MAKASSAR, RAKYATSULSEL – Wacana pengubahan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi badan ad hoc terus bergulir. Ide ini muncul karena dianggap bahwa peran kedua lembaga tersebut lebih signifikan hanya saat pelaksanaan Pemilu.
Namun, wacana tersebut memicu berbagai pertanyaan, seperti apakah langkah ini akan disetujui oleh KPU, apa harapan lembaga penyelenggara Pemilu ke depan, dan apakah perubahan tersebut akan membuat pelaksanaan Pemilu lebih efektif.
Pemerhati demokrasi, Dr. Laode Arumahi, menilai bahwa wacana ini bukan hal baru. Menurutnya, ide seperti ini biasanya muncul pasca-Pemilu, terutama dari anggota parlemen yang baru pertama kali terpilih.
"Bagi saya, sebagai mantan penyelenggara Pemilu yang cukup lama, memahami betul bahwa membangun demokrasi melalui Pemilu itu tidak mudah. Wacana ini cenderung muncul dengan berbagai motivasi di baliknya," kata Laode, Kamis (26/12/2024).
Laode, yang pernah menjabat sebagai Ketua Bawaslu Sulsel selama dua periode, menyoroti rendahnya kesadaran politik di Indonesia, baik di kalangan elit politik maupun masyarakat.
"Kesadaran politik hanya bisa terbangun melalui pengetahuan politik yang komprehensif dan holistik. Sayangnya, banyak anggota parlemen baru yang belum memiliki pemahaman yang memadai," ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa standar pendidikan anggota parlemen yang beragam, minimal SMA, serta pengalaman politik yang terbatas menjadi salah satu alasan munculnya wacana yang kurang matang.