MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemilihan kepala daerah serentak 2024 menjadi momentum bagi partai politik untuk berbenah. Banyak pentolan partai yang dijagokan dapat menang namun tak mampu meraih suara signifikan. Pada ketua-ketua partai yang maju sebagai calon kepala maupun wakil kepala daerah kalah dalam pertarungan.
Beragam spekulasi lantas memicu kandasnya langkah para ketua-ketua partai ini. Popularitas yang rendah hingga mesin politik yang tak bekerja maksimal, menjadi salah satu faktor utama.
Deretan ketua-ketua partai yang gagal terbentang mulai pemilihan tingkat provinsi hingga kabupaten dan kota. Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Sulsel, Azhar Arsyad, kalah dalam Pilgub Sulsel. Pun, Ketua Partai Keadilan Sejahtera Sulsel Amri Arsyid juga kalah di Pilwali Makassar, Ketua Gelora Sulsel Syamsari Kitta juga kalah di Pilkada Takalar. Dominan ketua-ketua partai tingkat kabupaten dan kota juga gagal dalam pertarungan.
Kekuatan para ketua partai ini lantas mengundang spekulasi. Tidak terpilihnya para ketua-ketua partai politik tersebut saat maju dalam kontestasi Pilkada Serentak 2024 juga menyiratkan bahwa ketokohan dan kepemimpinan mereka patut dipertanyakan.
Pengamat politik Sulsel, Muhammad Asratillah menjelaskan ada sejumlah indikator kenapa para petinggi atau ketua partai politik tersebut tidak terpilih dalam kontestasi Pilkada Serentak 2024. Pertama, kata dia, adalah mengenai figuritas ketua partai yang kadang tidak begitu populer atau dikenali masyarakat alias pemilih.
"Pertama, dalam pemilihan kepala daerah, yang dilihat oleh pemilih adalah kekuatan figur, bukan kekuatan partai pengusung. Sehingga walaupun seorang ketua partai mencalonkan diri, tapi tidak begitu disukai oleh pemilih, maka agak sulit juga untuk terpilih," ujar Asratillah kepada Harian Rakyat Sulsel, Minggu (1/12/2024).
Selain popularitasnya yang rendah, faktor lain yang bisa mempengaruhi tidak terpilihnya ketua partai politik dalam kontestasi pemilihan kepala daerah adalah karena mesin partai yang tidak berjalan maksimal.
Jumlah kursi partai di legislatif hasil Pemilu 2024 lalu, juga disebut tidak bisa dijadikan jaminan untuk keterpilihan ketua partai dalam pertarungan pilkada. Justru, kata Asratillah, banyaknya kursi di legislatif dianggap berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat yang dapat memecah kerja-kerja mesin partai politik itu sendiri.
"Kedua, mesin partai yang tidak solid. Bisa saja seorang kandidat adalah seorang ketua partai yang memiliki kursi banyak. Tapi yang mesti diingat, kursi yang banyak memiliki tantangan tersendiri, yakni potensi friksi (pecah) internal yang besar. Ini akan berkonsekuensi pada tidak optimalnya mesin partai dalam mencari suara," imbuh Asratillah.
Bukan itu saja, Direktur Politik Profetik Institute itu juga menjelaskan masalah lain yang mempengaruhi seorang ketua partai politik terjungkal dalam pilkada dikarenakan minimnya dukungan jejaring. Dia mengatakan, seorang pemilih disebut bisa saja menjatuhkan pilihannya terhadap seorang kandidat di pilkada bukan karena melihat latar belakang partai politik, melainkan karena figuritas kandidat itu sendiri.
Asratillah menuturkan, dalam kontestasi pilkada juga ada segmen atau golongan-golongan tertentu yang seringkali tidak bisa dijangkau oleh infrastruktur partai politik. Melainkan hanya bisa dijangkau oleh jejaring relawan.
"Ketiga, bisa jadi mesin partai solid, tapi tidak didukung oleh jejaring relawan yang luas dan militan. Kita ketahui bahwa banyak pemilih yang menjatuhkan pilihannya hanya karena figur, bukan karena latar partai politik," imbuh dia.
Terakhir, sambung Asratillah, bahwa majunya seorang ketua partai politik dalam kontestasi pilkada bukan karena ketokohannya atau popularitasnya berdasarkan hasil survei. Melainkan adanya deal-deal politik yang mendorong maju dan mengabaikan beberapa faktor pendukung lainnya.
"Dalam setiap momentum politik terutama pilkada, pasti ada bargaining dan deal sebelum mengambil keputusan," imbuh dia.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Rizal Pauzi juga menjelaskan hal yang sama. Menurut dia, tidak terpilihnya sejumlah ketua partai politik dalam Pilkada Serentak 2024 menjadi bukti bahwa memimpin suatu partai politik tidak menjamin tingginya popularitas dan kemampuan jaringan seorang di masyarakat.
"Fenomena ini menarik karena idealnya ketua-ketua partai itu memiliki peluang, punya kekuatan, dan jaringan untuk memenangkan pertarungan. Namun realitanya dan ini sebagai bukti, salah satu argumentasi yang riil bahwa ketua partai itu tidak berbasis pada popularitas dan kemampuan jaringan, tetapi lebih pada kemampuan lobi elit," kata Rizal.
Menurut dia, bila melihat fenomena ketua-ketua partai di daerah saat ini, termasuk di Sulsel, kecenderungannya hanya lebih pada jaringannya ke tingkat pusat sehingga diangkat untuk memimpin partai di daerahnya. Bukan karena popularitas dan kemampuan jaringan di daerahnya.
"Saya juga melihat para ketua-ketua partai kita di daerah itu cenderung lebih pada posisi yang punya jaringan kuat ke tingkat pusat," ujar Rizal.
Hal tersebut terbukti dari sejumlah pemilihan ketua partai yang diputuskan oleh pengurus pusat. Bukan berdasarkan hasil musyawarah pengurus partai di daerahnya sehingga terpilih menjadi ketua partai.
"Apalagi sekarang di beberapa parti itu cenderung polanya sentralistik. Dimana penentuan ketua itu ada di tingkat pusat, bahkan di beberapa parti itu sudah tidak musyawarah lagi. Adapun musyawarah itu misalnya mengirim tiga nama dan seterusnya," sebut Rizal.
Untuk itu, Rizal menyampaikan dengan banyaknya ketua partai yang terjungkal atau kalah di Pilkada Serentak 2024 ini bisa menjadi bahan evaluasi ke depannya. Salah satunya adalah mempertimbangkan mengusung ketua partai jika elektabilitas dan popularitasnya rendah.
"Jadi menurut saya bahwa kekalahan di Pilkada ini jadi bagian yang penting untuk dievaluasi untuk masing-masing parti. Bahwa memilih ketua partai itu bukan hanya sekedar kemampuan finansial, bukan sekedar jaringan tapi juga dilihat dari tingkat pengarungan di daerah tersebut," imbuh Rizal.
PSU di Tujuh Daerah
Sementara itu, pencoblosan atau pemungutan suara ulang(PSU) akan dilakukan di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS). Badan Pengawas Pemilu Sulsel merekomendasikan PSU di 11 TPS yang diduga kuat terdapat pelanggaran saat hari pelaksanaan pemilihan, 27 November lalu.
Belasan TPS yang diduga terjadi pelanggaran itu tersebar di delapan kabupaten dan kota yakni Makassar 1 TPS, Tana Toraja 2 TPS, Toraja Utara 1 TPS, Enrekang 3 TPS, Maros 1 TPS, Luwu Timur 1 TPS, Bone 1 TPS, dan Soppeng 1 TPS.
"Sementara ini total ada 11 TPS yang direkomendasikan digelar PSU karena diduga melanggar peraturan," kata anggota Bawaslu Sulsel, Saiful Jihad.
Saiful menjelaskan, Bawaslu merekomendasikan PSU di Tana Toraja karena ditemukan ada dua pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali pada TPS berbeda. Selanjutnya di Luwu Timur, dugaan anggota KPPS menandai surat suara yang diberikan kepada pemilih di TPS.
Selain itu, temuan lainnya, pemilih tidak terdaftar di Daftar Pemilih Tetap (DPT) bahkan tidak ada namanya di DPTb (tambahan) serta penduduk di luar daerah mencoblos di TPS tertentu.
"Ada orang berpenduduk di luar dari daerah atau TPS dimana dia mencoblos. Misalnya KTP Makassar mencoblos di Toraja atau di daerah lain," beber Saiful.
Hingga saat ini, Saiful mengatakan pihaknya juga masih menunggu laporan lainnya dari tim lapangan di 24 kabupaten kota di Sulsel, apakah masih ada TPS yang berpotensi melakukan PSU atau tidak. Sebab untuk melaksanakan PSU harus berdasarkan pada aturan yang ada.
"Kabupaten lain masih melakukan penelitian dan kajian hukum keterpenuhan indikator yang menjadi syarat PSU berdasarkan aturan," ungkap dia.
Saat dikonfirmasi mengenai video beredar terkait pemilih di Pilkada Kabupaten Jeneponto yang menuding adanya pelanggaran di sejumlah TPS terkait permainan oknum KPPS yang diduga memindahkan suara pasangan calon, kata Saiful, masalah tersebut masih dalam proses pendalaman.
"Itu (Pilkada Jeneponto) masih dalam kajian pengawas. Kabupaten lain juga masih melakukan penelitian dan kajian hukum keterpenuhan indikator yang menjadi syarat PSU berdasarkan aturan," imbuh dia.
Sementara itu, Bawaslu Makassar merekomendasikan PSU di TPS 15 Kelurahan Parang Tambung, Kecamatan Tamalate. Rekomendasi tersebut disampaikan menyusul adanya temuan dugaan pelanggaran yang terjadi saat pencoblosan 27 November lalu.
Koordinator Divisi Hukum dan Penyelesaian Sengketa, Eric David Andreas mengatakan pihaknya merekomendasikan PSU dikarenakan adanya temuan dugaan kelalaian dari pihak KPPS saat pemungutan dan penghitungan suara dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.
Menurut Eric, rekomendasi pemungutan suara ulang atau PSU tersebut dikeluarkan oleh Panwas Kecamatan Tamalate berdasarkan hasil pengawasannya di lapangan.
"Rekomendasi PSU ini selain dari hasil pengawasan langsung Panwas Kecamatan Tamalate, juga terdapat adanya 3 saksi yang keberatan, kemudian saksi yang keberatan mengisi form model c kejadian khusus yang disediakan oleh KPPS ditempat pemungutan suara," tutur Eric.
Selain itu, Eric juga menjelaskan bahwa kronologi PSU terdapat adanya pemilih yang memilih lebih dari satu kali. Pertama memilih menggunakan identitas sendiri dan kedua memilih menggunakan identitas orang lain di TPS yang sama.
Ketua Bawaslu Kota Makassar, Dede Arwinsyah mengatakan bahwa rekomendasi PSU ini berdasarkan Instruksi Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2024, tentang pelaksanaan tugas pengawasan dalam hal terdapat keadaan satu pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali pada tempat pemungutan suara yang sama atau tempat pemungutan suara yang berbeda.
"Dan sebagaimana ditentukan dalam surat edaran Bawaslu Nomor 117 Tahun 2024," ungkap Dede. (isak pasa'buan/C)