Ia menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan kebijakan yang lebih inklusif dan tidak hanya berfokus pada pemberian bansos. Selain itu, Rizal menyoroti pentingnya membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah.
“Kepercayaan publik sangat penting. Jika masyarakat merasa bahwa pemerintah tidak hadir untuk melindungi mereka dari dampak kenaikan ini, maka ketidakpuasan akan meningkat. Ini tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga stabilitas sosial,” jelasnya.
Dosen Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar itu menilai perlu menghadirkan kebijakan yang dapat menyeimbangkan kebutuhan negara untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan kondisi masyarakat yang masih berjuang pulih dari dampak pandemi dan krisis global. Rizal menyebut bahwa langkah ini membutuhkan koordinasi lintas sektor yang kuat dan pendekatan berbasis data.
"Yang masyarakat pikirkan itu kan soal kenaikan harga, soal PPN itu soal kelas-kelas bawah itu tidak terlalu siknifikan sebenarnya," pungkasnya.
Pengamat Ekonomi Universitas Muhammadiyah Makassar, Abd Muttalib Hamid menilai kenaikan PPN yang sebelumnya diangka 11 persen menjadi 12 persen perlu dikaji secara hati-hati sebab menyangkut taraf hidup orang banyak.
"Kenaikan PPN menjadi 12 persen di tahun depan merupakan langkah strategis pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara. Namun, dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan sektor rill perlu diperhatikan secara serius," ujar Muttalib kepada Rakyat Sulsel, Jumat (27/12/2024).
Seperti pendapat sebagian besar ekonom, Wakil Dekan 3 FEB Unismuh Makassar ini juga berharap pemerintah melakukan kajian lebih mendalam terkait kebijakan PPN ini.
"Kami berharap pemerintah melakukan kajian lebih mendalam mengenai waktu dan cara implementasi kebijakan ini untuk meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul," jelasnya.
Dirinya juga berpendapat saat ini masyarakat masih tertekan oleh kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, sehingga tambahan beban pajak dapat memperburuk daya beli.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat, Direktorat Jenderal Pajak, Dwi Astuti melalui keterangan resminya mengungkapkan kenaikan pajak tersebut telah dilakukan berdasarkan kajian mendalam dan diterapkan bertahap dari 10 persen menjadi 11 persen mulai 1 April 2022 lalu, kemudian dari 11 persen menjadi 12 persen akan diterapkan pada 1 Januari 2025.
Kendati terjadi kenaikan PPN menjadi 12 persen, barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat, tetap diberikan fasilitas pembebasan PPN atau PPN dengan tarif 0 persen.
"Barang dan jasa tersebut seperti kebutuhan pokok yaitu beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Sedangkan jasa yang dikecualikan adakah
jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum ," Jelas Dwi
"Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum dan berbagai insentif PPN lainnya yang secara keseluruhan diperkirakan sebesar Rp265,6 triliun untuk tahun 2025," tambahnya.
Dwi menjelaskan kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenai tarif 11 persen, kecuali beberapa jenis barang yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, yaitu minyak goreng curah Minyakita, tepung terigu dan gula industri. Untuk ketiga jenis barang tersebut, tambahan PPN sebesar 1 persen akan ditanggung oleh pemerintah (DTP), sehingga penyesuaian tarif PPN ini tidak mempengaruhi harga ketiga barang tersebut.
Selain itu, kenaikan tarif PPN dari 11perssn persen menjadi 12 persen tidak berdampak signifikan terhadap harga barang dan jasa. Jadi, kenaikan PPN 11 persen menjadi 12 persen hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen.
Kendati demikian, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan dikenakan juga Terhadap Uang eletronik dan dompet digital (ewallet).
Menurutnya Dwi Astuti, uang elektronik dan dompet digital (ewallet) dikenakan pajak jasa berdasarkan transaksi sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
"Yang menjadi dasar pengenaan pajaknya bukan nilai pengisian uang (top up), saldo (balance), atau nilai transaksi jual beli melainkan atas jasa layanan penggunaan uang elektronik atau dompet digital tersebut," jelas Dwi, belum lama ini.
Dwi juga menjelaskan jasa layanan uang elektronik dan dompet digital bukan merupakan objek pajak baru, melainkan telah berlaku 11 persen sejak diterapkan peraturan PPN tersebut.
"Jadi misalnya Zain mengisi ulang (top up) uang elektronik sebesar Rp1 juta Biaya top up misalnya Rp1.500 rupiah, maka PPN dihitung Rp165 rupiah. Dengan kenaikan PPN 12 persen, maka PPN dihitung menjadi Rp180 rupiah. Jadi, kenaikannya PPN sebesar 1 persen hanya Rp15 rupiah," ujarnya.
"Artinya, berapa pun nilai uang yang di-top up tidak akan mempengaruhi PPN terutang atas transaksi tersebut, karena PPN hanya dikenakan atas biaya jasa layanan untuk top up tersebut. Sehingga, sepanjang biaya jasa layanan tidak berubah, maka dasar pengenaan PPN juga tidak berubah," tambahnya.
Terkait transaksi pembayaran melalui Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) merupakan bagian dari Jasa Sistem Pembayaran, atas penyerahan jasa sistem pembayaran oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) kepada para merchant terutang PPN sesuai ketentuan PMK 69/PMK.03/2022 tentang Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyelenggaraan Teknologi Finansial.
"Artinya, penyelenggaraan jasa sistem pembayaran bukan merupakan objek pajak baru yang menjadi dasar pengenaan PPN adalah Merchant Discount Rate (MDR) yang dipungut oleh penyelenggara jasa dari pemilik merchant," jelas Dwi.