MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024 hampir mencapai tahap akhir. Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan segera mengumumkan hasil resminya, meskipun sejumlah lembaga survei telah merilis hasil hitung cepat yang menunjukkan peta kemenangan dan kekalahan para kandidat.
Menariknya, dalam Pilkada kali ini, sejumlah pimpinan partai Golkar daerah yang ikut mencalonkan diri mengalami kekalahan.
Beberapa tokoh yang tidak berhasil memenangkan kompetisi di daerahnya antara lain; Ketua Golkar Parepare Erna Rasyid, Ketua Golkar Sinjai Andi Kartini Ottong, Ketua Golkar Pinrang Usman Marham, Ketua Golkar Enrekang Muh Irpan, Ketua Golkar Tana Toraja Victor Datuan Batara, Ketua Golkar Toraja Utara Yohanis Bassang, serta Ketua Golkar Palopo Rahmat Masri Bandaso.
Fenomena ini memicu spekulasi terkait langkah Partai Golkar ke depan. Banyak pihak mempertanyakan apakah Golkar akan melakukan evaluasi terhadap kader-kadernya yang gagal pada Musyawarah Daerah (Musda) Golkar Sulsel 2025?
Ketua Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Sulsel, Rahman Pina (RP) memberikan tanggapan terkait hasil Pilkada ini. Menurutnya, meskipun sejumlah kader kalah di daerah, namun Golkar masih mencatat kemenangan di 12 daerah di Sulsel.
"Alhamdulillah kita menang di 12 daerah, pilgub, pilwali, maupun pilbup," ujar kata Rahman Pina saat dikonfirmasi, Senin (2/12/2024) sore.
Wakil Ketua DPRD Sulsel tersebut menegaskan bahwa Golkar selalu mengutamakan kader internal dalam setiap kontestasi politik. Sehingga apapun hasilnya tak jadi masalah bagi internal partai Golkar.
“Dalam setiap Pilkada kita selalu utamakan kader. Tapi, kan tidak mungkin semua bisa menang,” ungkapnya.
Terkait evaluasi, Rahman Pina memastikan bahwa partai Golkar selalu melakukan penilaian terhadap hasil Pilkada, baik bagi yang menang maupun yang kalah.
Menurutnya, evaluasi ini penting untuk memperbaiki strategi dan mempersiapkan kader menghadapi Pilkada berikutnya.
"Di Golkar itu, menang atau kalah selalu ada evaluasi. Yang menang kita jadikan contoh untuk menghadapi Pilkada selanjutnya, supaya semakin banyak daerah yang bisa kita menangkan,” sebutnya.
Ia juga menekankan bahwa proses demokrasi memang tidak bisa dihindari. Sehingga menang dan kalah dalam perhelatan politik itu merupakan hal yang biasa.
Rahman Pina mengatakan bahwa kekalahan bukan hal baru bagi Golkar. Terlebih setiap perhelatan Pilkada selalu ada dinamika tersendiri.
“Namanya demokrasi, pasti ada yang menang dan ada yang kalah,” katanya.
"Ini bukan kali pertama Golkar kalah, dan bukan kali pertama kita menang. Setiap Pilkada pasti ada dinamika seperti ini," lanjutnya.
Meskipun begitu, Rahman Pina menyatakan bahwa Golkar selalu belajar dari pengalaman. Baik dari kemenangan maupun kegagalan agar lebih baik lagi kedepannya.
Lebih lanjut, ia juga optimistis bahwa dengan evaluasi yang konsisten, Golkar akan terus memperkuat posisi politiknya di masa mendatang.
"Baik yang menang maupun yang kalah, semuanya akan kita evaluasi," pungkasnya.
Sebelumnya pengamat politik, Muhammad Asratillah menjelaskan ada sejumlah indikator kenapa para petinggi atau ketua partai politik tidak terpilih dalam kontestasi Pilkada Serentak 2024. Pertama, kata dia, adalah mengenai figuritas ketua partai yang kadang tidak begitu populer atau dikenali masyarakat alias pemilih.
"Pertama, dalam pemilihan kepala daerah, yang dilihat oleh pemilih adalah kekuatan figur, bukan kekuatan partai pengusung. Sehingga walaupun seorang ketua partai mencalonkan diri, tapi tidak begitu disukai oleh pemilih, maka agak sulit juga untuk terpilih," jelas Asratillah.
Selain popularitasnya yang rendah, faktor lain yang bisa mempengaruhi tidak terpilihnya ketua partai politik dalam kontestasi pemilihan kepala daerah adalah karena mesin partai yang tidak berjalan maksimal.
Jumlah kursi partai di legislatif disebut tidak bisa dijadikan jaminan untuk keterpilihan ketua partainya dalam pertarungan Pilkada. Justru, banyaknya kursi di legislatif dianggap berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat yang dapat memecah kerja-kerja mesin partai politik itu sendiri.
"Kedua, mesin partai yang tidak solid. Bisa saja seorang kandidat adalah seorang ketua partai yang memiliki kursi banyak. Tapi yang mesti diingat, kursi yang banyak memiliki tantangan tersendiri, yakni potensi friksi (pecah) internal yang besar. Ini akan berkonsekuensi pada tidak optimalnya mesin partai dalam mencari suara," bebernya.
Bukan itu saja, Direktur Politik Profetik Institute itu juga menjelaskan masalah lain yang mempengaruhi seorang ketua partai politik terjungkal dalam Pilkada dikarenakan minimnya dukungan jejaring. Seorang pemilih disebut bisa saja menjatuhkan pilihannya terhadap seorang kandidat di Pilkada bukan karena melihat lapat belakang partai politik, melainkan karena figuritas kandidat itu sendiri.
Asratillah menuturkan, dalam kontestasi Pilkada juga ada segmen atau golongan-golongan tertentu yang seringkali tidak bisa dijangkau oleh infrastruktur partai politik. Melainkan hanya bisa dijangkau oleh jejaring relawan.
"Ketiga, bisa jadi mesin partai solid, tapi tidak didukung oleh jejaring relawan yang luas dan militan. Kita ketahui bahwa banyak pemilih yang menjatuhkan pilihannya hanya karena figur, bukan karena latar partai politik," terangnya.
Terakhir, disampaikan bahwa majunya seorang ketua partai politik dalam kontestasi Pilkada bukan karena ketokohannya atau popularitasnya berdasarkan hasil survei. Melainkan adanya deal-deal politik yang mendorongnya maju dan mengabaikan beberapa faktor pendukung lainnya.
"Dalam setiap momentum politik terutama Pilkada, pasti ada bargaining dan deal sebelum mengambil keputusan," kuncinya. (Isak/B)