Hegemoni; Dari Troya Kita Belajar

  • Bagikan

Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Hegemoni yang dipopulerkan oleh Antonio Gramsci salah seorang pemikir tentang feminisme yang juga konsen pada isu-isu politik, demokrasi, dan feminisme. Pemikiran tentang hegemoni yang berusaha diungkap sebagai jalan tengah untuk membongkar kekuasaan negara yang terlalu dominan. Dominasi dan hegemoni kekuasaan sebagai pelecut munculnya “sakralitas kekuasaan” yang kemudian berujung pada lahirnya apa yang disebut sebagai hegemonian.

Perjalanan ideologi-ideologi dunia sepanjang sejarah telah mengalami berbagai dinamikanya. Konsep hegemoni Gramsci adalah gagasan yang berpusat pada pemahaman Antonio Gramsci mengenai hegemoni sebagai sarana kultural maupun ideologis tempat kelompok-kelompok yang dominan dalam masyarakat, termasuk pada dasarnya tapi bukan secara kelas eksklusif penguasa, melestarikan dominasinya dengan mengamankan "persetujuan spontan" kelompok-kelompok subordinat, termasuk kelas pekerja, melalui penciptaan negosiasi konsensus politik maupun ideologis yang menyusup ke dalam kelompok-kelompok dominan maupun yang didominasi.

Yang membedakan konsep hegemoni Gramsci dengan konsep hegemoni oleh tokoh lainnya adalah; pertama, ia menerapkan konsep itu lebih luas bagi kekuatan tertinggi satu kelompok atau lebih atas lainnya dalam setiap hubungan sosial, sedangkan pemakaian istilah itu sebelumnya hanya menunjuk pada relasi antara proletariat dan kelompok lainnya. Kedua, Gramsci juga mengkarakterisasikan hegemoni dalam istilah “pengaruh kultural”, tidak hanya “kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi” sebagaimana dipahami generasi Marxis terdahulu (Femia, 1983).

Berdasarkan hal tersebut da 3 tingkatan hegemoni menurut Gramsci, yaitu: (1) Hegemoni total yaitu ditandai dengan afiliasi masa yang mendekati totalitas. Masyarakat menunjukan tingkat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. (2) Hegemoni yang merosot, yakni menurut Gramsci pada tahap ini terjadi potensi disintegrasi atau potensi konflik yang tersembunyi di bawah permukaan.

Artinya sekalipun sistem yang ada telah mencapai kebutuhan dan sasarannya, namun mentalitas massa tidak sungguh-sungguh selaras dengan pemikiran yang dominan dan subjek hegemoni. (3) Hegemoni minimum yaitu hegemoni ala Antonio Gramsci adalah konsep yang menjelaskan bagaimana kelompok atau kelas dominan dalam masyarakat mempertahankan kekuasaannya melalui pengaruh dan dominasi. Gramsci berpendapat bahwa hegemoni bukan hanya bisa dicapai melalui kekerasan, tetapi juga melalui kontrol atas budaya, ideologi, dan norma-norma sosial.

Terkait perkembangan wacana hegemoni ala Gramsci ini maka ada beberapa hal yang menjadi perhatian untuk melihat secara utuh. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diketahui tentang hegemoni ala Gramsci: (a) Hegemoni adalah hubungan persetujuan, bukan hubungan dominasi. (b) Hegemoni dapat dicapai melalui kepemimpinan politik dan ideologis. (c) Hegemoni dapat terjadi dalam semua aspek kenyataan sosial. Gramsci menekankan pentingnya budaya dalam mempertahankan kekuasaan. (d) Hegemoni Gramsci percaya bahwa kelompok-kelompok yang kurang berkuasa dapat menciptakan perlawanan dan merombak struktur sosial yang ada. (e) Gramsci mengembangkan gagasan hegemoni dalam Buku Catatan Penjaranya. (f) Konsep hegemoni Gramsci memiliki dampak signifikan dalam studi politik, sosiologi, dan budaya.

Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas sosial lainnya. Konsekuensi logisnya, untuk menciptakan hegemoni diperlukan seorang 'intelektual organik' yang mampu menggerakkan blok historis dengan ide-idenya.

Menurut Gramsci, setiap orang adalah intelektual, tetapi tidak semua orang memiliki fungsi intelektual (di masyarakat). Setiap kekuatan sosial yang hegemonik .Hegemoni yang paling rendah tingkatannya, hegemoni ini bersandar pada kesatuan ideologis antara elit ekonomi, politik dan intelektual.

Di samping pikiran hegemoni Gramsci di lain pihak pikiran Jean Baudrillard dengan perspektif yang lain dengan sorotan pada dominasi, Hegemoni dan Teror dalam siklus “Agony of power”—yang seringkali mengakali demokrasi dengan cara memanipulasi dan menebar teror. Ilusi dan fantasi dalam politik seringkali dibangun seseorang demi pencitraan diri, lagi-lagi Baudrillard menyebutnya sebagai hiperealitas, yakni suatu kondisi yang bertentangan dengan realitas yang sesungguhnya---kamuflase, intrik, spekultaif dan manipulatif.

Troya yang Membongkar Dominasi

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa ekspedisi melawan Telephos dan penyelesaiannya merupakan suatu perubahan derivatif atas unsur-unsur dari cerita utama perang Troya. Tetapi itu dianggap cocok dalam pola cerita "petualangan pendahuluan" yang mengawali peristiwa dan tema dari kisah utama, dan dengan demikian memungkinkannya untuk menjadi pola-pola dalam strategi dalam berpolitik atau perebutan kekuasaan dengan cara perang. Mao Tse Dong pernah bilang “politik dan perang sama berbahayanya, perang adalah politik dengan darah, sementara politik adalah perang tanpa darah”.

Pada perang Troya, para prajurit Yunani bersembunyi di dalam kuda Troya yang berukuran raksasa yang ditujukan sebagai pengabdian kepada Poseidon. Kuda Troya tersebut menurut para petinggi Troya dianggap tidak berbahaya dan diizinkan masuk ke dalam benteng Troya yang tidak dapat ditembus oleh para prajurit Yunani selama kurang lebih 10 tahun perang Troya bergejolak.
Pada malam harinya, pasukan Yunani keluar dari perut kuda kayu tersebut dan akhirnya merebut kota Troya.

Dalam pengertian bahwa perang selama 10 tahun hegemoni Troya demikian kuat. Bentengnya begitu sulit ditembus oleh pasukan musuh-musuhnya. Maka Sparta dalam pasukan yang dikendalikan oleh Achilles dengan rancangan kuda Troya bagitu mampu menyusup masuk kedalam benteng Troya yang kokoh---sehingga hegemoni Kota Troya pun hancur dengan strategi perang kuda Troya dari pasukan Sparta. Ini merupakan catatan sejarah bagaimana hegemoni dan dominasi itu bisa seketika hancur ketika kekuasaan itu mendelegitimasi kekuatan publik.

Konsensus politik dari basis-basis sosial, delusi, ilusi dan fantasi bahkan sampai kepada dominasi dan teror adalah ancaman demokrasi yang hampir terjadi dibelahan dunia. Demokrasi yang dianggap sebagai jalan tengah bagi terciptanya kesejahteraan, kedamaian serta keadilan justru mengalami distrust akibat tabiat pemimpinnya yang tak memahami esensi demokrasi.
Hukum dibuatnya demi menyelamatkan kroni dan keluarganya dalam lingkup kekuasaan, itu juga adalaha bagian dari hegemoni kekuasaan. Konsep keadilan (justice) sebagai ruh dari demokrasi justru mengalami “keterpecahan” dan “keretakan” dari karakter pemimpin yang dominasi dan hegemoniak.

Gramsci mencoba membongkar itu, Baudrillard berusaha memberi pemahaman tentang itu, dan Troya adalah sejarah yang memperlihatkan itu, bahwa dominasi, hegemoni dan teror adalah tiga perangkat yang akan merusak demokrasi secara sistematis---dan akan mengarah pada terbentuknya negara otoritarian. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version