MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan beralasan, tunggakan pembayaran dana bagi hasil (DBH) ke kabupaten dan kota dipicu oleh beban keuangan daerah pada 2024 sangat berat.
Tak ada pilihan bagi Pemprov Sulsel selain mengorbankan sejumlah item penganggaran untuk "menyelamatkan" agenda keuangan yang lebih penting dan mendesak. Salah satu kegiatan yang menguras dana daerah adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah serentak, 27 November 2024.
Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Sulawesi Selatan, Salehuddin blak-blakan mengenai kendala utama sehingga dana bagi hasil 2024 hingga saat ini belum disalurkan kepada kabupaten dan kota. Pemicunya, kata dia, transfer DBH tersebut ditunda tahun lalu karena terbatasnya anggaran di Pemprov Sulsel.
"Kami harus memilih mengutamakan beberapa program yang butuh dana besar sehingga pembayaran DBH terpaksa kami tunda," ujar Salehuddin di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Selatan, Senin (13/1/2025).
Menurut dia, pada tahun 2024, beban keuangan sangat pelik karena alokasi anggaran untuk pemilihan kepala daerah serentak menelan Rp 680 miliar. Selain itu, masih terdapat utang-utang kepada pihak ketiga yang merupakan tunggakan 2023 yang menyeberang ke 2024 sebesar Rp Rp 679 miliar.
Salehuddin mengatakan, pihaknya sangat sadar ada anggaran DBH yang harus juga dipenuhi. Namun, kata dia, pihaknya harus memilih satu dari tiga hal tersebut untuk menunda pembayarannya lebih dahulu.
"Jadi pilihan harus korbankan satu. Apakah pilkada yang korbankan, pembayaran pihak ketiga atau DBH. Akhirnya kami putuskan menunda pembayaran DBH," beber Salehuddin.
"Ini pilihan. Setelah kami berunding dengan TAPD dan Penjabat Gubernur, pilihannya jatuh kepada DBH yang tunda dulu," sambung dia.
Pilihan yang dilema tersebut, kata Salehuddin, harus dihadapi. Toh, kata dia, keputusan menunda transfer DBH itu tidak serta merta dilakukan.
"Kami melakukan perencanaan yang matang untuk prioritas nanti pada penganggaran selanjutnya," tutur dia.
Salehuddin menjelaskan, persoalan DHB sebenarnya sudah dimulai pada 2023 yang saat itu selama tiga bulan tidak sempat dibayarkan yakni Oktober, November, dan Desember. Itu sebabnya, pada anggaran 2024, baru dibayarkan untuk tiga bulan tersebut.
"Jadi Oktober, November, Desember 2023 kami bayarkan di tahun berikutnya," beber dia.
Pada 2024, seluruh kabupaten dan kota telah dilunasi hingga bulan Mei. Adapun pada Juni, hanya empat daerah yang lunas karena anggarannya hanya cukup untuk daerah tersebut yakni Takalar, Pinrang, Sidrap, dan Luwu Utara.
Salehuddin mengatakan, pada APBD 2025, pihaknya telah mengalokasikan anggaran sebesar rp 1,9 triliun untuk membayar DBH tahun 2024 dan tahun ini.
"Kami sudah siapakan pembayaran semua di APBD 2025. Total utang DBH Rp1,9 triliun anggaran tahun ini dan anggaran kurang salur tahun sebelumnya, 2024. Tahun ini diharapkan rampung," imbuh dia.
Sementara itu, dalam rapat dengar pendapat bersama dengan Komisi C DPRD Sulsel, terungkap bahwa tunggakan utang DBH 2024 mencapai Rp 972 miliar.
Wakil Ketua Komisi C DPRD Sulsel Fadel Muhammad Tauphan Ansar merasa miris melihat utang DBH kepada kabupaten/kota.
"Saya juga agak miris melihat angkanya sampai Rp 972 miliar," kata Fadel.
Menurut dia, Pemprov Sulsel harus secepatnya mencari solusi agar utang DBH cepat terselesaikan. Apalagi, kata dia, hal itu menjadi beban juga dari aspirasi Dapil Makassar.
Ia menjelaskan, saat ini, Pemprov Sulsel baru membayar utang DBH kepada empat daerah, yakni, Takalar, Pinrang, Sidrap dan Luwu Utara. Sementara 20 daerah lainnya, rencana dibayarkan tahun ini.
"Ini jadi beban, apalagi aspirasi di dapil kami, juga daerah lain. Ini terjadinya tunggakan DBH lantaran Pemprov Sulsel mengalihkan anggaran untuk pelaksanaan Pilkada Serentak 2024," ujar dia.
Menurut Fadel, permasalahan DBH tahun 2024, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan fokus di Pilkada, jadi prioritaskan Pilkada. Sehingga pembayaran untuk DBH ditunda sementara, dan menyebrang ke anggaran tahun 2025.
"Harus digenjot utang-utang dana bagi hasil ini harus terselesaikan dengan cepat, karena kasihan kabupaten/kota selalu mengeluhkan terkait hal tersebut," imbuh dia.
Ketua Komisi C, Andre Prasetyo Tanta menyebutkan bahwa pembahasan soal DBH sangat penting, apalagi hampir semua kabupaten/kota menyampaikan keluhan pembayaran yang tidak tepat waktu.
"Soal RDP DBH ini sangat penting, kita kumpul disini agar mencari solusi di komisi C, pihak BPKAD Pemprov dapat penjelasan kendala DBH belum dapat dibagikan," kata Andre.
Menurut dia, dari keterangan BPKAD Pemprov kurang lebih dana yang belum dibayarkan ini dari Juli sampai Desember 2024, dan Juni di luar empat kabupaten yang sudah lunas.
"Jadi, sesuai keterangan BPKAD, DBH bulan Juni ada empat kabupaten yang sudah dibayarkan yakni Takalar, Pinrang, Sidrap dan Lutra. Sisanya yang lain belum terbayarkan," tutur dia.
Anggota Komisi C lainnya, Andi Syafiuddin Patahuddin mengatakan, Pemprov harus melunasi utang DBH karena itu adalah hak kabupaten/kota. Menurut dia, tidak ada alasan lain untuk menunda pembayaran DBH.
"Berbagai alasan bahwa anggaran sebelumnya dialihkan ke pilkada, bahkan DBH belum terbayarkan akan dibayar APBD 2025. Ini alasan saja. Setiap pembahasan APBD tahun berjalan itu ada perencanaan dan belanja. DBH itu hak daerah yang berlarut-larut," tukas Syafiuddin.
Diamenilai, salah satu yang menjadi perhatian adalah dengan adanya opsen bahwa pemerintah daerah dapat menyesuaikan tarif pajak sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan daerah masing-masing, sehingga DBH juga akan disesuaikan.
Sebagai contoh, kata dia, pemerintah kabupaten/kota di Sulsel kini bisa mendapatkan langsung BDH dari pajak kendaraan bermotor. Tahun 2025, penyaluran DBH langsung masuk ke kas daerah tanpa harus menunggu lagi tutup tahun.
"DBH ini di tahun 2025 sudah dialokasikan sesuai dengan perbandingan mekanisme Opsen. Karena perbandingan Opsen ini pasti akan ada peningkatan nilai di Opsen tersebut. Sehingga perlu diketahui bahwa jangan sampai dianggarkan 16 bulan untuk di tahun 2025. Tapi karena mekanisme Opsen ini berjalan, ternyata jadinya hanya sampai di 15 atau 14 bulan," imbuh dia.
"Nah, tahun 2025 juga begitu, termasuk rencana pembayaran 2025, jadi kami di Komisi C ini punya data, kita nanti bicara berbasis data," sambung Syafiuddin.
Dia juga mengatakan, penjelasan dari BPKAD soal utang DBH belum terbayarkan tidak detail, karena alasan pihak Pemprov tidak dibayarkannya DBH terkait dengan utang pihak ketiga, dan dialihkan ke anggaran pemilu, sangat tidak rasional.
"Mengenai utang pihak ketiga, saya jadi bingung kok ada utang pihak ketiga pak, sementara menurut saya pihak ketiga ini kan program yang sudah dijalankan di APBD sebelumnya. Jika APBD berjalan, kok, bisa jadi utang? Berarti ada program yang berubah, ditambah atau di mana? Termasuk nilainya," tanya dia.
"Menurut analisa saya, kalau ada utang, berarti ada proyek yang di luar anggaran. Karena semuanya sudah dianggarkan. Selanjutnya ada program yang tidak masuk di perencanaan atau ada tambahan program. Sebenarnya mungkin dari sisi pendapatan yang dikurangi sehingga modal kurang untuk membayarkan hal tersebut," sambung Syafiuddin.
Mengenai anggaran Pilkada 2024, kata dia, sudah dijalankan oleh lembaga terkait dan pusat. Begitu juga, pada tahun 2023 harus dijalankan. Ada alokasi 40 persen atau 60 persen. Sebanyak 40 persen di tahun 2024 itu harus diberikan sehingga alasan Pemprov menunda pembayaran DBH tidak masuk akal.
"Menurut saya, anggaran Pilkada itu bukan program yang serta-merta baru dicatatkan. Itu sudah menjadi kewajiban daerah di tahun sebelumnya. Tahun 2023 itu sudah harus ada dana untuk pemilu sebanyak 40 persen. Pada tahun 2024, eksekutif sudah harus mengalokasikan dana 60 persen," terang dia.
Sekretaris Komisi C DPRD Sulsel, Salman Alfariz Karsa Sukardi berharap, anggaran Rp1,9 triliun untuk bayar DBH tidak dialihkan lagi.
"APBD 2025 yang sudah disetujui 1,9 triliun untuk DBH, saya berharap tidak lagi dialihkan," imbuh dia.
Adapun, pengamat pemerintahan dan kebijakan publik dari Universitas Hasanuddin, Profesor Aminuddin Ilmar mengatakan DBH merupakan kewajiban Pemprov Sulsel kepada kabupaten dan kota.
"Itu DBH kewajiban sebenarnya. Tapi mekanismenya ada, itu yang dijadikan sebagai belanja untuk membiayai program," kata Ilmar.
Ilmar mengungkapkan, DBH yang belum dilunasi oleh pihak Pemprov tentu berefek domino dan berimbas ke serapan anggaran di 24 kabupaten/kota. Sehingga, kata dia, Pemprov Sulsel sudah seharusnya secara transparan membuka kendala mandeknya pembayaran DBH tersebut dan tidak menunda pelunasannya.
"Dan itu bagian dari pendapatan. Jadi kalau tidak dijalankan maka akan berpengaruh terhadap belanja program. Mestinya dibayarkan secepatnya. Kenapa Pemprov tidak melakukan, sedangkan di program kegiatan sudah jelas," imbuh Ilmar.
"Kalau DBH sudah jelas mestinya tidak boleh ditahan, harus disalurkan. Pemprov harus terbuka apa kendalanya," sambung dia. (suryadi/C)