MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Wacana agar kepala daerah, seperti gubernur, bupati, dan wali kota, dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat setelah diusulkan oleh Presiden RI Prabowo Subianto. Namun, usulan ini menuai pro dan kontra di kalangan pemerhati demokrasi.
Pemerhati demokrasi sekaligus mantan Ketua Bawaslu Sulsel, Laode Arumahi, menilai bahwa usulan ini berpotensi melanggar hak konstitusional rakyat. Menurutnya, hak untuk memilih dan dipilih adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.
“Kalau kepala daerah tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, maka konstitusi harus diamendemen agar Presiden juga kembali dipilih oleh MPR. Ini artinya, demokrasi kita akan kembali ke era Orde Baru,” ujar Laode, Senin (16/12/2024).
Laode juga menanggapi argumen yang menyebut bahwa pemilihan kepala daerah langsung terlalu mahal. Ia menjelaskan bahwa demokrasi memang membutuhkan biaya karena bertujuan untuk memfasilitasi hak rakyat memilih pemimpinnya.
“Kalau alasan biayanya mahal, perlu diingat, negara demokrasi mana pun pasti membutuhkan biaya untuk pemilu. Yang murah itu adalah sistem kerajaan,” katanya.
Lebih lanjut, Laode menyoroti bahwa penyebab mahalnya Pemilu dan Pilkada adalah perilaku politisi yang memanfaatkan bantuan sosial saat pemilihan dan menggunakan politik uang untuk membeli suara rakyat.
“Kalau kepala daerah dipilih oleh DPRD, apakah politik uang akan hilang? Kemungkinan besar, politik uang hanya akan bergeser ke tempat lain, sehingga Pilkada tetap mahal,” tukas Laode, yang juga merupakan pengamat politik dari UIN Alauddin Makassar.
Wacana ini menimbulkan pertanyaan besar terkait dampaknya pada jalannya demokrasi di Indonesia. Apakah mekanisme pemilihan kepala daerah melalui DPRD akan diterapkan di seluruh daerah atau hanya sebagian? Dan sejauh mana sistem ini dapat meningkatkan efisiensi tanpa mengurangi partisipasi publik dalam proses demokrasi?
Wacana ini membutuhkan kajian mendalam, sebab perubahan sistem politik semacam ini bukan hanya soal efisiensi biaya, tetapi juga menyangkut hak rakyat dan esensi demokrasi di Indonesia. (Yadi/B)