Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Bertepatan dengan peringatan Hari Ibu setiap 22 Desember, kita mengheningkan cipta mengenang jasa dan cinta kasih ibu. Sejarah tidak luput menginformasikan beberapa perempuan yang patut dijadikan contoh oleh kaum perempuan masa kini.
Di antara mereka adalah Khadijah binti Khuwailid (istri pertama Rasulullah saw), Aisyah binti Abu Bakar (istri ke tiga Rasulullah saw), Fatimah binti Muhammad lebih populer dengan sebutan Fatimah Az-Zahra (putri Rasulullah saw), dan Asiyah binti Muzahim (istri Fir’aun) sebutan bagi istri Fir’aun pada masa Nabi Musa ‘Alaihissalam.
Ketokohan empat figur perempuan dalam sejarah secara singkat disebutkan, Khadijah istri Rasulullah keturunan bangsawan Quraisy yang kaya raya, rela meninggalkan gemerlap kehidupan sebagai seorang putri bangsawan dan menggunakan harta kekayaannya untuk mendampingi Rasulullah saw dalam menyebarkan Islam.
Aisyah binti Abu Bakar, istri Rasulullah saw yang cerdas sebagai periwayat hadis sehingga banyak hadis Rasulullah yang sampai kepada umat Islam. Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah yang dengan setia mendampingi suaminya Ali bin Abi Talib karramallahu wajha. Sebagai seorang putri Rasulullah, tetap hidup sederhana dan menjadi contoh wanita karier dalam Islam. Senantiasa membantu suaminya mendatangkan nafkah keluarga dengan membuat industri rumah tangga.
Sehingga sejarah menuturkan bahwa telapak tangan Fatimah melepuh karena menggiling gandum membuat roti kemudian dijual untuk menambah penghasilan keluarga. Asiyah binti Muzahim dipandang salah seorang perempuan terbaik sepanjang masa dalam tradisi Islam. Dia mempertahankan akidah di hadapan suaminya (Fir’aun) yang ingkar kepada Allah.
Sejarah juga menginformasikan keberadaan perempuan dari masa ke masa. Tak terkecuali pandangan para penganut agama pada masa lampau status wanita berbeda-beda sepanjang zaman. Dulu, ada anggapan bahwa wanita adalah makhluk rendah dan susah diurus. Bahkan kaum filsuf pun ada yang beranggapan bahwa wanita adalah manusia yang belum selesai, yang tertahan dalam perkembangan tingkat bawah.
Pada zaman Jahiliah, kata Umar bin Khattab, “kami tidak pernah memberi hak apa pun kepada wanita, sampai Allah Yang Maha Tinggi menurunkan perintah yang penting buat mereka dan memberikan kepada mereka bagian yang tepat”.
Memang ketika Islam datang, nasib wanita di Arabia tidak jauh berbeda dengan nasib rekan-rekan mereka di tempat lain. Mereka tidak mendapat hak waris, bahkan dapat diwariskan dari ayah kepada anak-anaknya bila ayah memiliki istri lebih dari satu. Memiliki anak perempuan dianggap aib, sehingga mereka melakukan pembunuhan atas anak-anak wanita. Islam mengakhiri praktik-praktik ini dan sekaligus melakukan usaha emansipasi yang pertama dalam sejarah kemanusiaan.
Perintah bersyukur kepada orang tua dalam Al-Qur'an pada surat Luqman, diletakkan sebaris dengan perintah bersyukur kepada Allah. Hal ini menunjukkan betapa Allah meminta kepada semua hamba-Nya agar pandai berterima kasih serta mencintai orang tua, khususnya ibu yang telah mengandung, melahirkan, dan mengasuh dengan susah payah dengan cinta dan kasih yang tak pernah padam.
Cinta kasih ibu kepada anak telah mengalahkan semua derita dan susah payah dalam mengasuh dan membesarkan kita semua. Ungkapan lama menyebutkan, “kasih ibu kepada anak sepanjang masa, kasih anak kepada ibu sepanjang jalan, cinta kasih ibu kepada anak mengalir setiap saat bagai matahari menyinari bumi, tulus tak mengharap balasan. Tapi cinta anak kepada ibu tidaklah sebanding, jika diibaratkan air hujan yang selalu turun, yang kembali ke atas hanyalah uap atau percikannya saja”.
Betapa tidak seimbangnya relasi cinta kasih ibu dan anak, relasi orang tua kepada anak lebih kepada tanggung jawab, sedang relasi anak kepada orang tua adalah mencintai dan menghormati. Selamat memperingati Hari Ibu 22 Desember 2024. (*)