NasDem Sulsel “Pasang Badan”

  • Bagikan
rambo/raksul

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sengketa hasil pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah telah terdaftar di Mahkamah Konstitusi. Partai NasDem Sulawesi Selatan yang memiliki banyak kader menang di pilkada siap mengawal proses sengketa nantinya.

Partai ini juga siap "pasang badan" membela kader kalah yang menggugat hasil pilkada. Tak tanggung-tanggung, NasDem Sulsel menyiapkan tim hukum untuk ikut bersengketa sebagai pihak terkait di hadapan hakim konstitusi.

Partai NasDem turut mempersiapkan tim hukum internal untuk mendampingi para kandidat yang diusung dalam Pilkada 2024 jika terjadi sengketa hasil pemilihan dan harus dilanjutkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua NasDem Kota Makassar, Andi Rachmatika Dewi mengatakan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan tim hukum internal partai NasDem untuk mengantisipasi potensi gugatan di sejumlah kabupaten/kota dan pemilihan gubernur.

"Kami akan konsultasikan ke tim hukum mengenai beberapa potensi gugatan yang ada di beberapa kabupaten/kota dan Pilgub Sulsel," ujar Rachmatika, Kamis (12/12/2024).

Ketua DPRD Sulsel itu juga menyebut tim hukum dari NasDem telah disiapkan untuk mendampingi kandidat yang menghadapi sengketa hasil Pilkada 2024. Baik mereka yang menang namun digugat ke MK maupun yang kalah namun menilai ada potensi kecurangan.

"Dari NasDem, kami punya tim hukum pendampingan apabila teman-teman di kabupaten/kota mau melanjutkan ke tahap selanjutnya (MK), di DPD, DPW itu semuanya ada," beber Cicu-sapaan Rachmatika.

Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Rizal Pauzi memberikan apresiasi atas inisiatif NasDem yang tidak hanya memberikan tiket politik, tetapi juga memastikan bahwa para kandidat yang diusung mendapatkan pendampingan hukum yang memadai.

“Menurut saya itu patut diapresiasi karena NasDem berupaya menjalankan tugasnya. Bukan hanya memberikan tiket, tapi juga memastikan tiket itu dikawal dengan baik,” kata Rizal.

Dia menilai, proses pengawalan sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari pendidikan politik yang penting. Persoalan hasil, kata dia, harus diselesaikan melalui jalur hukum, bukan lewat politik praktis apalagi kekerasan.

“Saya pikir proses-proses pengawalan ke MK itu adalah bagian dari pendidikan politik bahwa masalah-masalah pemilu itu diselesaikan lewat jalur hukum bukan lewat jalur politik maupun jalur-jalur kekerasan,” tutur Rizal.

Namun, dia juga mengingatkan agar pendampingan hukum ini bukan sekadar formalitas, melainkan menjadi upaya substansial dalam menciptakan keadilan dan mendidik masyarakat tentang pentingnya supremasi hukum.

“Semoga itu bukan formalitas, tapi harus menjadi pengawalan yang substansial. Output-nya adalah pendidikan politik, bukan soal kepentingan politik pragmatis semata,” tegas Rizal.

Selain itu, Rizal juga menilai bahwa langkah menggugat ke Mahkamah Konstitusi bukanlah bentuk penolakan atas kekalahan, melainkan cara konstitusional untuk mencari keadilan.

“Kalau kalah, yah, bukan dengan menciptakan kebencian di masyarakat, tetapi menempuh jalur hukum dan saya pikir itu bagus,” ujar dia.

Menurut Rizal, kekecewaan akibat kekalahan dalam pilkada bisa memicu instabilitas sosial jika tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu, keberadaan tim hukum yang siap mendampingi adalah langkah preventif yang strategis.

“Orang kalah itu cenderung merasa kecewa, tidak puas dengan proses, dan itu berbahaya untuk kelanjutan pemerintahan. Makanya kalau memang ke MK dan tetap kalah, itu menandakan ada proses pendidikan politik di situ,” imbuh Rizal.

Terakhir, Rizal juga menilai peluang politik NasDem di beberapa daerah mungkin tidak terlalu signifikan, namun inisiatif ini tetap menjadi bagian dari tanggung jawab partai dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat.

Langkah NasDem menggugat ke MK, sekali lagi, kata Rizal, bukan hanya menjalankan hak konstitusional, tetapi juga menjadi bentuk pendidikan politik yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

“NasDem ini perlu memberikan edukasi politik walaupun soal peluang saya pikir tidak terlalu signifikan,” kata Rizal.

Gugat Pilgub dan Pilwali

Sementara itu, Danny Pomanto dan Indira Yusuf Ismail menggugat hasil pemilihan gubernur Sulawesi Selatan dan pemilihan wali kota Makassar. Danny Pomanto maju di Pilgub Sulsel berpasangan dengan Ketua DPW PKB Sulsel, Azhar Arsyad dengan diusung oleh PDIP, PPP dan PKB.

Sementara istrinya, Indira maju sebagai bakal calon wali kota Makassar berpasangan dengan Ilham Fauzi Uskara yang diusung oleh PDIP, PPP, PKB dan Gelora.

Di laman situs website MK, di Pilkada Kota Makassar, dimohonkan paslon nomor urut 3 Indira Yusuf Ismail-Ilham Ari Fauzi melalui kuasa hukumnya Donal Fariz dkk sesuai lampiran APPP nomor: 220/PAN.MK/e-AP3/2024.

Sedangkan, Pilgub Sulsel pemohon paslon Danny Pomanto - Azhar Arsyad nomor 260/PAN.MK/e-AP3/12/2024), teregistrasi pada Rabu 11 Desember 2024, pukul 18.43 WIB. Adapun kuasa Hukum Donal Fariz Dkk.

Pakar hukum dan kebijakan publik dari Universitas Negeri Makassar, Herman mengatakan banyak variabel yang memungkinkan para paslon ini melakukan gugatan ke MK. Namun, dia menyarankan kepada paslon yang punya selisih suara yang jauh untuk menimbang kembali putusan gugatan tersebut.

"Kecuali perbedaan suaranya itu di bawah 5 persen, misalnya 2 atau 1 persen, kemungkinan menggugat itu potensinya besar," ujar Herman.

Herman mengatakan, apabila hasil pilkada masih berlanjut ke MK, masih ada potensi yang sangat besar terjadi polarisasi di tengah masyarakat. Hal ini, kemungkinan menimbulkan gesekan dan lahirnya konflik pasca-pilkada. Biaya sosial itu adalah jangan sampai kerusuhan dan semacamnya.

"Itu biaya sosialnya lebih tinggi kalau apalagi dua pendukung calon secara horizontal terjadi. Bayangkan, misalnya, yang menang si A, menggugat si B, di MK si B yang menang. Tentu akan terjadi kekacauan," imbuh dia.

Menurut Herman, jika memang sidang sengketa hasil pilkada ini tetap bergulir di MK, hasilnya pun jarang berujung pada pengabulan permohonan pemohon. Dia menilai, hakim Konstitusi akan mempertimbangkan efek putusannya lebih jauh.

Adapun, pengamat politik dari Etos Politika, Kaslan menilai gugatan pasangan calon ke MK merupakan upaya untuk mencari keadilan dan menjadi pilihan terakhir. "Sebab gugatan pasangan calon di MK memiliki berbagai dasar pertimbangan," ujar dia.

Menurut Kaslan, pilihan pasangan calon menggugat ke MK tinggal perlu dilihat pembuktiannya. Karena tidak mungkin mereka menggugat tanpa dasar. "Jadi gugatan ke MK ini tentu punya dasar dan pertimbangan yang matang," tandasnya.

Juru bicara Danny-Azhar, Asri Tadda menambahkan, mengenai materi gugatan yang akan dibawa MK, salah satunya dugaan pemalsuan tanda tangan. "Tentu kita bicara itu soal TMS. Ini satu bagian dari banyak hal yang kami duga memang mempengaruhi hasil pemilihan," ujar Asri.

Adapun anggota divisi hukum tim pemenangan Munafri Arifuddin-Aliyah Mustika Ilham, Jamil Misbach, menilai langkah tim Indira-Ilham menggugat hasil Pilwali Makassar harus dibarengi dengan bukti yang sangat kuat untuk diterima di MK. "Diskualifikasi itu bukan hal yang mudah. Mereka harus membuktikan adanya pelanggaran TSM secara konkret," ujar Jamil.

"Di mana letak pelanggarannya? Apakah terjadi di satu kelurahan, satu kecamatan, atau skala besar lainnya? Kalau itu tidak bisa dibuktikan, maka gugatan itu sulit diterima," tambah Jamil.

Menurut Jamil, meskipun permohonan pemungutan suara ulang (PSU) di beberapa tempat dapat diajukan, hasil akhirnya tidak akan mempengaruhi perolehan suara secara signifikan.

"Kalaupun PSU dilakukan di satu kecamatan, suara yang dihasilkan tidak akan cukup untuk mengubah hasil akhir," tegas dia.

Jamil menekankan bahwa tim hukum pasangan Munafri-Aliyah tetap menghormati langkah hukum yang diambil Indira-Ilham."Kami menghormati upaya mereka menggugat ke MK. Itu adalah hak konstitusional mereka," kata dia.

Ketua tim hukum Indira-Ilham, Ahmad Rianto menjelaskan bahwa materi utama dalam gugatan ini terkait dugaan kecurangan masif yang mempengaruhi hasil perolehan suara INIMI. "Terkait persoalan adanya dugaan kecurangan yang terjadi pada saat pencoblosan," imbuh Ahmad.

Menurut dia, sebenarnya latar belakang dari awal adalah dari jumlah pemilih yang hadir di TPS rendah. Selain itu, pihaknya juga menyoroti banyaknya suara batal dalam Pilwali Makassar serta indikasi praktik politik uang yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). "Kami juga duga adanya money politics," ujar Ahmad. (isak pasa'buan-suryadi/C)

  • Bagikan

Exit mobile version