Oleh: Muh. Quraisy Mathar
Mantan Kepala Perpustakaan UIN Alauddin Makassar
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Sudah cukup lama rasanya saya tak menulis opini, sampai desas desus itu terdengar begitu nyaring dan mengenaskan. Semua orang saat kutanya tentang kebenaran beritanya, hanya menjawab dengan sangat hati-hati, bahkan beberapa orang menjawab dengan "tidak tahu", walau menurutku sebetulnya dia hanya pura-pura tidak tahu.
Siang itu seperti biasa, setiap menjelang Duhur, sesekali saya transit di gedung perpustakaan untuk melaksanakan salat Dhuhur. Maklum, jadwal mengajar saya di gedung B mulai jam 10.00, rehat Duhur, lalu masuk lagi di gedung yang sama jam 13.00. Jadilah perpustakaan menjadi musala non reguler buat saya untuk salat Duhur setiap hari Selasa.
Beberapa Selasa yang lalu seorang staf menyampaikan berita duka tentang ditangkapnya seorang staf di belakang rektorat. Seingatku, staf tersebut masih sempat membalas senyumku di perpustakaan Selasa, pekan sebelumnya lagi.
Hari itulah saya mulai mendengar desas desus yang semakin nyaring, dan sambil menyantap makan siang di kantin saya menatap gedung perpustakaan sambil berdoa semoga tak terjadi apa-apa dengan gedung penjaga peradaban ini.
Selasa berikutnya, saya kembali transit untuk salat Duhur, sekaligus untuk memastikan desas desus yang bertambah nyaring, kepala perpustakaan "katanya" juga diambil polisi.
Saya salat dan bersujud di bilik kecil ruang yang sejatinya adalah ruang untuk mesin lift, namun tak ada orang lagi yang peduli atau bahkan mungkin tak banyak yang tahu tentang ruang kecil untuk lift perpustakaan tersebut. Ruangan itu kurang lebih hampir sebesar (atau bisa dibaca sekecil) ruangan percetakan yang sedang ramai didesasdesuskan di perpustakaan.
Selepas salat saya duduk dan mengajak hampir semua pustakawan untuk berbagi desas desus yang tentu paling nyaring mereka dengar sebab mereka ada di dalam gedung desas desus itu sendiri. Astagfirullah… perpustakaan menjadi ruangan sekaligus menjadi bahan utama desas desusnya.
Teringat kembali ke belakang, sejak 2006 saya menjadi satu-satunya dosen tetap kompetensi ilmu perpustakaan, sampai tahun 2012 saat diamanahkan menjadi Ketua Jurusan yang saat itu belum terakreditasi. Lalu saya mengusulkan untuk mengalihkan 5 orang kawan yang saat itu berstatus sebagai fungsional pustakawan untuk dialihkan menjadi fungsional dosen.
Hal ini saya lakukan sebagai syarat terakhir untuk mencukupkan nilai B akreditasi jurusan, dan alhamdulillah semua sesuai target, tahun 2013 Jurusan Ilmu Perpustakaan terakreditasi B.
Selepas itu saya bolak balik meminjam naskah akademik dari Yogya untuk mengusulkan dibukanya S2 Ilmu Perpustakaan di program pascasarjana. Sekali lagi, Alhamdulillah, niat dan upaya tersebut diijabah dan S2 Ilmu Perpustakaan pun dibuka dan sudah melahirkan alumni yang sekarang sudah mendominasi menjadi dosen Ilmu Perpustakaan di beberapa kampus, termasuk di UIN Alauddin.
Saya kemudian berpindah ruang, diberi amanah sebagai kepala perpustakaan pada tahun 2016. Bermodalkan "bakar skripsi" dengan semangat mendigitalisasi dokumen, repositori pun kami bentuk dengan semagat percepatan.
Ranking bibliometric kita yang selama ini bahkan tak pernah masuk 200 nasional, akhirnya menembus ranking 55 nasional yang sampai hari ini tak lagi pernah kita raih kembali.
Saya lalu mengajak para staf dan pustakawan untuk berkunjung ke berbagai perpustakaan dalam dan luar negeri dengan semangat "studi tiru" untuk mengejar nilai akreditasi maksimal. Alhamdulillah, UPT Perpustakaan UIN Alauddin menjadi perpustakaan terakreditasi A pertama di luar Jawa.
Saya kemudian dipercaya untuk menjadi ketua Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia yang dihadiri oleh seluruh kepala perpustakaan propinsi, kabupaten, kota, perguruan tinggi dan beberapa lembaga lainnya. Hotel Singgasana dibooking full.
Beberapa peserta harus menginap di hotel Aston sebab target peserta jauh melebihi ekspektasi, dan sampai hari ini menjadi standar pelayanan tertinggi pelaksanaan Konferensi Perpustakaan Digital Indonesia yang rutin dilaksanakan per tahun.
Lalu saya bangkit dari sujudku di salat Duhur Selasa pekan ini, dan masih di pojok kecil ruang lift di bagian pengolahan perpustakaan. Selepas salam, saya bertafakkur membayangkan para mantan kawanku dulu akan dimintai keterangan satu per satu terkait desas desus itu.
Membayangkan gedung yang kita perjuangkan akreditasi dan nama harumnya akhirnya "konon" akan dipasangi police-line. Membayangkan ini dan itu tentang pemustaka yang dulu begitu ramai berkunjung mendadak hilang dan berhenti di depan tulisan perpustakaan Syekh Yusuf yang dulu kusayembarakan dan selanjutnya ditandatangani oleh kepala daerah.
Saya keluar dan tersenyum kepada semua Kawan pustakawan dan staf honorer sambil menyapa dan bercanda "hadapi saja, dunia ji ini Kawan". Lalu saya berjalan keluar mendapati aneka keris dan benda tajam yang sedang terpajang di lantai dasar perpustakaan yang pada periode saya merupakan sebuah ruang resepsionis ala hotel berbintang.
Saya pun melirik deretan foto mantan Kepala Perpustakaan UIN Alauddin dan berhenti sejenak sambil membayangkan "foto siapa lagi yang akan dipajang selanjutnya".
Ah, perpustakaan kita, kerenmu dulu dan nasibmu kini. Mungkin juga akibat gerbong perpustakaan memang tak pernah terlihat di kereta "panca cita". Padahal sejak awal sudah pernah kutanyakan "dimana gerbong perpustakaan di panca cita?".
Bahkan jika pun ada orang yang dapat menunjukkan gerbongnya, tetap akan kusalahkan jawabannya, sebab sejatinya perpustakaan bukan gerbong, melainkan lokomotif akademik itu sendiri. Jika tak percaya, baca saja sejarah Baitul Hikmah.
Wassalam, selamat melanjutkan desas desusnya. (*)