“Kalau pemilihan dilakukan oleh DPRD, KPU dan Bawaslu tetap bisa berperan. Tidak mungkin DPRD menyelenggarakan sendiri tanpa ada penyelenggara yang netral,” ujar Direktur Nurani Strategic Consulting ini.
Pengamat Politik Profetik Institut, Asratillah, berpendapat bahwa pemerintah sebaiknya konsisten dengan sistem Pilkada langsung. Menurutnya, setiap sistem memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
“Keluhan soal tingginya biaya politik itu wajar, tapi pertanyaannya, kalau Pilkada dikembalikan ke DPRD, apakah biaya politik bisa dikurangi? Jawabannya tidak. Biaya politik tetap ada, hanya saja bentuknya yang berubah,” jelas Asratillah.
Anggota Komisi II DPR RI, Taufan Pawe, menyatakan bahwa kebijakan ini bisa dilaksanakan asal didukung kajian dan pendalaman naskah akademik yang matang. Ia mengusulkan wacana ini diterapkan secara bertahap, dimulai dari pemilihan gubernur.
“Sebagai tahap awal, Pilkada berbasis parlemen ini bisa dilakukan untuk pemilihan gubernur. Setelah itu, kita evaluasi sebelum menerapkannya untuk tingkat kabupaten/kota,” ujar Ketua DPD I Golkar Sulsel ini.
Meski wacana ini didukung sejumlah pihak, tantangan besar tetap ada. Selain potensi melemahkan demokrasi, muncul kekhawatiran soal transparansi dan akuntabilitas pemilihan berbasis parlemen.
Penting bagi pemerintah dan DPR untuk memastikan bahwa perubahan sistem ini tidak hanya demi efisiensi anggaran, tetapi juga untuk menjaga prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat yang telah menjadi landasan konstitusi Indonesia. (Yadi/B)