Di masa depan, kata Taruna, penelitian di bidang resistensi antimikroba akan semakin difokuskan pada pendekatan inovatif. Terapi fago, terapi menggunakan bakteriofage yang dapat membunuh bakteri secara spesifik, menjadi salah satu alternatif yang menjanjikan.
Faktor antropogenik memainkan peran krusial dalam akselerasi resistensi antimikroba. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional di bidang kesehatan manusia, peternakan, dan pertanian telah menciptakan tekanan yang mendorong evolusi percepatan mikroorganisme.
“Pemberian antibiotik dalam dosis sub-terapi, praktik pengobatan mandiri, serta penggunaan antibiotik spektrum luas telah memberikan keuntungan selektif bagi mikroorganisme resisten untuk berkembang dan menggantikan populasi yang sensitif,” katanya.
Taruna menambahkan pengendalian yang dikembangkan akan segera direspons dengan mekanisme adaptasi baru, menciptakan perlombaan evolusioner yang berkelanjutan antara manusia dan mikroorganisme.
Ia mengatakan pentingnya memahami resistensi antimikroba tidak dapat dilebih-lebihkan. Ini bukan sekadar fenomena medis, melainkan tantangan multidisipliner yang memerlukan kerja sama lintas bidang dari mikrobiologi, kedokteran, farmakologi, hingga kebijakan kesehatan publik.
Setiap intervensi harus mempertimbangkan kompleksitas biologis, sosial, dan ekologis yang terlibat dalam proses ini.
Kesadaran global terhadap resistensi antimikroba terus meningkat. Organisasi internasional, pemerintah nasional, institusi penelitian, dan komunitas medis semakin memahami bahwa penanganan resistensi antimikroba memerlukan pendekatan komprehensif, proaktif, dan berkelanjutan.
Strategi yang efektif, kata dia, tidak hanya bergantung pada pengembangan antimikroba baru, tetapi juga pada manajemen penggunaan yang bijak, peningkatan praktik pencegahan infeksi, dan edukasi komprehensif.