MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Penegakan hukum di Sulawesi Selatan, khususnya pada penuntaskan kasus korupsi sepajang 2024, masih jauh dari harapan. Kejaksaan dan Kepolisian belum menunjukan taringnya dalam menyeret para tersangka maupun terduga kasus rasuah. Alih-alih menuntaskan perkara, banyak malah kasus yang prosesnya mengkrak di tengah jalan.
Di Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, misalnya, hingga pengujung tahun ini, sedert perkara kakap masih mengendap di laci penyidik. Sebut saja dugaan korupsi penggunaan laba di bank milik pemerintah daerah.
Penggunaan dana yang dimaksud berupa pemberian tantiem kepada direksi dan dewan komisaris serta jasa produksi kepada Karyawan yang diduga tidak dada dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahun Buku 2018 dan Tahun Buku 2019. Terkait kasus ini, Kejati Sulsel telah memeriksa puluhan saksi.
Kasus kedua yakni dugaan penyimpangan dana pemeliharaan serta sarana dan prasarana di Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makassar tahun anggaran 2022-2023. Terkait kasus ini, tim jaksa sudah memeriksa 27 pejabat dari PT Angkasa Pura I dan Otoritas Bandara Sultan Hasanuddin.
Selanjutnya, kasus penggunaan anggaran rumah tangga pimpinan DPRD Kabupaten dan Kota di Sulsel. Kasus ini mulai diselidiki Kejati Sulsel, pasca terkuaknya dugaan penyimpangan anggaran rumah tangga pimpinan DPRD Kabupaten Bantaeng. Para pejabat dan mantan pejabat Sekretaris Dewan sejumlah kabupaten dan Kota di Sulsel, telah menjalani pemeriksaan.
Kasus lainnya adalah penyelidikan perkara dugaan korupsi paket pengadaan media pembelajaran Smart Board For Digital Learning Media Interaktif Flat 75 tahun 2024 serta pengadaan aplikasi pembelajaran Smart School tahun 2022-2023 pada Disdik Sulsel.
Sebelumnya, penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejati Sulsel telah memeriksa para pejabat, mantan pejabat, serta rekanan proyek smart board Dinas Pendidikan Sulsel. Pemeriksaan dilakukan sejak Agustus lalu. Ada 14 orang yang telah dipanggil penyidik. Surat pemanggilan Kejati Sulsel tersebut berdasar pada surat perintah penyelidikan Nomor: PRINT-383/P.4/Fd.2/08/2024 tanggal 12 Agustus 2024.
Di Kejaksaan Negeri Makassar ada kasus dugaan korupsi berupa penyelewengan dana hibah di Komite Olahraga Masyarakat Indonesia (KORMI) Makassar tahun 2023.
Untuk mengungkap kasus ini, penyelidik Tipikor Bidang Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Makassar diketahui telah memanggil belasan saksi. Saksi merupakan pengurus KORMI Makassar, termasuk Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga (Kadispora) Makassar, Andi Tenri Engka B Djemma.
Pemeriksaan ini dilakukan penyidik untuk mengumpulkan bahan dan keterangan terkait dugaan penyelewengan dana hibah di KORMI Makassar. Mengingat KORMI Makassar telah menerima dana hibah pada tahun 2023 lalu sebesar Rp2,5 miliar. Namun, ada dugaan sekitar Rp 1 miliar dana hibah tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Ada juga kasus dugaan korupsi proyek pengadaan toilet pintar (smart toilet) tahun anggaran 2018 dengan nilai Rp 19 miliar pada beberapa sekolah SDN dan SMPN di sejumlah kecamatan, Kota Makassar. Penanganan kasus ini untuk tingkat Kejari Makassar hingga saat ini belum ada kejelasan.
Meskipun Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) Pelabuhan Makassar telah mengungkapkan dan menetapkan beberapa orang sebagai tersangka dan dinilai orang yang bertanggungjawab dalam kasus tersebut.
Meski begitu, jaksa juga tetap mengusut kasus-kasus yang sebenarnya "minim" perhatian. Salag satunya kasus dugaan korupsi proyek pembangunan perpipaan air limbah Kota Makassar zona barat laut (Paket C) tahun 2020-2021 dengan nilai kontrak Rp 68.788.603.000 atau Rp 68,7 miliar. Jaksa telah menahan tiga terdangka dalam perkara ini.
Dua dari tiga tersangka itu yakni JRJ merupakan Direktur Cabang PT Karaga Indonusa Pratama atau PT KIP. Sedangka tersangka SD merupakan Pejabat Pembuat Komitmen atau PPK Paket C dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi proyek ini.
Pada awal hingga akhir tahun 2024, memang tak terdengar ada kasus korupsi baru yang diungkap dan menonjol dikarenakan masa itu memasuki tahun politik atau Pemilihan Umum (Pemilu) yakni Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) pada 14 Februari 2024. Kemudian Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024.
Di Polda Sulawesi Selatan, masih ada beberapa perkara yang pada tahun-tahun sebelumnya belum diselesaikan, sebut saja kasus dugaan korupsi pengadaan Kontainer Makassar Recover yang diusut penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sulsel.
Masih minimnya penuntasan kasus korupsi mendapat sorotan dari peneliti ACC Sulawesi, Anggareksa. Menurut dia, aparat penegak hukum baik kepolisian, kejaksaan, maupun hakim pada pengadilan tipikor dinilai masih lemah dan menilai kasus-kasus korupsi bukan sebagai prioritas utama. Sehingga penuntasan kasus korupsi masih sangat jauh dari harapan masyarakat.
"Aparat penegak hukum ini masih melihat isu korupsi bukan sebagai isu prioritas sehingga penuntasan masalah korupsi juga tidak maksimal," ungkap Angga saat diwawancara, Minggu (29/12/2024).
Penegakkan hukum terhadap koruptor dinilai masih lemah. Terlihat banyak protes di media sosial atas vonis Harvey Moeis yang hanya diganjar 6 tahun dan 6 bulan penjara. Padahal suami artis Sandra Dewi itu terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah dan merugikan negara Rp 300 triliun.
Putusan-putusan ringan pelaku korupsi itu dinilai melukai rasa keadilan. Terlebih jika dibandingkan kasus kejahatan umum lainnya seperti pencurian, perampokan dan lainnya yang melibatkan orang-orang kecil kerap diberikan hukuman yang sangat berat. Sementara dalam kesaksiannya mereka melakukan aksi kejahatannya karena terdesak kebutuhan hidup.
"Sekarang masih jauh dari harapan. Penuntasan kasus korupsi belum memberikan keadilan publik, putusan masih banyak bebas padahal kerugian negara banyak. Apalagi jika dibandingkan kejahatan lainnya seperti pencuri ayam itu sangat jauh," sebut dia.
Memasuki awal tahun 2025, Angga pemerintah bisa lebih tegas terhadap pelaku korupsi karena merugikan masyarakat banyak. Diapun menyoroti mengenai isu "memaafkan pelaku korupsi" jika mengembalikan uang kerugian negara.
Menurut dia, jika itu ditetapkan maka pelaku kejahatan korupsi akan semakin banyak. Terlebih korupsi ini melibatkan orang-orang yang memiliki akses terhadap kekuasaan sehingga sangat mudah kasusnya diselesaikan tanpa harus diberikan hukuman sehingga tidak ada efek jera.
"Harapannya ada efek jerah pada pelaku korupsi. Pengembalian keuangan negara kan harusnya di proses tapi faktanya ada banyak yang di hapuskan hukumnya. Jadi ada disparitas, padahal kan kasus korupsi itu banyak merugi orang. Kami semakin yakin koruptor ini semakin mendapat tempat spesial, padahal ini koruptor harusnya mendapatkan hukum berat. Kalau bisa dimiskinkan lewat TPPU di sita untuk negara, kan sekarang tidak. Meme-meme yang viral di media sosial saat ini sebenarnya itu bagian dari kekecewaan publik sehingga pengepakan hukum harus diperbaiki," imbuh Angga. (isak pasa'buan/C)