MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), diwacanakan diubah menjadi badan ad hoc (sementara). Pasalnya, tugas KPU dan Bawaslu dinilai hanya signifikan saat pelaksanaan pemilu dilakukan.
Rencana ini tengah dibahas oleh DPR RI, dengan alasan penyelenggara Pemilu akan lebih efektif dan tidak memakan anggaran negara.
KPU dan Bawaslu sendiri dipandang hanya efektif bekerja selama dua tahun atau hanya pada masa pemilu dan pilkada serentak saja. Sementara tiga tahun sisanya, lembaga tersebut cuma mengisi agenda dengan bimbingan teknis (bimtek) yang dinilai 'makan' anggaran.
Ada yang menilai, KPU dirancang bersifat independen dan tidak dipengaruhi konstelasi politik jangka pendek. Sebagai lembaga independen definitif, maka ia memiliki kesempatan untuk menjaga kesinambungan kebijakan dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu secara berkelanjutan.
Jika KPU dan Bawaslu dibentuk menjadi lembaga ad hoc, maka ada risiko penyelenggara pemilu bisa diganti sesuai kondisi politik tertentu. Hal ini berpotensi mengurangi independensi serta meningkatkan potensi politisasi penyelenggara pemilu.
Pengamat politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Rizal Fauzi menilai, jika KPU dan Bawaslu dibentuk menjadi ad hoc ada sisi positif dan negatifnya.
"Jadi memang pembentukan lembaga negara itu ada syarat-syaratnya, kalau dia permanen harus jelas beban kerjanya, kemudian ada beberapa variabel, termasuk tupoksinya," ujar Rizal Fauzi saat diwawancara, Senin (23/12/2024).
Menurut Rizal, jika lembaga-lembaga ini menjadi ad hoc, evaluasi kelembagaan harus dilakukan terlebih dahulu. Hal ini untuk memastikan efektivitas kerja lembaga dan meminimalkan dampak buruk terhadap kualitas penyelenggaraan Pemilu nantinya.
Rizal juga mengatakan jika wacana ini diterapkan maka salah satu nilai positifnya adalah dapat mengurangi anggaran dan beban negara. Sementara untuk alasan lembaga ini dijadikan sebagai pendidikan politik, kata Rizal, sudah bisa ditangani oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) di tingkat daerah.
"Kalau pendidikan politik ada Kesbangpol, jadi KPU tak perlu melakukan itu. Data pemilih juga bisa disinkronkan dengan e-KTP atau Dukcapil yang lebih efisien," sebut Rizal.
Sementara mengenai dua lembaga ini dibentuk permanen untuk menjaga independensi dan integritas pemilu, menurut Rizal lembaga ad hoc juga bisa. Tergantung nantinya status kelembagaan, regulasi dan implementasinya bagaimana.
"Kalau regulasinya dibuat independen, meskipun ad hoc, independensinya tetap bisa terjaga," ujar Rizal.
Dalam hal ini, Rizal juga menyoroti pentingnya analisis beban kerja dan efisiensi biaya yang dikeluarkan untuk KPU dan Bawaslu. Mengingat mereka hanya bekerja maksimal selama satu tahun, sementara empat tahun masa kerjanya dipertanyakan.
"Kalau dalam empat tahun tidak ada pemilihan, apa kerjanya? Itu harus dijawab dulu sebelum memutuskan status kelembagaan," tuturnya.
Apalagi Bawaslu sendiri, menurut Rizal, meski permanen, kebijakannya juga tetap bergantung pada penegakan hukum terpadu (Gakkumdu) dalam menangani pelanggaran.
"Keputusan Bawaslu itu keputusan bersama. Kalau tidak ada polisi dan jaksa di Gakkumdu, Bawaslu juga sulit bersikap," ungkapnya.
Rizal menambahkan, jika KPU dan Bawaslu dijadikan lembaga ad hoc, perlu ada pengaturan regulasi yang jelas. Tanpa itu, risiko intervensi politik dan berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu semakin besar.
"Namanya lembaga ad hoc, pasti SDM dan anggarannya terbatas. Ini bisa membuat posisinya lemah di masyarakat," kata Rizal.
Namun, ia juga mengakui, model ad hoc dapat menghemat anggaran negara. Dengan SDM yang lebih sedikit, biaya operasional otomatis berkurang.
Terpisah, Pengamat Politik Unibos Makassar, Arief Wicaksoni beranggapan bahwa KPU sebagai penyelenggara Pemilu tetap dibutuhkan sebagai lembaga permanen bukan ad-hoc. Selain sebagai lembaga teknis penyelenggaraan pemilu, KPU penting untuk mengawal pelembagaan dan penguatan demokrasi.
"Saya melihat, fungsi itu tidak bisa berjalan optimal kalau statusnya ad hoc, karena ada campur tangan dua lembaga," ujarnya.
Menurut dia, jika KPU menjadi lembaga ad hoc, maka rawan terjadi intervensi dari birokrasi dan kekuatan-kekuatan politik di luar lembaga yang berpotensi melemahkan kelembagaan.
Hal yang diperlukan saat ini justru memperkuat kelembagaan KPU agar lebih mandiri dan benar-benar independen, serta bebas dari campur tangan partai politik atau kekuatan lain.
"Karena itu, wacana KPU menjadi lembaga ad hoc dengan alasan penghematan anggaran mengada-ada dan tidak memiliki pijakan yang kuat," tukasnya.
Sedangkan, Pemerhati Politik, Nurmal Idrus menilai wacana itu bukan hal baru di Indonesia. Sebab, beberapa Pemilu sebelumnya sempat menerapkan sistem pemilihan tidak langsung.
"Namun seiring berkembangnya pemikiran demokrasi, sistem ini kemudian diganti karena dianggap tidak demokratis," katanya.
Lanjut dia, jika kemudian ingin dikembalikan lagi, tentu harus dihitung baik-baik untung-ruginya bagi demokrasi kita. Jangan sampai itu melemahkan atau mendegradasi kedaulatan rakyat terhadap konstitusi.
"Konstitusi kita kan mengatur bahwa segala sesuatu adalah kedaulatan rakyat," ujarnya.
Meski begitu menurut Nurmal, wacana ini ada baiknya, apalagi dengan dalih efisiensi anggaran. Tetapi, usulan ini tidak dapat dijadikan sebagai putusan dengan proses yang serampangan, mengingat sistem ini pernah dijalani dan kemudian diganti.
Mantan komisioner KPU Makassar ini pun mengatakan, meskipun wacana ini benar diadakan, tidak akan menghilangkan peran penyelenggara seperti KPU dan Bawaslu.
Sementara, Ketua KPU Sulsel, Hasbullah belum bisa memberikan pandangan terkait wacana yang berkembang tersebut. Menurutnya, keputusan tertinggi ada di pusat, yakni antara Pemerintah dan juga pimpinan KPU RI dan Bawaslu. Sehingga apapun keputusan, pihaknya di daerah tetap menjalankan.
"Kami KPU daerah kolektif. Keputusan tertinggi di KPU RI dan Pemerintah, hasilnya kami mengikut," jelasnya, Minggu (22/12/2024).
Hasbullah menilai bahwa peran KPU di setiap wilayah pada saat pemilu dan pilkada tetap ada, yakni menjadi sentra pada agenda lima tahunan. Sedangkan Bawaslu juga berada pada garis terdepan dalam hal pengawasan.
"Saya pikir selama ini KPU dan Bawaslu di Daerah menjalankan tugas sesuai tupoksi, baik Pileg dan Pilkada, tetap berkoordinasi dengan tugas masing-masing," tuturnya.
Sementara, anggota Bawaslu Sulsel, Alamsyah mengatakan, pihaknya masih menunggu keputusan resmi pemerintah pusat dan DPR RI. Apalagi semua keputusan akan dibahas bersama-sama.
"Kita tunggu saja, apa menjadi alternatif terbaik. Apakah ada perubahan, atau tetap pada mekanisme sekarang," singkatnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Zulfikar Arse Sadikin, menolak usulan mengubah status Komisi Pemilihan Umum atau KPU RI dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menjadi lembaga ad hoc.
"UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan kepada kita bahwasanya pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Itu termaktub dalam Pasal 22E Ayat 5," kata Zulfikar. (Isak Pasabuan/B)