MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Wacana pengembalian sistem pemilihan kepala daerah (Pilkada) berbasis parlementer, di mana kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kembali mencuat. Langkah ini disebut-sebut dapat mengefisiensikan anggaran Pilkada.
Namun, gagasan ini memicu reaksi beragam dari kalangan politisi dan akademisi. Banyak pihak mempertanyakan nasib suara rakyat yang diwakili dalam sistem ini, serta peran penyelenggara Pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Pemerhati Pemilu, Nurmal Idrus, menyebut wacana ini bukan hal baru. Sistem pemilihan kepala daerah tidak langsung pernah diterapkan sebelumnya, namun diganti dengan sistem langsung seiring berkembangnya demokrasi.
“Kalau mau dikembalikan, tentu harus dihitung baik-baik untung-ruginya bagi demokrasi kita. Jangan sampai ini melemahkan atau mendegradasi kedaulatan rakyat. Konstitusi kita jelas mengatur bahwa segala sesuatu adalah kedaulatan rakyat,” ujar Nurmal, Kamis (19/12/2024).
Ia menambahkan, alasan efisiensi anggaran yang disampaikan oleh Presiden Prabowo Subianto perlu dikaji lebih dalam. “Sebenarnya negara tidak banyak keluar dana untuk Pilkada, hanya saja biaya politik yang tinggi sering dianggap membebani kandidat. Itu bisa diminimalkan kalau proses rekrutmen kandidat di partai politik berjalan baik,” jelasnya.
Nurmal menegaskan, meski Pilkada berbasis parlemen diterapkan, peran KPU dan Bawaslu tidak akan hilang. Menurutnya, KPU dan Bawaslu tetap dibutuhkan untuk memastikan proses pemilihan berjalan sesuai regulasi.