MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), diwacanakan diubah menjadi badan ad hoc (sementara). Pasalnya, tugas KPU dan Bawaslu dinilai hanya signifikan saat pelaksanaan pemilu dilakukan.
Rencana ini tengah dibahas oleh DPR RI, dengan alasan penyelenggara Pemilu akan lebih efektif dan tidak memakan anggaran negara.
Pengamat Politik Unibos Makassar, Arief Wicaksoni beranggapan bahwa KPU sebagai penyelenggara Pemilu tetap dibutuhkan sebagai lembaga permanen bukan ad hoc. Selain sebagai lembaga teknis penyelenggaraan pemilu, KPU penting untuk mengawal pelembagaan dan penguatan demokrasi.
"Saya melihat, fungsi itu tidak bisa berjalan optimal kalau statusnya ad hoc, karena ada campur tangan dua lembaga," ujarnya.
Menurut dia, jika KPU menjadi lembaga ad hoc, maka rawan terjadi intervensi dari birokrasi dan kekuatan-kekuatan politik di luar lembaga yang berpotensi melemahkan kelembagaan.
Hal yang diperlukan saat ini justru memperkuat kelembagaan KPU agar lebih mandiri dan benar-benar independen, serta bebas dari campur tangan partai politik atau kekuatan lain.
"Karena itu, wacana KPU menjadi lembaga ad hoc dengan alasan penghematan anggaran mengada-ada dan tidak memiliki pijakan yang kuat," tukasnya.
Sedangkan, Pemerhati Politik, Nurmal Idrus menilai wacana itu bukan hal baru di Indonesia. Sebab, beberapa Pemilu sebelumnya sempat menerapkan sistem pemilihan tidak langsung.
"Namun seiring berkembangnya pemikiran demokrasi, sistem ini kemudian diganti karena dianggap tidak demokratis," katanya.
Lanjut dia, jika kemudian ingin dikembalikan lagi, tentu harus dihitung baik-baik untung-ruginya bagi demokrasi kita. Jangan sampai itu melemahkan atau mendegradasi kedaulatan rakyat terhadap konstitusi.
"Konstitusi kita kan mengatur bahwa segala sesuatu adalah kedaulatan rakyat," ujarnya.
Meski begitu menurut Nurmal, wacana ini ada baiknya, apalagi dengan dalih efisiensi anggaran. Tetapi, usulan ini tidak dapat dijadikan sebagai putusan dengan proses yang serampangan, mengingat sistem ini pernah dijalani dan kemudian diganti.
Mantan komisioner KPU Makassar ini pun mengatakan, meskipun wacana ini benar diadakan, tidak akan menghilangkan peran penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu.
Sementara, Ketua KPU Sulsel, Hasbullah belum bisa memberikan pandangan terkait wacana yang berkembang tersebut. Menurutnya, keputusan tertinggi ada di pusat, yakni antara Pemerintah dan juga pimpinan KPU RI dan Bawaslu. Sehingga apapun keputusan, pihaknya di daerah tetap menjalankan.
"Kami KPU daerah kolektif. Keputusan tertinggi di KPU RI dan Pemerintah, hasilnya kami mengikut," jelasnya, Minggu (22/12/2024).
Hasbullah menilai bahwa peran KPU di setiap wilayah pada saat pemilu dan pilkada tetap ada, yakni menjadi sentra pada agenda lima tahunan. Sedangkan Bawaslu juga berada pada garis terdepan dalam hal pengawasan.
"Saya pikir selama ini KPU dan Bawaslu di Daerah menjalankan tugas sesuai tupoksi, baik Pileg dan Pilkada, tetap berkoordinasi dengan tugas masing-masing," tuturnya.
Sementara, anggota Bawaslu Sulsel, Alamsyah mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan resmi pemerintah pusat dan DPR RI. Apalagi semua keputusan akan dibahas bersama-sama.
"Kita tunggu saja, apa menjadi alternatif terbaik. Apakah ada perubahan, atau tetap pada mekanisme sekarang," singkatnya. (Suryadi/B)