Menurut Laode, mengubah sistem Pemilu bukanlah hal yang sederhana karena membutuhkan amandemen terhadap konstitusi, yaitu UUD 1945. Saat ini, penyelenggara Pemilu diatur secara tegas dalam UUD 1945 sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
"Norma ini sudah diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang menegaskan bahwa KPU, Bawaslu, dan DKPP merupakan satu kesatuan penyelenggara Pemilu," jelasnya.
Laode juga menjawab pertanyaan tentang apa yang dilakukan penyelenggara Pemilu setelah Pemilu atau Pilkada serentak. Ia menegaskan bahwa banyak tugas penting yang harus diselesaikan, seperti menyelesaikan sengketa hasil Pemilu, menangani pergantian antar waktu anggota legislatif, serta mengelola potensi sengketa administrasi.
Selain itu, penyelenggara Pemilu juga memiliki peran dalam pendidikan politik warga negara, yang sebenarnya merupakan tugas partai politik berdasarkan undang-undang.
"Sayangnya, banyak partai politik yang mengabaikan tugas ini, meskipun anggarannya sudah tersedia," tambahnya.
Laode menyarankan agar energi difokuskan pada evaluasi pelaksanaan Pemilu dan Pilkada daripada melemparkan wacana-wacana baru yang belum tentu relevan.
"Kalau ada kegagalan dalam penyelenggaraan Pemilu, tentu ada penyebabnya. Salah satunya mungkin karena intervensi dari partai politik," tutup Laode.
Wacana penggabungan KPU dan Bawaslu sebagai badan ad hoc ini perlu dikaji lebih mendalam, mengingat dampaknya yang besar terhadap sistem demokrasi dan tata kelola Pemilu di Indonesia. (Yadi/B)