MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemilihan kepala daerah yang telah usai menyisakan sejumlah hal bagi partai-partai politik. Salah satunya, melakukan evaluasi terhadap soliditas internal dalam bekerja memenangkan kader yang diusung dan gagal meraih suara signifikan.
Banyak kader partai yang akhirnya gagal terpilih meski berstatus petahana maupun pendatang barang. Perbedaan dukungan antara elite partai dan akar rumput memicu kader yang diusung akhirnya kalah dari kompetitor.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Andi Luhur Prianto memberikan pandangan secara umum untuk semua parpol di Sulsel. Ia menilai ada kerja elektoral tingkat provinsi dan di tingkat daerah yang perlu dievaluasi.
"Saya kira ini memang perlu dievaluasi oleh masing-masing partai politik. Selain pilkada serentak membuat partai kader tidak solid, tentu ada faktor lain sehingga penyebab adanya kader parpol gagal di daerah masing-masing," kata Luhur, Rabu (18/12/2024).
Menurut pengajar di Fakultas Ilmu Sosial Politik dan Pemerintahan (Fisip) Unismuh Makassar itu, fenomena kader partai politik relatif kurang terpilih di pilkada sejatinya menjadi perhatian pengurus partai. Apalagi, sambung dia, partai-partai telah mencalonkan kader yang dinilai terbaik di daerah masing-masing.
"Namun, ternyata kader yang diusung tidak mampu meraih simpati masyarakat sehingga suara mereka saat pemilihan kalah dari calon lain," ujar Luhur.
Dia menilai, selama ini partai politik telah melakukan proses kaderisasi yang dinilai baik. Akan tetapi saat momentum pelaksanaan pilkada, sebagian kader harus menerima kenyataan tidak diusung oleh partai sendiri.
Apalagi, kata dia, internal partai ternyata juga tetap membuka ruang bagi figur lain untuk dicalonkan sehingga kader internal tidak otomatis menjadi prioritas utama.
"Belum lagi, masing-masing partai sudah membentuk koalisi untuk memenangkan jagoannya pada pilkada serentak. Tidak jarang dalam internal partai ada perbedaan dukungan dan sikap kader yang ada di bawah," imbuh Luhur.
"Dalam konteks pilkada di Sulsel juga begitu. Tidak dipungkiri, keinginan elite ditentang oleh kader di daerah sehingga figur yang diusung tidak mendapat dukungan penuh. Ini yang harus bahan evaluasi bagi partai ke depan," sambung Luhur.
Partai NasDem, misalnya, hanya memenangkan kader mereka di tujuh daerah. Partai pemenang Pileg 2024 di Sulsel ini dominan kalah di sejumlah daerah.
Sekretaris NasDem Sulsel, Syaharuddin Alrif mengatakan, secara keseluruhan, usungan NasDem menang di 16 daerah. Dia mengatakan, kader murni yang menang di pilkada sudah punya investasi politik kemanusiaan dan kinerja yang bagus jauh sebelum pilkada digelar.
"Politik kemanusiaan dan investasi politik itulah yang membuat NasDem berjaya, menang di beberapa kabupaten," kata Syaharuddin.
Adapun, Partai Golkar, hanya meloloskan tujuh kader sebagai pemenang di pilkada (baik sebagai 01 maupun 02). Sekretaris Golkar Sulsel, Marzuki Wadeng mengatakan akan menjadikan hasil itu sebagai bahan evaluasi ke depan.
Sedangkan, Partai Demokrat di Sulsel juga meraih kemenangan di beberapa daerah. Ketua Badan Pemenangan Pemilu Demokrat Sulsel, Andi Januar Jaury Darwis, mengungkapkan rasa syukur atas torehan tersebut.
"Keberhasilan ini tidak lepas dari strategi politik yang terencana dengan baik," kata Januar.
Selain itu, kata dia, kehadiran kader-kader baru yang mampu menyinari panggung pilkada turut berperan besar. Keberhasilan ini tentu tidak lepas dari strategi dan pendekatan khusus yang diterapkan.
Dia menambahkan, Partai Demokrat dikenal memiliki sistem kaderisasi terstruktur dan berfokus pada pengembangan kompetensi kader. Kader yang maju di Pilkada 2024 telah melewati pelatihan intensif, sehingga mereka mampu memahami kebutuhan masyarakat dan memiliki kemampuan kepemimpinan yang mumpuni.
"Para calon usungan Partai Demokrat dinilai sukses mengidentifikasi dan mengangkat isu-isu lokal relevan dengan kebutuhan masyarakat," ujar dia.
Ketua DPD Gerindra Sulsel, Andi Iwan Darmawan Aras mengklaim memenangkan sembilan kader menang pemilihan kepala daerah serentak 2024.
"Ada sembilan kader Gerindra menang pemilihan kepala daerah serentak 2024. Ada bupati dan ada wakil," kata dia.
Dia mengakui bahwa, pasca-Pilkada 2024, sejumlah kepala daerah terpilih dari paslon lain ingin bergabung jadi kader Gerindra. Pada kepala daerah terpilih tersebut berasal dari wilayah selatan, tengah, hingga wilayah utara.
"Kami senang, Gerindra di Sulsel makin diminati oleh para pemimpin daerah. Saat ini ada beberapa bupati terpilih menyampaikan keinginan untuk bergabung," tutur dia.
Anggota DPR RI itu menegaskan, Partai Gerindra selalu terbuka memberi kesempatan bagi para kepala daerah jika ingin bergabung jadi kader. Menurut dia, semakin banyak figur yang bergabung maka semakin banyak yang membesarkan Gerindra dan mensejahterakan masyarakat lewat Gerindra.
"Kami terbuka bagi siapa saja yang memiliki visi yang sama dan ingin bergabung jadi kader Gerindra. Kita ingin pengabdian dan memperjuangkan kepentingan masyarakat," ujar Iwan.
Pengamat komunikasi politik dari UIN Alauddin Makassar, Profesor Firdaus Muhammad menyebutkan, Gerindra Sulsel mencetak prestasi di Pileg dan Pilkada di Sulsel 2024.
"Melihat hasil Pilkada memang suatu prestasi, karena Partai Gerindra itu partai besar. Di Sulsel setelah memenangkan Pileg juga memenangkan Pilkada 2024. Ini kerja sudah ditargetkan Gerindra provinsi dan kab/kota," kata Firdaus.
Menurut dia, kekuatan Gerindra justru terletak pada kerja-kerja lintas sektoral kader dan struktur yang mereka miliki. Partai pemenang Pilpres 2024 itu dinilai memiliki mesin politik yang bagus pada struktur organisasi mereka.
"Kalau dilihat, selain pada figur, tetapi pada kerja-kerja lintas sektoral, dan kerja-kerja struktur parpol bekerja secara masif," tutur dia.
Terlebih, sambung Firdaus, Gerindra memiliki basis pemilih yang berbeda sehingga mendulang suara melalui basis massa dari semua kalangan. Belum lagi Prabowo effect "dijual: kader untuk maju di pilkada.
"Efek Prabowo masih ada. Kalau mesin politik sudah pasti bekerja secara masif sehingga kader menang di beberapa daerah," kata dia.
Ditambahkan, elektoral partai politik (parpol) dan kinerja figur calon kepala daerah dinilai punya korelasi yang sama. Sehingga angka elektoral partai yang tinggi dibarengi oleh dukungan figur yang tinggi pula. Menyebabkan korelasi yang erat sebagai indikator kerja basis figur dan tim yang maksimal.
"Tapi, tentu ini kan bukan lantaran kerja figur semata. Tetapi lebih pada nama besar partai atau kerja struktur partai," ucap Firdaus.
Adapun, pengamat politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Rizal Pauzi memiliki pandangan bahwa, meskipun Gerindra berjaya di beberapa daerah di pileg dan pilkada, akan tetapi ada kekurangan bahwa Gerindra tidak bisa menangkan sejumlah Kader.
"Misalnya di Kota Makassar, kan, kalah kadernya. Belum lagi seperti di Pinrang dan Sidrap," kata Rizal.
Menurut dia, terkait capaian partai Gerindra di Pilkada ini menurutnya ada beberapa hal kemudian membuat capaian partai Gerindra belum maksimal. Yang pertama adalah Gerindra berupaya atau memperlihatkan mendorong kadernya sendiri seperti Seto di Makassar kemudian ada Darmawangsa Muin kemudian misalnya di Pinrang ada Hastri dan seterusnya.
Sehingga, prioritas mendorong kader itu menjadi resiko tersendiri dalam capaian, kalau kita mau prioritaskan kader tentu harus kerja keras, karena Pilkada ini waktu kampanyenya relatif singkat.
"Sementara modal sosial dari beberapa kader itu belum optimal, seperti di Sidrap di Pinrang yang mendorong kader yang belum optimal," ujar Rizal.
Menurut akademisi Unhas itu, bahwa ini adalah resiko Partai Gerindra memprioritaskan kadernya, walaupun belum signifikan tapi ini menjadi contoh dari partai lain. Partai Gerindra sebagai partai pemenang Pemilu tentu harus lebih kuat melakukan kaderisasi dibanding seperti Partai Golkar kemudian Nasdem kemudian partai-partai lain melakukan konsolidasi di level-level bawah.
"Maka dari itu Gerindra karena opsi pertamanya memprioritaskan kader dan kemudian memperkuat jaringan-jaringannya bagaimana kemudian menjaring tokoh, menjaring simpul-simpul dan seterusnya," imbuh dia.
Rizal mengatakan Prabowo efek sebenarnya butuh waktu lebih lama untuk kemudian bisa optimal pengaruhnya dan ini waktunya sangat sempit dan terbatas Presiden baru dilantik tanggal 20 Oktober dan hanya butuhkan sebulan lebih menuju Pilkada serentak. Jadi menurut Prabowo efek itu belum terlalu signifikan.
"Tantangannya sebenarnya mengkonversi suara pileg ke pilkada agak rumit untuk tingkat pemilih tradisional. Karena di Sulawesi Selatan tingkat pemilih tradisional relatif tinggi. Dominan memilih figur ketimbang memilih partai," imbuh Rizal.
"Jadi, ya tantangannya adalah bahwa partai harus meningkatkan kualitas figurnya dan juga bagaimana bisa menguatkan basis-basis sosial dari figur itu," sambung dia.
Dia menambahkan, terkait struktur tim, ada delamatif seperti misalnya di Bone ada beberapa anggota dewan dari Partai Gerindra yang orang tuanya maju diusung oleh partai lain. "Ya, walaupun pernyataan serius memenangkan tapi secara psikologi tentu berbeda di lapangan," ucap dia.
"Jadi menurut saya bahwa struktur Partai Gerindra memang perlu optimalkan kedepannya, bagaimana bisa lebih bekerja secara masif dan bukan hanya pemenangan tapi pada pemberian pendidikan politik, penguatan jaringan dan kemampuan mengawal program-program presiden di level bawah," tutup Rizal. (suryadi/B)