MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemilihan Kepala Daerah Serentak 2024 menyisakan banyak cerita. Beberapa pesohor politik beroleh keberuntungan setelah memenangkan pertarungan. Tak tanggung-tanggung, mereka mencatatkan kemenangan dalam dua kali perhelatan pemilu; pemilihan legislatif dan pilkada serentak.
Pun, tak sedikit yang harus menelan pil pahit akibat menderita kekalahan beruntun. Gagal terpilih di legislatif dan tak sukses melenggang di eksekutif. Paling "sial" yakni mereka yang melepas empuknya kursi di parlemen untuk mengincar posisi di pemerintahan, selanjutnya berakhir dengan kekalahan. Yang dilindungi Dewi Fortuna adalah mereka yang gagal di pileg lalu maju dan menang di pilkada.
Peruntungan dalam kontestasi politik akan bermuara pada menang dan kalah yang silih berganti pasti terjadi. Tapi tidak jarang, kemenangan akan terus memperlihatkan keberpihakan pada politikus yang tak lelah mengejar jabatan. Bahkan, ada yang dipaksa untuk berhenti melampiaskan ambisi dengan membuat mereka kalah dalam kontestasi.
Hal itu pula yang terjadi pada pilkada serentak di Sulawesi Selatan. Beberapa aktor politik berhasil menggandakan kemenangan politik hanya dalam rentang waktu sembilan bulan dari pemilihan legislatif ke pilkada serentak. Sebut saja, Fatmawati Rusdi yang lolos mudah ke DPR RI, lalu mundur untuk maju sebagai calon wakil gubernur Sulawesi Selatan dan akhirnya berhasil terpilih.
Munafri Arifuddin, misalnya, sudah punya satu kursi di DPRD Sulsel kemudian dilepas untuk maju sebagai calon wali kota Makassar untuk kali ketiga. Nasib baik memayungi eks bos PSM Makassar ini setelah unggul dalam hitung cepat berbagai lembaga survei.
Wakil Munafri, Aliyah Mustika Ilham merasakan kekalahan di Pileg 2024, tapi tak kapok untuk maju di pilkada dan bisa terpilih.
Situasi berbeda dialami, misalnya, oleh Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sulawesi Selatan Azhar Arsyad. Calon Wakil Gubernur ini sebelumnya gagal terpilih ke DPRD Sulsel, tapi nekat berjuang di pilkada serentak. Hasil hitung cepat memastikan Azhar gagal lagi.
Nama Muhammad Fauzi juga masuk dalam daftar ini. Politikus Partai Golkar ini "rela" melepas satu kursi di DPR RI untuk menggantikan posisi istrinya, Indah Putri Indriani sebagai bupati Luwu Utara. Malang tak dapat ditolak, Fauzi gagal merebut hati pemilih di daerah yang dikuasai oleh istri selama kurang lebih sepuluh tahun belakangan ini.
Banyaknya anggota legislatif terpilih pada Pileg 2024 lalu gagal di Pilkada Serentak 2024 ini menimbulkan pertanyaan, seperti apa preferensi masyarakat terhadap politikus tersebut.
Pengamat politik, Muhammad Asratillah menjelaskan sejumlah faktor yang mempengaruhi para anggota legislatif itu gagal di Pilkada Serentak 2024. Pertama, seperti yang dialami Muhammad Fauzi yang maju di Pilkada Luwu Utara yang berpasangan dengan Ajie Syaputra dikalahkan oleh salah rivalnya yakni Andi Rahim-Jumail Mappile.
"Fenomena di Lutra itu karena beda basis suara. Misalnya DPR RI untuk Fauzi, suara dia waktu maju di Pileg 2024, kan, bukan hanya di Luwu Utara, tetapi se-Luwu Raya," ujar Asratillah kepada Harian Rakyat Sulsel, Kamis (28/11/2024).
Begitu juga yang dialami Muzayyin Arif yang maju bersama Andi Ikhsan Hamid di Kabupaten Sinjai. Dia dikalahkan oleh Hj. Ratnawati Arif-Andi Mahyanto Masda berdasarkan hasil hitung cepat lembaga survei.
Minimnya perolehan suara yang didapatkan Muzayyin di Pilkada Sinjai, menurut Asratillah, dikarenakan basis suaranya pada Pileg memang bukan di wilayah tersebut, melainkan di daerah pemilihan VI meliputi Kabupaten Maros, Pangkep, Barru, dan Parepare.
"Jadi basis suara Muzayyin, memang bukan di Sinjai, meski dia putra asli daerah itu," imbuh Asratillah.
Faktor lain tidak terpilihnya para legislatif tersebut sebagai kepala daerah dikarenakan penerima masyarakat terhadap posisinya. Menurut dia, jabatan legislatif dinilai masyarakat atau pemilih sebagai perwakilan rakyat yang bisa membuat regulasi dan kebijakan.
Sementara kepala daerah dinilai sebagai eksekutor di daerah. Dua persepsi yang berbeda ini juga disebut salah satu faktor yang mempengaruhi anggota legislatif kurang diterima oleh masyarakat saat mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
"Kemudian yang kedua, preferensi orang untuk memilih waktu pileg dengan calon kepala daerah itu berbeda. Waktu mereka memilih calon DPR RI, misalnya, yang mereka bayangkan itu pembuatan regulasi, pihak legislatif memperjuangkan anggaran di DPR RI kemudian di eksekusi di tingkat penyelenggara pemerintah daerah," ungkap Asratillah.
"Nah, kalau kepala daerah, preferensi pemilih itu memang eksekutor kebutuhan masyarakat seperti pembangunan jembatan, jalan, dan sebagainya," sambung dia.
Masalah lainnya, utamanya di Kabupaten Luwu Utara, salah satu faktor yang juga disebut mempengaruhi tidak terpilihnya Muhammad Fauzi karena adanya pergeseran penilaian masyarakat terhadap kinerja dan kepemimpinan istrinya selama ini. Mengingat, Fauzi di mata masyarakat Luwu Utara disebut tidak akan lepas dari keterikatan istrinya, Indah Putri Indriani.
"Di Luwu Utara itu bukan hanya faktor Fauzi, bisa juga karena adanya pergeseran persepsi kinerja istrinya karena antara Fauzi dengan Indah itu, kan, tidak bisa dipisahkan," tutur Asratillah.
"Artinya endorsement utama Fauzi itu adalah Indah. Jadi kalau persepsi kinerja Indah menurun tentu persepsi terhadap Fauzi juga semakin menurut atensi positifnya. Itu barang kali beberapa hal faktornya," sambung dia.
Terlebih, jika kinerja Indah Putri Indriani sebagai Bupati Luwu Utara di akhir masa kepemimpinannya dinilai negatif oleh masyarakat, maka perolehan suara terhadap Muhammad Fauzi akan berdampak signifikan.
"Karena saya juga banyak dengar itu dari lawan-lawan politiknya mereka yang mengatakan bahwa kurang bisa membuat legasi di Kabupaten Luwu Utara. Jadi itu juga mungkin yang mempengaruhi performa Fauzi sebagai calon kepala daerah gagal di Luwu Utara," beber dia.
Meskipun secara umum faktor tersebut yang mempengaruhi anggota legislatif gagal di Pilkada, berbeda dengan Rezki Mulfiati Lutfi yang maju sebagai calon wakil wali kota Makassar, berpasangan dengan Andi Seto Gadhista Asapa.
Direktur Politik Profetik Institute itu menyebut, untuk pertarungan kepala daerah di Kota Makassar sedikit berbeda dengan wilayah lainnya. Mengingat calon pasangan (Paslon) yang unggul sementara yakni Munafri Arifuddin-Aliyah Mustika Ilham, secara popularitas memang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Makassar.
"Sedikit beda karena kita harus mempertimbangkan lawan-lawannya. Appi (Munafri Arifuddin) ini juga, kan, anggota DPRD terpilih dan sudah tiga kali bertarung di Pilwali Makassar. Jadi ada variabel lain mengenai kegagalan Rezki menang di Makassar," jelas Asratillah.
Terakhir, Asratillah menuturkan arena pertarungan pada Pileg dengan Pilkada sangatlah jauh berbeda. Mulai dari basis wilayah suara hingga pemilih yang pragmatis. Menurutnya, pemilih pragmatis ini sangat berpengaruh karena posisi mereka terbilang abu-abu dan baru menentukan pilihannya jika ada deal-deal politik.
Untuk itu, pesannya jika maju dalam pemilihan kepala daerah riset disebut adalah kuncinya. Utamanya dalam memetakan pemilih dan basis suara.
"Mesti riset dulu, karena belum tentu pemilih kita di Pileg itu secara otomatis memilih kita di Pilkada. Jadi jangan sampai ada anggota legislatif yang mengasumsikan bahwa pemilih saya di pencalegan kemarin pilih saya di Pilkada. Itu kesalahan berpikir. Apalagi kalau sebagian besar pemilihnya waktu Pileg itu didapatkan secara transaksional, itu bisa sekali bergeser. Jadi kalau saya riset penentu utama dan mengetahui pergeseran-pergeseran suara," imbuh dia.
Senada dengan itu pengamat politik, Nurmal Idrus juga menilai kekalahan para anggota legislatif di Pilkada Serentak ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, dan salah satunya modal finansial.
"Medan pilkada tentu berbeda dengan medan pileg. Ada banyak faktor berpengaruh dalam kontestasi pilkada seperti figuritas dan modal finansial. Di figuritas menang, tapi mungkin mereka kalah terutama di finansial," kata Nurmal.
Menurut Direktur Nurani Strategic itu, anggota DPR yang terpilih kemudian maju di pilkada memang pilihan politik yang sulit namun sudah menjadi konsekuensi jika kalah.
"Tetapi inilah konsekuensi yang harus diterima oleh seorang politisi dimana akan ada yang menang dan kalah. Tetapi politisi tak akan pernah mati dan akan ada satu kesempatan dimana dia bangkit dan berjuang lagi mencapai tujuan politiknya," imbuh dia. (isak pasa'buan/C)