Homo Sacer dalam Politik

  • Bagikan

Oleh: Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Homo sacer adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin yang berarti "orang suci" atau "orang terkutuk". Istilah ini merujuk pada seorang tokoh hukum Romawi yang dapat dibunuh oleh siapa saja, tetapi tidak boleh dikorbankan dalam ritual keagamaan.

Dalam filsafat politik, homo sacer merupakan figur politis yang dapat dibunuh kapan saja dan oleh siapa saja, tetapi si pembunuh tidak akan dihukum. Homo sacer berada di luar hukum ilahi dan hukum manusia, dan hidupnya menggantung di antara hidup politik dan hidup natural.

Giorgio Agamben menggunakan istilah homo sacer dalam bukunya Homo Sacer: Kekuasaan Tertinggi dan Kehidupan Telanjang (1998). Agamben memandang bahwa homo sacer merupakan figur yang diproduksi oleh kedaulatan melalui penetapan keadaan darurat.

Situasi pemunculan homo sacer ini disebut oleh Agamben sebagai kamp konsentrasi. Lawan kata dari homo sacer adalah homo magus, yang menggambarkan seseorang yang memiliki kekuatan untuk berbicara di luar ekonomi kedaulatan tubuh dan kehidupan.

Kalau homo sacer dipersepsikan dalam konstruk perilaku politik akhir-akhir ini, maka tidak salah kiranya kalau kemudian ada peran antagonisme dalam politik yang kian mewarnai jalan terjal demokrasi. Dan, begitu banyak kasus hukum yang kemudian dipermainkan oleh penegak hukum, misalnya, kasus impor beras Tom Lembong yang ditersangkakan sebelum adanya bukti yang kuat.

Prinsip dasar dalam hukum pidana justru tidak dipakai dalam penegakan hukum seperti “Incriminalibus probantiones bedent esse luce clariores” yakni dalam hukum pidana, bukti harus lebih terang dari cahaya.

Target meng-kriminalisasi Anies Baswedan sebagaimana ungkapan Hasto di podcast Akbar Faisal Underscored. Pembredelan pameran lukisan Yos Suprapto dalam tema kebangkitan pangan, hingga pada mentersangkakan Hasto Kristiyanto (Sekjen PDIP).

Sementara orang-orang yang di sekeliling Presiden Prabowo Subianto memiliki masalah hukum dan itu sudah pernah dipanggil KPK—situasi ini kemudian memunculkan berbagai spekulasi dan pertanyaan publik. Ada apa dengan penegak hukum? Tebang pilihkah? Atau memang sekadar menjadi alat pemukul lawan politik dan merangul kawan politik?

Hasto dan Kotak Pandora

Daya kritik Hasto setahun terakhir ini memang seperti membuka kotak pandora, mulai dari wacana tiga periode Jokowi yang kemudian ditolak oleh Megawati sebagai ketua umum PDIP yang tetap keukeuh terhadap amanat konstitusi.

Keberpihakan politik yang menyeberang dengan mendukung yang lain, dan tidak mendukung Ganjar Pranowo. Mengutak atik hukum demi dinasti politik, cawe-cawe di Pilkada serentak, menteri-menteri titipan (politik sandera), hingga disinyalir capim KPK yang diusulkan ke DPR mendapat persetujuan dari Jokowi. Sehingga persepsi publik secara politik begitu banyak kejanggalan dari perkara penegakan hukum—termasuk mentersangkakan Hasto Kristiyanto saat ini.

Sehingga perang terbuka antara Jokowi versus PDIP sulit untuk dihindari, bahkan menurut juru bicara PDIP Guntur Romli di salah satu diskusi di stasiun TV mengungkapkan kalau ada sekian banyak video yang telah disiapkan oleh Hasto terkait kasus-kasus hukum petinggi negara yang bakal akan dibongkar. Apakah ini sebuah ancaman atau serangan balik PDIP melalui Hasto? Perang Bharatayudha sepertinya sulit dihindari.

Langkah politik Jokowi pasca purnatugas justru mengalami turbulensi politik yang cukup kuat. Kemenangan Pramono Anung-Rano Karno di Pilgub DKI Jakarta menjadi tamparan keras buat Jokowi setelah secara vulgar memberikan dukungan kepada Ridwan Kamil-Suswono dengan dukungan KIM Plus. Tanpa disadari, Jokowi juga telah mempermalukan “Prabowo dan KIM Plus” di Pilgub DKI Jakarta.

Dan, akankah kotak pandora itu dibuka? Publik berharap di satu sisi proses hukum tetap jalan sebagai bagian dari amanat Reformasi 98 yakni penegakan supremasi hukum—dan di sisi yang lain publik juga menaruh harapan kalau PDIP tidak hanya mengancam dengan video dan berbagai dokumen yang ada. Agar publik akan tahu siapa yang menaruh “borok” di jalan politik yang serba terjal ini.

Dan, nampak politik homo sacer saling melucuti itu mencuat dipermukaan. Ada semacam anomali dalam proses penegakan hukum, sudah tersangka tapi belum ditahan, ada yang tidak ada bukti sama sekali dan tidak ditemukan adanya kerugian negara malah ditahan.

Pada akhirnya “saling menyandera kasus” pun sulit dihindari. Integritas penegak hukum pada akhirnya akan diuji kredibilitas, indepndensi, serta intgeritasnya sebagai lembaga pemberantasan korupsi—jangan tumpul ke kawan, tetapi tajam ke lawan.

Berharap dari Prabowo Subianto

Di tengah seteru politik antara Jokowi versus PDIP saat ini tentu begitu sangat menggangu ritme dan konstelasi roda pemerintahan Prabowo. Bahkan ada kesan menyalahkan Prabowo, padahal seteru itu adalah merupakan efek dari penghianatan Jokowi terhadap PDIP dan efek pemecatan Jokowi, Gibran, dan Bobby Nasution dari PDIP. Pemecatan itu tentu begitu mengganggu psikologi Jokowi apalagi dengan reputasi mantan presiden.

Kemarahan Jokowi tentu dilampiaskan lewat “kroni politiknya” yang dititip dipemerintahan Prabowo Subianto.
Kondisi ini pada dasarnya sedikit mengganggu konsentrasi pemerintahan Merah Putih di bawah komando Prabowo Subianto. Ibarat frase “amis yang ditinggalkan oleh Jokowi” Prabowo diharap untuk membersihkannya. Setidaknya Prabowo harus melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi—sehingga serangan-serangan tidak tertuju kepadanya.

Sebab beban pemerintahan Prabowo tidaklah sedikit—mulai IKN, utang yang menumpuk, kebocoran APBN, korupsi yang semakin meningkat, menurunnnya tingkat kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, angka kemiskinan dan berbagai fenomena sosial lainnya yang dalam 100 hari belum tentu kelar.

Sehingga Prabowo dituntut untuk mengendalikan pemerintahan ini tanpa bayangbayang dari pendahulunya. Dan membiarkan seteru politik itu berlangsung dan saling membuka agar terlihat siapa yang antagonis dan siapa yang protagonis dalam politik. (*)

  • Bagikan