Oleh: Darussalam Syamsuddin
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Ketika menyongsong tahun baru, kita sering diperhadapkan dengan anggapan-anggapan tentang perjalanan waktu. Di saat tahun baru datang, ada orang yang menyambutnya dengan cara-cara tertentu. Ia menduga bahwa tahun baru akan memengaruhi nasibnya, baik atau buruk.
Akibatnya seiring dengan berjalannya waktu, sering diterima dengan penuh harapan dan kecemasan. Seseorang menyikapi perjalanan waktu antara satu dengan yang lain menyikapinya berbeda.
Mereka yang melakukan refleksi atau evaluasi diri dikategorikan sebagai orang yang beruntung, sementara mereka yang hanya berangan-angan dikatakan sebagai orang yang merugi.
Syaddad bin Aus meriwayatkan bahwa: “Orang yang beruntung adalah mereka yang mengevaluasi diri dan berbuat untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sementara orang yang merugi adalah mereka yang memperturutkan hawa-nafsunya dan berangan-angan kepada Allah”.
Agar tidak termasuk orang yang merugi, maka hal-hal apa saja yang harus dievaluasi dalam kehidupan ini? Pertama, sebagai umat beragama tentu mengevaluasi ibadah yang selama ini dilakukan. Jika manusia terdiri dari jasmani dan rohani, maka jasmani demikian pula halnya dengan rohani agar tetap dalam keadaan sehat.
Jasmani butuh makan, minum, olah raga, istirahat, rekreasi. Rohani pun demikian, butuh ibadah dan makanan rohani lainnya.
Kedua, perolehan rezeki. Ungkapan sebagian orang sekarang ini mengatakan yang haram saja susah apalagi yang halal, tidak boleh menjadi acuan dan harus dihindari. Tidak bergeser telapak kaki seorang hamba nanti di akhirat sebelum mempertanggungjawab lima hal: usia yang diberikan ke mana dihabiskan, masa muda digunakan untuk apa, ilmu diamalkan di mana, harta atau rezeki dari mana diperoleh, dan ke mana digunakan.
Ketiga, sosial keagamaan. Bagi semua umat beragama tidak boleh merasa telah sempurna keberagamaan mereka setelah beribadah ritual. Karena ibadah itu baru sebagian kecil dari ajaran agama.
Seorang muslim tidak boleh merasa puas, jika baru mengucapkan dua kalimat syahadat, salat, puasa, zakat, dan menunaikan ibadah haji. Islam meletakkan ajaran yang mengandung aspek kemasyarakatan lebih utama dari pada ibadah perorangan. Misalnya salat berjemaah lebih utama 27 derajat dari pada salat munfarid (seorang diri), demikian pula dengan salat Jumat, zakat, dan haji.
Al-Qur'an dan hadis memberi porsi tentang urusan sosial kemasyarakatan lebih besar dari pada ajaran yang bersifat ibadah ritual. Dalam Al-Qur'an ajaran tentang sosial kemasyarakatan satu berbanding seratus.
Kalau ada satu ayat tentang ibadah ritual, akan ada seratus ayat tentang sosial kemasyarakatan.
Misalnya, dalam QS. Al-Mukminun tentang orang mukmin yang beruntung. Dari ayat satu sampai ayat sembilan, hanya dua kali Allah menyebut ibadah ritual yakni salat dan zakat.
Selainnya berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Mereka yang memelihara diri dari perbuatan sia-sia, mereka yang melaksanakan janji amanah, mereka yang memelihara kehormatan, semuanya mengandung aspek sosial kemasyarakatan.
Kitab-kitab hadis pun demikian. Fathul Bary syarah Imam Al-Bukhari 20 juz. Hanya empat juz yang berkaitan dengan ibadah ritual. Selebihnya berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Sahih Muslim dua juz. Hanya sepertiga bagian pertama yang berkaitan dengan ibadah, selebihnya berkaitan dengan urusan muamalah.
Tetapi anehnya, umat Islam sekarang ini lebih memperhatikan urusan ibadah dari pada urusan muamalah. Kadang-kadang perbedaan kecil dalam urusan ibadah dibesar-besarkan, sehingga mempertajam perpecahan umat.
Hanya karena perbedaan bacaan di saat rukuk dipandang bukan sebagai saudara. Pandangan seperti ini bukan berarti mengecilkan masalah ibadah, melainkan ingin mendudukkan ajaran Islam pada proporsi yang sebenarnya. Semoga dengan perjalanan waktu yang semakin terasa singkat, kita semua tafakur melakukan muhasabah diri. (*)