UMP Naik, Bisa Picu Gelombang PHK

  • Bagikan
rambo/raksul

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Kenaikan upah minimum provinsi (UMP) menjadi berkah bagi para pekerja memasuki tahun 2025. Betapa tidak, Presiden Prabowo Subianto menetapkan standar upah provinsi naik 6,5 persen. Jumlah ini melonjak 3 persen dari kenaikan UMP yang rata-rata diterapkan pemerintah provinsi pada 2024 yakni 3,65 persen.

Legislator Sulawesi Selatan dan serikat pekerja di daerah ini merespons positif kenaikan upah tersebut. Di lain pihak, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai keputusan itu tak pro pengusaha. Efek dominonya adalah memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) dan bisa menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru.

Kenaikan UMP sebesar 6,5 persen di tahun 2025 menjadi salah satu kebijakan Prabowo yang disambut gembira para pekerja. Di sisi lain, kebijakan tersebut menjadi bumerang bagi para pengusaha. Atas kebijakan yang ditetapkan pada 29 November 2024 lalu, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulawesi Selatan meminta penjelasan terkait keputusan yang dianggap tidak pro pengusaha tersebut.

Ketua Apindo Sulsel, Suhardi mengatakan pihaknya menunggu penjelasan pemerintah mengenai dasar perhitungan yang digunakan dalam menentukan kenaikan UMP pada 2025.

"Belum ada penjelasan komprehensif terkait metodologi perhitungan kenaikan ini. Terutama apakah telah memperhitungkan variabel produktivitas tenaga kerja, daya saing dunia usaha, dan kondisi ekonomi aktual. Hal ini penting agar kebijakan yang diambil mencerminkan keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan dunia usaha," ujar Suhardi kepada Harian Rakyat Sulsel, Selasa (3/12/2024).

Menurut dia, penjelasan penetapan UMP 2025 diperlukan bagi dunia usaha untuk mengambil sikap ke depan terhadap ketidakpastian kebijakan pengupahan yang masih terus berlanjut. Selain itu, kenaikan UMP yang cukup signifikan ini disinyalir akan berdampak langsung pada biaya tenaga kerja dan struktur biaya operasional perusahaan, khususnya di sektor padat karya.

"Dalam kondisi ekonomi nasional yang masih menghadapi tantangan global dan tekanan domestik, kenaikan ini beresiko meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional. Hal ini dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru," imbuh Suhardi.

Suhardi menegaskan, bagi dunia usaha, kenaikan upah minimum ini bukan tentang setuju atau tidak setuju. Tetapi persoalannya adalah mampu atau tidak para pengusaha untuk memenuhi kenaikan tersebut. Dia mengatakan, bila perusahaan tidak mampu menanggung kenaikan biaya tenaga kerja, maka keputusan rasional terhadap penghitungan usaha akan dapat terjadi ke depan nantinya.

"Yaitu adanya penundaan investasi baru dan perluasan usaha, efisiensi besar-besaran yang dapat berdampak pada pengurangan tenaga kerja, atau keluarnya usaha dari sektor industri tertentu," beber Suhardi.

Pihaknya juga menyayangkan bahwa masukan dunia usaha tidak didengarkan dalam penetapan kebijakan ini. "Apindo selama ini telah berpartisipasi secara aktif dan intensif dalam diskusi terkait penetapan kebijakan upah minimum. Kami telah memberikan masukan yang komprehensif dan berbasis data mengenai fakta ekonomi, daya saing usaha, serta produktivitas tenaga kerja. Namun, masukan dari dunia usaha sebagai aktor utama yang menjalankan kegiatan ekonomi nampaknya belum menjadi bahan pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan," imbuh dia.

"Hal ini menjadi perhatian serius karena kebijakan yang tidak seimbang dapat memberikan dampak yang tidak diinginkan bagi keberlangsungan usaha dan penciptaan lapangan kerja. Presiden hendaknya juga mendengar aspirasi pengusaha sebagai pemberi kerja yang juga ingin pekerjanya maju dan berkembang," sambung Suhardi.

Dia mengatakan, Apindo tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan pemerintah dalam menciptakan kebijakan ketenagakerjaan yang mendukung kesejahteraan pekerja tanpa mengabaikan keberlangsungan usaha dan daya saing ekonomi Indonesia.

"Kami mendorong kepada pemerintah agar dapat memberikan penjelasan lebih rinci mengenai dasar penetapan kenaikan UMP ini serta mempertimbangkan masukan dari dunia usaha untuk memastikan implementasi kebijakan yang efektif dan berkelanjutan," ujar dia.

Ditanya mengenai jumlah kenaikan UMP yang ideal bagi pengusaha, Suhardi menyebut di kisaran 4-5 persen. "Itu pun kami masih menunggu data BPS tentang data kebutuhan hidup layak (KHL)," ujar Suhardi.

Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan Sulsel, Andi Rahmatika Dewi mengatakan, lembaga legislatif sangat mendukung langkah pemerintah menaikkan UMP hingga 6,5 persen pada 2025. Menurut dia, kenaikkan UMP mendukung dan memenuhi kebutuhan taraf hidup kaum buruh serta rakyat kecil, terutama pekerja di Sulsel.

"Kenaikan UMP akan sangat berdampak positif bagi perekonomian pegawai atau buruh di perusahaan swasta," ujar Rahmatika.

Hanya saja, kata dia, DPRD Sulsel, Pemprov Sulsel, dan Dewan Pengupahan duduk bersama dalam melakukan pengkajian atas kenaikan UMP tersebut. Menurut dia, apakah keuangan daerah mencakup atau tidak untuk memenuhi kenaikkan itu.

"Tentu perlu pengajian mendalam untuk hal ini melihat situasi perekonomian kita khususnya di Sulsel," imbuh dia.

Rahmatika memberikan alasan dilakukan kajian terlebih dahulu karena adanya kekhawatiran bila UMP naik, akan berdampak pada inflasi dan harga bahan pokok lainnya yang bisa melambung tinggi. "Jangan sampai UMP naik harga barang juga naik itu yang harus dipikirkan. Makanya perlu dikaji secara mendalam," tutur politikus Partai NasDem ini.

Adapun, Wakil Ketua DPRD Sulsel, Yasir Machmud menyambut baik kenaikan UMP tersebut. Menurut dia, kebijakan ini merupakan bentuk komitmen pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja di tengah tantangan ekonomi pasar.

"Tentu kenaikan UMP ditujukan untuk meningkatkan daya beli pekerja dan kesejahteraannya. Yang pasti harus tetap memperhatikan daya saing usaha," ujar Yasir.

Politisi Gerindra itu menuturkan, kenaikkan UMP juga sebagai komitmen pemerintah dengan sektor industri dan jasa yang terus berkembang. Menurut dia, kenaikan UMP ini tentunya membawa dampak positif bagi daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal.

"Saya menilai kebijakan ini tidak hanya membawa kesejahteraan bagi para pekerja, tetapi juga membawa tantangan dan peluang untuk banyak pihak," kata Yasir.

Menurut Yasir, meskipun kenaikan UMP dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja, potensi beban tambahan bagi pelaku usaha, terutama sektor UMKM, harus menjadi perhatian. Oleh karena itu, dirinya berharap agar pemerintah tidak hanya fokus pada kenaikan upah, tetapi juga memberikan dukungan konkret kepada pelaku usaha.

"Ini adalah peluang dan tantangan untuk kita semua, dan tentunya sebuah motivasi untuk semua pelaku bisnis. Ini harus dijadikan motivasi untuk memulai kinerja yang lebih baik," tutur dia.

"Saya yakin Presiden Prabowo juga sudah menghitung dengan baik dan tahu persis kondisi di Indonesia sehingga berani mengambil keputusan menaikkan UMP sampai 6,5 persen," sambung dia.

Kepala Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Makassar, Nielma Palamba, mengatakan pihaknya masih menunggu petunjuk teknis peraturan menteri ketenagakerjaan (Permenaker) untuk penetapan upah minimum kota Makassar 2025. "Kami masih menunggu juknis berupa Permenaker dari Kementerian Tenaga Kerja," ujar Nielma.

Oleh karena itu, dia berharap dalam pekan ini juknis dari Kemenaker telah terbit. Nielma menambahkan salah satu indikator yang masuk pada perhitungan upah baik UMK dan Upah Minimum Provinsi (UMP) yakni melihat kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

"Menjadi faktor pengali (inflasi dan pertumbuhan ekonomi dari menentukan UMK dan UMP itu sudah ada tetapi regulasinya belum," tutur Nielma.

Sebelumnya, dia menyebut pembahasan terkait indikator perhitungan upah berlangsung alot di kementerian. Sehingga dirinya belum bisa memastikan formula untuk perhitungan UMK 2025. Apakah akan tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Pengupahan atau tidak.

"Kementerian belum menerbitkan aturan baru. Saya belum bisa memastikan apakah PP 51 tetap digunakan atau tidak karena diskusi di kementerian masih alot," kata Nielma.

Diketahui, penetapan UMP Sulsel 2025 dan UMK Makassar 2025 molor. Sebab, sebelumnya dijadwalkan penetapan UMP Sulsel 2025 akan diumumkan pada 21 November dan UMK Makassar 2025 diumumkan pada tanggal 30 November.

Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Sulsel menyambut positif keputusan Presiden Prabowo Subianto terkait kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen. Kenaikan ini dianggap sebagai langkah progresif yang membawa angin segar bagi buruh di tengah kondisi ekonomi yang lesu.

Ketua KSPSI Sulsel, Basri Abbas menyatakan bahwa pihaknya menerima kebijakan presiden tersebut dan memahami kondisinya sehingga kenaikan dilakukan hanya sebesar 6,5 persen. Menurut dia, kenaikan upah ini sangat berarti bagi para buruh jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

"Terkait penetapan presiden terkait kenaikan UMP sebesar 5,6 persen pada prinsipnya KSPSI dapat memahami dan menerima. Saya anggap bahwa pengumuman presiden kemarin sebagai kabar baik bagi buruh dibandingkan tahun sebelumnya," ujar Basri.

Dia menambahkan, dalam lima tahun terakhir, belum pernah ada kenaikan UMP yang signifikan. Sehingga lewat keputusan presiden ini patut diapresiasi.

Hanya saja, meski demikian, KSPSI tetap mendorong penerapan upah sektoral dan struktur skala upah sebagai langkah lanjutan. Sebagaimana dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan diberlakukannya kembali upah sektoral dan struktur skala upah.

"Sesuai hierarki perjuangan kami (KSPSI) pascaputusan MK bahwa berlakunya kembali upah sektoral dan struktur skala upah. Inilah yang kita harapkan ke depan, atau Minggu ini ketika surat edaran itu turun, di samping 6,5 persen tentu KSPSI Sulsel mendorong kepada pihak pengupahan. Terutama wakil dari KSPSI untuk memperjuangkan diberlakukannya upah sektoral dan struktur skala upah," beber Basri.

Basri menilai, dengan berlakunya upah sektoral, pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun akan mendapat kenaikan gaji lebih dari 6,5 persen. Bahkan bisa mencapai 7 hingga 10 persen, tergantung masa kerja dan kualifikasi buruh itu sendiri.

Dia berharap aturan terkait masalah tersebut segera diterbitkan oleh Penjabat (Pj) Gubernur Sulsel, Profesor Zudan Arif Fakrulloh untuk dijadikan acuan dalam penerapan pemberlakuan UMP dan upah sektoral maupun struktur skala upah di perusahaan-perusahaan yang ada di Sulsel pada tanggal 1 Januari 2205 nantinya.

“Kami mendorong agar rekomendasi ini dapat diusulkan minggu ini. Jika sudah ditetapkan, perusahaan harus mengikuti kebijakan tersebut mulai 1 Januari mendatang,” kata dia.

Menurut Basri, UMP sebesar 6,5 persen adalah jaring pengaman bagi pekerja dengan masa kerja 0-1 tahun. Sehingga bagi pekerja dengan masa kerja lebih dari satu tahun, wajib hukumnya perusahaan memberlakukan struktur skala upah dan upah sektoral.

Dia juga meminta pengawasan ketat dari Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker). Hal ini disebut penting agar Disnaker memastikan implementasi di lapangan berjalan sesuai aturan dan jangan sampai ada perusahaan yang tidak mematuhi kebijakan tersebut.

"Itu kita harapkan, bahwa perusahaan-perusahaan yang mampu yang baik, tentu kita harapkan mengikuti apa yang menjadi kebijakan dari PJ Gubernur apabila dia menetapkan upah sektoral dan struktur skala upah. Bagi perusahaan yang tidak mampu kan adaji juga regulasinya. Dapat mengajukan penundaan sesuai fakta atau setelah di audit oleh Disnaker," tutur Basri.

"Kedua, yang perlu diawasi dan diultimatum adalah Disnaker dalam hal ini pengawasannya. Jangan sampai 1 Januari 2025 berlaku upah 6,5 persen ditambah upah sektoral dan struktur skala upah implementasi di lapangan banyak oknum-oknum penguasa nakal tidak memberlakukannya. Banyak fakta-fakta terjadi dan ini kami minta dibarengi tindakan nyata, dibarengi tindakan hukum sesuai ketentuan perundang-undangan," sambung Basri.

Menanggapi kekhawatiran pengusaha soal potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat kenaikan UMP, Basri menilai hal itu tidak rasional. Terlebih kenaikan UMP di Sulsel disebut sebelumnya sempat mencapai 20 persen dan tidak ada PHK massal saat itu.
Dia menyebut, justru PHK terjadi saat kenaikan UMP rendah. KSPSI percaya bahwa kenaikan upah justru dapat meningkatkan daya beli buruh dan memajukan perekonomian.

"Itu bukan indikator bahwa kenaikan UMP terjadi PHK. Justru itu indikator apabila persentase naik dan daya beli buruh tinggi. Konsumsi masyarakat sudah bagus, daya beli tinggi justru dapat memajukan iklim investasi dan bisa menyerap tenaga kerja. Jadi saya kira bukan itu indikatornya," tutur Basri.

Menurut Basri, kekhawatiran pengusaha lebih terkait dengan kepentingan profit. Untuk itu KSPSI disebut akan tetap berada di barisan buruh dalam memperjuangkan hak-haknya.

"Saya kira bukan itu indikatornya. Yah, namanya juga pengusaha kan bagaimana untung besar. Kalau dikatakan itu akan menyebabkan PHK, saya kira itu tidak rasional dan itu bukan penyebab," ungkap dia.

Basri berharap kenaikan UMP 2025 bisa membawa perubahan positif bagi buruh. Terlebih di 2024 ini disebut sebagai tahun yang cukup berat bagi buruh. Sehingga adanya kenaikan 6,5 persen ini diharapkan bisa meningkatkan daya beli mereka. Selain itu, KSPSI juga menargetkan kenaikan upah bagi pekerja lama melalui struktur skala upah.

“Kami harap pekerja dengan masa kerja di atas satu tahun bisa menikmati kenaikan hingga 10 persen,” ujar dia.

Struktur skala upah ini, kata Basri, akan memberikan keadilan bagi pekerja senior. Mereka yang sudah lama bekerja dan memiliki kompetensi tinggi harus mendapatkan apresiasi lebih. Ia juga menegaskan komitmen KSPSI untuk terus memperjuangkan hak buruh.
“Kami akan mengawal implementasi kebijakan ini dan memastikan tidak ada pelanggaran,” sambung Basri. (hikma-suryadi-isak-shasa/C)

  • Bagikan

Exit mobile version