Transaksi Suara Jadi Tantangan Besar Jika MK Mengabulkan PSU di Pilkada Sulsel

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL -- Sebanyak 11 gugatan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 yang diajukan oleh pasangan calon kepala daerah dari delapan kabupaten/kota di Sulawesi Selatan (Sulsel) dan pasangan calon Gubernur-Wakil Gubernur Sulsel saat ini masih dalam proses di Mahkamah Konstitusi (MK). Mayoritas gugatan tersebut meminta agar dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di daerah-daerah yang terlibat sengketa hasil Pilkada.

Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Rizal Fauzi, menyatakan bahwa tuntutan PSU dalam gugatan-gugatan ini sangat wajar dan memiliki peluang untuk dikabulkan oleh MK. Ia juga menjelaskan bahwa sengketa hasil pilkada ini berbeda dengan sengketa proses, di mana diskualifikasi calon lebih sulit untuk diterima oleh MK.

"Menurut saya, gugatan di MK kalau tuntutannya lebih pada pemungutan suara ulang (PSU) itu bagus dan wajar. Dan memang ada peluang untuk dikabulkan," ujar Rizal saat diwawancara, Jumat (10/1/2025).

Rizal juga menjelaskan bahwa dalam konteks PSU, peluang untuk merubah hasil Pilkada masih terbuka, tergantung dari selisih suara yang terjadi di masing-masing daerah. Utamanya jika merujuk pada daerah-daerah dengan selisih suara tipis yang berpotensi dipengaruhi oleh PSU, seperti hasil Pilkada Kabupaten Jeneponto.

"Kalau PSU itu ada peluang untuk dikabulkan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah PSU itu bisa mengubah hasil atau tidak. Kalau seperti Jeneponto, misalnya, itu kan hanya butuh sekitar 10 TPS, jadi ada peluang," lanjutnya,

Menurut Rizal, daerah seperti Palopo juga memiliki peluang serupa, mengingat selisih suara yang tidak terlalu jauh. Namun, di daerah lain seperti Bulukumba dan Makassar, peluang untuk merubah hasil melalui PSU lebih kecil.

"Termasuk juga di Palopo kalau tidak salah selisihnya itu tidak terlalu jauh, tapi kalau Bulukumba dan Makassar itu agak berat karena sangat jauh selisihnya," katanya.

Rizal menilai bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) memang sudah menyiapkan anggaran untuk pelaksanaan PSU, yang bisa menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi lebih lanjut dalam proses demokrasi.

"Di KPU itu memang ada anggaran untuk PSU dan saya pikir itu bagus. Dan kalaupun itu dikabulkan, itu setidaknya ada kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dan melihat bahwa hasilnya harus diakui secara berdaulat karena sudah melalui proses-proses itu," katanya.

Meski demikian, Rizal juga mengingatkan bahwa ada tantangan besar dalam pelaksanaan PSU, terutama terkait dengan antusiasme masyarakat yang cenderung menurun setelah hasil Pilkada sebelumnya diumumkan. Hal tersebut disampaikan menyoroti fenomena yang sering terjadi di beberapa daerah pasca pengumuman hasil pilkada.

"Tetapi juga perlu kita harus bawahi, biasanya euforia kemenangan itu membuat masyarakat jenuh. Di beberapa daerah itu orang tidak lagi antusias untuk mengikuti PSU," ungkapnya.

Lebih lanjut, Rizal juga mencatat bahwa dalam beberapa kasus PSU, adanya transaksi suara menjadi masalah yang cukup serius. Untuk itu, ia menekankan pentingnya pengawasan yang ketat agar praktik-praktik semacam ini tidak merusak proses demokrasi.

"Bahkan juga ada yang sangat transaksional, sampai membeli 1 sampai 2 juta per suara itu juga saya pikir kurang bagus dan bisa dijadikan pertimbangan dalam proses-proses PSU," ujar Rizal.

Menurut Rizal, meskipun peluang perubahan hasil Pilkada melalui PSU ada, faktor psikologi masyarakat juga sangat mempengaruhi. Euforia kemenangan dapat menciptakan ketidak antusiasan pada pemilih yang merasa puas dengan hasil yang sudah ditentukan.

"Merubah posisi ada kemungkinan? Menurut saya di beberapa tempat seperti Jeneponto dan Palopo ada peluang, karena di Jeneponto itu hanya selisih 1000an suara. Jadi ada peluang untuk diubah," katanya.

Namun, Rizal menegaskan bahwa tantangan utama adalah pengawasan yang ketat dalam proses PSU. Tanpa pengawasan yang memadai, potensi penyimpangan dan manipulasi suara, terutama yang bersifat transaksional, bisa merusak integritas PSU.

"Cuman yang harus kita garis bawahi bahwa euforia kemenangan itu juga mengikut ke psikologi masyarakat dan itu juga tantangan menurut saya. Tinggal memang apakah pengawasan di PSU itu bisa berjalan dengan baik itu jadi tantangan tersendiri," pungkasnya. (Isak/B)

  • Bagikan

Exit mobile version