Pasalnya pada masa jelang pencoblosan Pilkada 27 November lalu, di Sulsel beredar rumor jual beli suara rakyat di kisaran Rp200 sampai Rp300 ribu. Bahkan kabarnya bisa mencapai Rp500 ribu rupiah.
Selain pengembangan masih dilakukan oleh pihak kepolisian, publik juga menuntut agar masyarakat yang menerima serangan fajar berupa money politik untuk memastikan uang itu asli atau paslu.
"Di momentum Pilkada Serentak kemarin money politik jadi salah satu hal yang harus dicurigai. Praktik money politik dan abuse of power jadi perhatian khusus," tuturnya.
Dari sisi hukum perbuatan ini kata dia, melanggara UU perbankan. Ini perlu dikejar oknum pelaku utama dan juga di dalami apa ada kaitan paslon 2024 atau tidak. Jangan sampai pelaku intektual melakukan kerjasama.
"Diusut tuntas, paalagi jaringan yang bermain. Dikejar paslon, jangan mengahmbur uang," saran Prof. Ilmar.
Sedangkan, Pengamat Ekonomi Universitas Muhamadiyah (Unismuh) Makassar, Sutardjo Tui menilai, peredaran uang palsu jadi catatan pada momentum Pilkada maupun tidak.
Namun pada saat Pilkada, dia mengatakan peredaran Upal lebih besar kemungkinannya. Itu disebabkan tingginya belanja keperluan kampanye.
"Uang palsu setiap saat ada dan dari dulu juga ada. Cuman kan tidak dibongkar. Dan karena di Pilkada ini kan jadi sorotan karena berpotensi lebih banyak lagi," ungkap Sutardjo.
Sutardjo mengatakan, selain pihak kepolisian, instansi berwenang seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seharusnya melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat lebih massif untuk meminimalisir korban peredaran uang palsu ini.