Luar biasanya, karena PUU ini diajukan oleh empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Empat generasi emas bangsa dalam “Generasi Z’ atau “Gen Z”, istilah yang dipopulerkan oleh Bruce Horovitz, seorang jurnalis.
Pres T Sebagai Pembajakan Konstitusi
Diluar dalil permohonan dan pertimbangan MK, saya menambahkan jika Pres T selama ini adalah bentuk "pembajakan konstitusi” oleh segelintir elit parpol dan pengusaha dalam “rulling oligarchy” yang tidak ingin ‘kue’nya dibagi ke parpol lain. Dengan Pres T, mereka mengendalikan distribusi sumberdaya politik dan ekonomi hanya pada lingkaran mereka saja. Dengan demikian, sumbu kekuasaan tetap melingkar pada figur-figur tertentu saja yang sudah dipersiapkan oleh para oligarki itu. Terbukti dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 lalu.
Mereka tidak hanya membajak konstitusi, tapi juga ‘murtad’ konstitusi. Saya sebut murtad karena Pasal 6A UUD Tahu 1945 adalah pasal yang mewakili semangat reformasi, pasal yang diperjuangkan dalam perubahan ketiga UUD Tahun 1945. Mengingkari dengan menambahkan syarat lain (Pres T) dalam UU Pemilu adalah sikap murtad dari konstitusi.
Pasal 6A UUD Tahun 1945 menghendaki dibaca secara otentik, bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, tidak boleh ditafsirkan lain dengan menambahkan syarat dukungan partai. Itu murtad konstitusi namanya, dan parahnya, murtadnya berjamaah.
Bagaimana mungkin UU (Pemilu) merasa lebih tinggi, lebih jumawa dari UUD Tahun 1945? “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya”, dalam Pasal 222 UU Pemilu itu murtad konstitusi namanya.
Untunglah MK bangun dari ‘tidur panjang’nya. 36 PUU, plus PUU dalam putusan a quo mengingatkan MK akan kehilafan dan sesat nalarnya selama ini. Sebagai lembaga yang dijuluki “pengawal konstitusi” (the guardian of constitution), sudah sewajarnya MK menjaga marwah konstitusi, marwah daulat rakyat dan demokrasi, dengan keluar dari “barisan para pembajak konstitusi”.
Agar MK tidak terjerumus dari dosa konstitusi yang lebih besar apabila tetap keuh-keuh pada pendiriannya bahwa Pres T sebagai open legal policy pembentuk undang-undang (Pemilu).
Sebagai satu-satunya jabatan yang pemangku jabatannya disebut “negarawan” - bahkan Presiden pun tidak disyaratkan harus seorang negarawan - sudah sepantasnya putusan MK berciri negarawan pula. Sudah sepatutnya MK menghargai perjuangan masyarakat sipil yang tak kenal lelah terus menerus mengajukan PUU Pemilu menyangkut Pres T sebagai siasat melanggengkan kekuasaan politik., dan sudah sepantatnya MK meneguhkan dirinya sebagai pengawal dan penafsir tunggal konstitusi.
Mewaspadai Siasat DPR
Pasca Pres T dibatalkan dalam putusan a quo, hal yang perlu dikawal adalah memastikan DPR dan pemerintah patuh pada putusan MK. Sebagai putusan yang sifatnya erga omnes, final dan mengikat (binding), DPR dan pemerintah wajib merevisi UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dengan menghapus syarat Pres T.