Padahal, kata Pemohon, tidak ada satupun kesepakatan yang memerintahkan Termohon untuk mengubah status Trisal Tahir dari TMS menjadi MS dalam putusan Bawaslu Kota Palopo dimaksud. Karena itu, menurut Pemohon, berita acara KPU yang mengubah status Trisal Tahir dari TMS menjadi MS ialah cacat hukum dan tidak memiliki landasan hukum.
Selanjutnya, Bawaslu Palopo pada Oktober 2024, merekomendasikan kembali agar Trisal Tahir dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagaimana surat dan keterangan saksi yang pada pokoknya menyatakan ijazah Trisal Tahir tidak terdaftar di Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Dinas Pendidikan, dan Suku Dinas Pendidikan Wilayah II Kota Jakarta Utara. Namun hingga akhirnya, KPU Palopo tidak melaksanakan rekomendasi Bawaslu Palopo tersebut serta Trisal Tahir dan pasangannya tetap mengikuti kontestasi Pilwalkot Palopo.
Sementara untuk sengketa Pilwalkot Makassar, pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar Nomor Urut 3 Indira Yusuf Ismail-Ilham Ari Fauzi A Uskara mendalilkan pelanggaran secara terstruktur dan sistematis yang menyulitkan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pilwalkot Makassar.
Anomali ini ditandai dengan banyaknya pemilih dalam satu kartu keluarga (KK), tetapi memilih pada tempat pemungutan suara (TPS) yang berbeda-beda.
Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 218/PHPU.WAKO-XXIII/2025 dilaksanakan Panel 3 yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh pada Jumat (10/1/2025).
Pilwalkot Kota Makassar sendiri diikuti empat pasangan calon, yakni pasangan calon nomor urut 1 Munafri Arifuddin- Aliyah Mustika (319.112 suara), pasangan calon nomor urut 2 atas nama Andi Seto Gadhista Asapa- Rezki Mulfiati Lutfi (162.427 suara), pasangan calon nomor urut 3 Indira Yusuf Ismail-Ilham Fauzi Ari A Uskara (81.405 suara), dan pasangan calon nomor urut 4 Muhammad Amri Arsyid-Abd. Rahman Banda (20.247 suara).
Dalam pokok permohonannya, Pemohon menilai adanya dugaan pelanggaran dengan melibatkan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang terafiliasi pada pasangan calon tertentu.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar selaku Termohon yang diduga menghambat pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Salah satu yang didalilkan Pemohon adalah dugaan KPU Kota Makassar menyulitkan pemilih dan menguntungkan pasangan calon tertentu dengan menentukan TPS yang berjauhan dari alamat pemilih. Termasuk menempatkan pemilih dalam satu kartu keluarga (KK) di TPS yang berbeda-beda.
”Jadi satu KK, tapi TPS-nya berbeda-beda," ujar Kuasa Hukum Pemohon, Donal Fariz di Ruang Sidang Panel 3, Gedung I MK, Jakarta.
Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari kewenangan dan tugas KPU Kota Makassar yang berwenang, bertugas, dan memiliki akses informasi dalam menyusun serta menetapkan daftar pemilih hingga ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT).
KPU Kota Makassar yang menentukan TPS pemilih berjauhan dari alamat domisili, kata Kuasa Hukum, merupakan tindakan yang menyebabkan pemilih dihambat hak pilihnya, berpotensi kehilangan hak pilihnya, dan merugikan Pemohon. Ia mengacu pada Putusan Nomor 102/PUU-VIl/2009, yang pada pokoknya menyatakan bahwa sebagai hak konstitusional warga negara untuk memilih tidak boleh dihambat atau dihalangi.
Di samping itu, Pemohon dalam permohonannya juga menyoroti dugaan manipulasi kehadiran pemilih secara terstruktur dan sistematis melalui tanda tangan fiktif di Daftar Hadir Pemilih Tetap (DHPT). Manipulasi dilakukan dengan hadirnya "pemilih siluman" yang memberikan tanda tangan palsu di DHPT.
Setidaknya, Pemohon melakukan pembandingan tanda tangan KTP dan DHPT di 32 kelurahan dan 15 kecamatan. Dugaan pemalsuan tanda tangan ini dapat teridentifikasi dari empat hal, yakni perbedaan tanda tangan pemilih antara KTP dengan DHPT; pengakuan dari petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan suara yang menyatakan bahwa KPPS sendiri yang menandatangani seluruh DHPT; pengakuan dari pemilih yang hadir di TPS, tetapi tidak diminta menandatangani DHPT; dan tanda tangan yang secara kasat mata identik pada dua nama orang atau lebih yang tercantum dalam satu DHPT.
“Pola dugaan pemalsuan tanda tangan pada formulir daftar hadir ini tidaklah terjadi secara sporadik, melainkan terjadi dengan persebaran yang masif, konsisten, dan merata di 308 TPS di 153 kelurahan dan 15 kecamatan di Kota Makassar,” ujar Donal.