseret ke pengadilan oleh karena diduga melakukan kekerasan terhadap muridnya. Padahal, berkat jasa guru kita semua menjadi terpelajar, meskipun pada dasarnya kewajiban mendidik dan mengajar terpulang kepada orang tua. Guru hanyalah melaksanakan tugas sekunder, sementara tugas utama diemban oleh orang tua.
Bayangkan bagaimana jadinya kalau saja pendidikan dan pengajaran anak-anak kita semuanya di tanggung orang tua, tanpa adanya lembaga pendidikan yang diasuh oleh guru-guru yang bekerja secara profesional dan penuh cinta kasih, boleh jadi pendidikan dan pengajaran anak-anak kita akan terbengkalai dan tidak mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang harapkan. Karena itu tugas dan profesi sebagai guru sangat mulia di mata Tuhan, di masyarakat di pandang sebagai pejuang dan lentera peradaban.
Tinta guru dan para ulama lebih utama dari tetesan darah para syuhada, karena guru masuk kelas tidak cukup hanya berbekal informasi keilmuan sesuai dengan tuntutan kurikulum, melainkan harus masuk kelas dengan hati, dengan cinta kasih.
Guru yang mengajar dengan hati, akan diterima oleh murid dengan hati. Guru yang mengajar dengan cinta , murid pasti membalasnya dengan cinta. Guru yang pandai menghargai murid, pasti dihargai oleh murid-muridnya.
Relasi dan komunikasi sosial terutama di dunia pendidikan, afeksi, dan empati sangat menentukan kepribadian anak dalam proses pendewasaan jasmani dan rohani di masa depan. Jika sejak dini mereka diajari untuk menjalani hidup secara mulia dan memuliakan sesama, pada gilirannya generasi bangsa ini pandai menghargai dan memuliakan guru yang telah membukakan jendela peradaban dunia.
Guru menjadi sebuah profesi yang sangat mulia, karena tidak saja bekerja demi mencari nafkah melainkan panggilan jiwa. Menjadi guru tidak cukup hanya dengan modal kemauan, karena di pundak guru terletak masa depan bangsa. Pasal 40 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, “Guru harus mampu menciptakan suasana pendidikan menyenangkan, kreatif, dan dinamis.
Dengan demikian tidak mudah menyandang profesi guru, apalagi profesi ini tidak lagi dipandang sebelah mata. Pemerintah telah mengucurkan sejumlah fasilitas dan kemudahan yang dapat menopang agar menjadi guru profesional. Misalnya, beasiswa pendidikan, tunjangan profesi, dan lainnya. Hal tersebut tentu akan melahirkan berbagai tuntutan yang harus diwujudkan oleh seorang guru dalam menjalani dan melaksanakan profesinya.
Mampukah guru memacu kualitas diri untuk meningkatkan mutu pendidikan? Tugas seorang pendidik bukan hanya mentransfer ilmu kepada peserta didik, melainkan mendidik dengan hati dan kasih sayang, tugas seorang pendidik tidaklah semakin ringan.
Tengoklah tawuran antar pelajar yang kerap menjadi hiasan media. Guru dituntut untuk mampu mengasah wawasan dan pengalaman mengatasi irama kehidupan yang semakin terbuka. Tampil sebagai lentera peradaban di garis terdepan, Selamat Hari Guru Nasional Tahun 2024. (*)