Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sistem demokrasi memang selalu menyuguhkan berbagai pilihan sebagai bagian dari bentuk partisipasi politik di ruang demokrasi. Bahwa kemudian pilihan itu berbeda, itulah demokrasi.
Memang untuk sampai di demokrasi yang substantif memang tidak mudah. Banyak hal yang menjadi pertimbangan. Salah satu di antaranya pendewasan politik menuju kesadaran kolektif di dalam upaya membangun kultur dan peradaban demokrasi yang ideal.
Pada rentang Pilkada 2017-2020 dari 545 daerah yang melaksanakan pilkada terdapat 50 Paslon tunggal (9,17%) saat ini masih syarat 20% kursi atau 25% suara sah. Sedangkan pada Pilkada 2024 ini terdapat 43 daerah calon tunggal dari 545 daerah yang menggelar pilkada dengan persentase (7,89%) sekalipun putusan MK 60/UU-XXII/2024 belum optimal dilaksanakan mengingat waktu yang begitu dekat dengan tahapan penyelenggaraan pilkada. Tapi paling tidak angka paslon melawan kotak kosong sedikit berkurang dari tahun-tahun sebelumnya.
Geliat politik memang bergerak seakan tanpa arah, liar, dan cendrung membawa arus demokrasi berpindah dari agensi politik ke agensi yang lain. Tidak salah pikiran awam, bahwa politik itu liar, licin, dan tak sekuat penunggang kuda yang memacu kudanya dengan kencang. Analogi ini ibarat satu keutuhan komitmen.
Apakah politik tak butuh komitment? Inilah yang sedikit meresahkan publik. Agensi politik begitu cepat berpindah-pindah dari faksi yang satu ke faksi yang lainnya. Politik yang selalu bersoal tentang kepemimpinan, tetapi kadang soal yang lain terabaikan.
Nah, karenanya fenomena pengabaian tokoh, adat, dan budaya menjadi sebab figuritas lokal untuk tampil sebagai pemimpin tak pernah masuk hitungan, karena tak memiliki modal politik yang mumpuni demi mempersiapkan mahar (cost) politik yang semakin menggila.
Pemilik modal bisa saja dengan entengnya membeli partai dengan harga yang fantastis. Di banyak tempat telah muncul realitas baru dengan aksara "kotak kosong", sebuah peristilahan yang mengerikan. Kengerian bukan tanpa alasan, kotak kosong ber-efek pada, (1) meniadakan figuritas dikontekstasi politik yang ada, seperti di daerah itu tak memiliki tokoh atau cerdik pandai. (2), kotak kosong menistakan demokrasi. (3), kotak kosong, kebih pada karena parpol sedikit pragmatis. (4), kotak kosong terjadi karena saling menyandera, belum lagi kehadiran para pemodal yang cendrung membeli parpol dengan biaya tinggi. Konsekuensinya adalah siapa menjadi pemenang menjadi hutang bagi pemodalnya, dan itu harus dibayar dengan mahal.
Pada aspek yang lain, fenomena "kotak kosong" adalah perlawanan terhadap budaya masyarakat, dan nampak adanya jual beli kepentingan, dan ini sudah mencederai substansi demokrasi. Bukankah demokrasi begitu menghargai budaya ketokohan?
Tetapi kalau kotak kosong dalam pandangan politik berarti tak melawan siapa-siapa, terus di mana figuritas itu? Di mana parpol sebagai tempat memproduksi pemimpin? Apakah figur dan parpol juga ikut tergadai? Semua ini adalah realitas terburuk berdemokrasi.
Bagi Sigmund Freud dalam “Naluri Kekuasaan” yang ditulis oleh Calvin S Hall bahwa realitas politik sudah masuk kategori “kecemasan moral” yakni satu keadaan seseorang tak lagi mau mengikuti cara-cara yang prosedur merebut kekuasaan. Tak mau lagi mengikuti jalur kompetitif dalam mengisi ruang publik dan menempuh cara dengan melanggar moralitas. Kecemasan ini muncul karena seseorang merasa takut kehilangan kekuasaan, sehingga berbagai cara pun dilakukan yang penting tujuan tercapai. Halal, Haram, Hantam (3 H). Mungkin demikian adanya.
Fenomena politik kotak kosong dalam konteks politik nasional maupun lokal, sesungguhnya melawan "ketidakpercayaan publik". Kalau pun kandidat menang mungkin tak bersoal, namun kalau kalah ini lebih menyakitkan sebab kemenangan publik atas ketidakpercayaan.
Tetapi menang pun tentu dihantui oleh ketidakpercayaan publik dalam menjalankan pemerintahan. Semua ini adalah efek domino dari budaya politik transaksional. Agak sulit diterima akal sehat kalau kotak kosong menjadi kontrak politik. Dan ini juga bisa dikategorikan dalam makna politik antilogika.
Kegagalan demokrasi bukan hanya dilihat dari hasil akhir dari sebuah proses berpolitik, tetapi untuk mengukur kualitas berdemokrasi dapat ditentukan oleh tingkat partisipasi rakyat, kecerdasan rakyat dalam segmentasi dimana politik itu dilangsungkan. Rakyat tak boleh hadir sebagai penjual suara (obligator vote). Tetapi rakyat harus hadir dalam proses edukasi politik, sehingga mereka paham tentang metode, prosedural, serta tata cara proses politik itu secara sempurna.
Kekhawatiran secara politis seperti ini adalah sebuah kewajaran, bila kita bersandar pada nilai demokrasi yang sesungguhnya. Bukan demos tanpa kratos atau sebaliknya. Tetapi paling tidak kemasan politik haruslah berdimensi humanity, culture, serta mampu menghadirkan tipikal pemimpin yang lahir dari rahim rakyat yang memilihnya. Politisi sebagai agency kekuasaan yang bertahta pada partai politik sejatinya harus mengisi ruang publik yang kosong, dan tidak terjebak pada diskursus yang keliru dengan cara membenarkan politik kotak kosong.
Bagi penggiat progressive-realis, pada prinsipnya cenderung melihat pada aspek filosofis dan kultural, dalam pengertian bahwa metodologi demokrasi dipahamkan sebagai bagian terpenting bagi penciptaan kemakmuran (walfare state). Ketiadaan kemiskinan adalah perjuangan bagi kaum realis dalam melihat demokrasi sebagai jalan tengah (Anthony Giddens). Maka sejalan dengan itu, sebagai jalan tengah maka sangat utopis demokrasi itu tak melahirkan tokoh ditengah masyarakatnya. Produksi pemimpin kadang lahir ditengah keruwetan budaya.
Tetapi menariknya adalah, budaya tak sedikitpun berjarak dengan demokrasi. Lalu wacana kotak kosong? yah, tentu menjadi obituari demokrasi, bukan? Siapakah sesungguhnya pemilik demokrasi? rakyat kah yang mendiami pada lapis kebudayaan ? ataukah mereka para pemilik modal (Borjuasi) ?, pertanyaan ini nyaris berkelindan diruang demokrasi, bahkan orang awam pun berkata, tak perlu menghabiskan waktu berproses di dalam partai politik, end toh pada akhirnya pemenangnya juga adalah para pemilik modal. Sebagai fakta dalam proses politik Pilkada yang menghasilkan pemimpin yang di produksi oleh kekuatan modal dan klan politik yang kuat.
Ancaman Demokrasi
Dalam pelaksanaan Pilkada Serentak 2018 diwarnai fenomena munculnya calon tunggal melawan kotak kosong. Setidaknya ada 16 daerah yang berpotensi pasangan calon akan melawan kotak kosong, dibanding Pilkada serentak tahun 2017 yang lalu yang hanya diikuti 9 daerah dalam melawan kotak kosong.
Faktanya bahwa dari 9 daerah yang melawan kotak kosong, hasilnya masih didominasi oleh paslon dengan kemenangan yang fantastis. Sebagai catatan kecil, di kabupaten Landak Kalimantan Barat pasangan calon memenangkan dengan angka 94,62 %, sementara di Kabupaten Pati Jawa Tengah paslon Hariyanto-Saiful Arifin menang dengan angka 75,74 %, hanya di Kabupaten Buton memang sedikit kritis sebab paslon mendapat perlawanan dari kotak kosong walau pada akhirnya paslon menang dengan angka 55,52 %. Munculnya pasangan calon hanya melawan kotak kosong memiliki tiga indikasi.
Indikasi pertama, gagalnya pengkaderan partai politik dalam menyiapkan kader-kader terbaiknya di suatu daerah untuk muncul dan maju sebagai calon kepala daerah. Itu artinya bahwa tingkat keterpilihan paslon melawan kotak kosong masih sangat dominan. Tetapi asumsi itu sangat diperkuat bahwa kemenangan paslon sangat dipengaruhi posisinya sebagai petahana atau incumbent. Dan bagaimana dengan paslon yang bukan petahana melawan kotak kosong? tentu hal ini sangat sarat diskursus, termasuk kesanggupan paslon yang bukan petahana untuk merebut kepercayaan publik atau masyarakat pemilih.
Kedua, setelah gagal menciptakan kader-kadernya di wilayah, partai akhirnya bersikap instan mengambil tokoh yang sudah populer, punya uang, lebih-lebih yang sudah memegang infrastruktur atau jabatan politik. Makanya tidak heran jika parpol berbondong-bondong mencalonkan calon petahana.
Walau di bagian wilayah lain ada juga petahana dirundung kesedihan karena tak mendapat partai politik untuk maju, tetapi dengan jalur perseorangan pun di lakukannya, namun penuh dengan intrik politik yang berujung pada sengketa hukum. Ketiga, realistis. Pada akhirnya, di penghujung masa pendaftaran, partai politik bersikap realistis dengan realita politik yang ada, guna memenuhi pencalonan di daerah agar tidak ketinggalan gerbong kereta koalisi.
Berikut 16 daerah di mana calon tunggal akan bertarung dengan kotak kosong seperti; Kabupaten Lebak, Kabupaten Tapin, Kota Prabumulih, Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Mamberano Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Padang Lawas Utara.
Kabupaten Mamasa (Sulbar), Kabupaten Enrekang (Sulsel), Kabupaten Bone (Sulsel) dan Kota Makassar. Dan secara mengejutkan Pilwalkot Makassar yang dipenuhi berbagai drama—kotak kosong menang diangka 57,74% mengalahkan Munafri Arifuddin-Rahmatika Dewi (Appi-Cicu) yang diusung 14 partai politik. Dan ini sangat fenomenal dalam ruang demokrasi.
Memutus stigma: Kotak Kosong Menang di Bangka dan Pangkalpinang
Di Pilkada 2024 ini dari 43 Paslon yang melawan kotak kosong yang paling fenomenal adalah di propinsi Bangka Belitung dari 6 kabupaten dan 1 kota, ada 3 daerah atau paslon yang melawan kotak kosong masing-masing Kabupaten Bangka Selatan (Riza Herdavid, incumbent), Kabupaten Bangka (Mulkhan, incumbent) dan Kota Pangkalpinang (Maulana Akil, incumbent).
Bangka Selatan paslon Riza Herdavid-Debby menang telak atas kotak kosong dengan perolehan suara84,5%. Namun tragisnya di dua daerah Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinang kedua paslon ini justru dikalahkan oleh kotak kosong. Kabupaten Bangka Paslon Mulkhan-Ramadian 42,75% sementara kotak kosong 57,25%. Sedangkan di Kota Pangkalpinang paslon Maulana Akil-Masagus Hakim 42,02% sementara kotak kosong 57,98%.
Menariknya di Kota Pangkalpinang memang dari awal proses pendaftaran di KPU hanya satu-satunya paslon Maulana Akil-Masagus Hakim tanpa paslon yang lain. Sehingga dari situ perlawanan kotak kosong muncul dari warga dengan membuka posko pemenangan kotak kosong, salah satu pentolan kotak kosong adalah Eka Mulya Saputera dan beberapa rekannya, yang kemudian menggelar berbagai diskusi disetiap kecamatan dan ruang-ruang publik yang ada di Kota Pangkalpinang.
Perlawanan ini sesungguhnya memberi isyarat terhadap partai politik yang tidak mampu menyerap aspirasi masyarakat yang berkembang. Dengan melihat kedua paslon ini baik di Kabupaten Bangka maupun di Kota Pangkalpinang (Mulkhan dan Maulana Akil) keduanya kader PDIP yang selama ini dikenal kalau kepulauan Bangka Belitung adalah basisnya banteng.
Perlawanan rakyat atas kemenangan kotak kosong adalah bentuk protes publik kepada partai politik sekaligus bentuk ketidakpercayaan publik terhadap eksistensi partai politik, dominasi, hegemoni dan ambisi figur ditengah transformasi politik dan demokrasi (baca:Samuel P Huntington, Tertib politik dalam masyarakat yang berubah).
Dalam demokrasi yang serba maju dan terbuka—kemenangan kotak kosong justru menjadi tamparan keras terhadap peradaban manusia. Dengan kekonyolan yang muncul dipublik “mosok orang lawan tanpa orang, kok orang kalah” ini ejekan, olok-olok yang tentunya berdasarkan fakta dan logika yang ada. Fenomena ini sekaligus sebagai wajah buruk demokrasi.
Dengan logika politik demikian, maka fenomena kotak kosong sesungguhnya adalah salah satu bentuk kecelakaan berpolitik, sekaligus menjadi obituari (pengumuman kematian) atas demokrasi. Untuk menghindari hal tersebut maka parpol sebagai medium edukasi politik “harus lepas” dari jebakan pragmatisme, sehingga demokrasi itu dapat berjalan sesuai dengan keinginan rakyat bukan karena paksaan dan atas dominasi elit untuk sebatas berkuasa. (*)