MK Sentil Pemilih “Siluman”

  • Bagikan

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Gugatan pasangan Danny Pomanto-Azhar Arsyad mengenai pemilih "siluman" yang ditandai dengan dugaan tanda tangan palsu pemilih menjadi sorotan hakim Mahkamah Konstitusi pada sidang lanjutan sengketa Pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan.

Hakim mempertanyakan banyaknya pemilih yang datang secara rombongan dan bersamaan, namun dominan tak meneken daftar hadir. Fakta sidang ini membuat kubu Danny-Azhar makin percaya diri persidangan akan lanjut pada pemeriksaan perkara.

Sidang perkara 257/PHPU.GUB-XXIII/2025, digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin(20/1/2025). Agenda sidang ini yakni mendengar jawaban dari termohon yaitu KPU Sulawesi Selatan.

Kuasa hukum KPU Sulsel, Hifdzil Alim menyampaikan bantahan atas tuduhan yang didalilkan dalam pemohon tim hukum Danny-Azhar pada petitum pekan lalu. Menurut dia, pemohon mengajukan gugatan yang tidak jelas pokok perkara.

"Dalam petitum pemohon, tidak menyampaikan berapa persen selisih suara dan juga tidak jelas mengenai alasan pembatalan penetapan calon terpilih yang telah dilakukan oleh KPU," kata Hifdzil Alim yang didampingi anggota KPU Sulsel, Ahmad Adiwijaya. Sidang ini disiarkan secara live streaming melalui kanal Youtube MK.

Hifdzil mengatakan, pemohon mendalilkan anomali suara tidak sah terjadi di Kota Makassar. Namun, kata dia, tidak terdapat hal yang terjadi sesuai tuduhan tersebut.

"Karena tidak ada rekomendasi dari Bawaslu terhadap dalil pemohon soal surat suara tidak sah," imbuh dia.

Hifdzil juga mengatakan, dalil pemohon terkait manipulasi daftar pemilih di TPS saat pencoblosan, dinilai hjal tersebut tidak benar karena KPU tidak pernah melakukan manipulasi daftar hadir dalam bentuk apapun.

"Salah satu TPS di Kecamatan Tallo Kota Makassar, banyak pemilih ke TPS sehingga terjadi demikian. Tidak benar soal manipulasi data di 32 kelurahan dan 15 kecamatan," ujar dia.

Ketua majelis sidang panel II, Profesor Saldi Isra, mempertanyakan banyaknya pemilih yang tidak tanda tangan dalam daftar hadir Pilgub Sulsel. Saldi juga mempertanyakan membludaknya pemilih secara bersamaan ke TPS.
Namun, Hifdzil mengatakan, menduga para pemilih ingin segera berlibur, sehingga datang bersamaan di satu waktu.

"Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan kepada KPPS di TPS Bodoa yang dimaksud tersebut TPS 13 itu memang banyak sekali para pemilih yang hadir secara bersamaan, karena waktu itu yang dipilih adalah ingin memilih pagi karena setelah memilih mereka langsung bekerja," jawab Hifdzil.

"Bekerja? Kan hari libur pak? Kan hari libur diliburkan saat pemungutan suara," tanya Saldi.

"Tapi ini kebetulan datang, pada waktu yang bersamaan gitu ya? Karena mungkin mau libur dan sebagainya?" lanjut Saldi.

"Membludak itu apakah melebihi dari jumlah DPT (Daftar Pemilih Tetap) atau tidak?" sambung Saldi.

"Tidak Yang Mulia," jawab Hifdzil.

Saldi bertanya-tanya alasan para pemilih itu tidak menandatangani daftar hadir. Sebab, kata Saldi, banyak pemilih tidak menandatangani daftar hadir merupakan hal aneh. Menurut dia, Kota Makassar bukan kota yang tingkat pendidikannya lebih rendah dari kota lain di Sulawesi Selatan, sama kayak Padang kalau di Sumatera Barat.

Menurut dia, pihak KPU Sulsel seharusnya memberikan penjelasan yang rasional mengapa banyak orang yang datang memilih tapi tidak tanda tangan.

"Apa yang bisa dijelaskan oleh KPU sebagai pemain utama, coba jelaskan. Kalau satu dua lupa itu masuk akal, tapi kalau puluhan orang tidak tanda tangan dalam satu TPS itu pertanyaan besar?" tutur Saldi.

Anggota KPU Ahmad Adiwijaya, menuturkan sejumlah TPS memang terjadi penumpukan di satu waktu.

"Jawaban yang kami buat faktanya terjadi di beberapa TPS, ada penumpukan pemilih yang datang secara bersamaan di waktu tertentu," kata Ahmad.

Saldi lantas menimpali bahwa, orang yang menumpuk datang ke TPS tidak secara langsung ke bilik suara tapi bergiliran.

"Apa rasionalisasinya orang bisa sebanyak itu tapi tidak tanda tangan?" tanya Saldi.

Saldi pun menanyakan hal yang sama kepada Bawaslu. Namun, Ketua Bawaslu Sulsel, Mardiana Rusli malah menjelaskan penyebab suara tidak sah. Saldi mengatakan, hal yang ditanya berbeda dengan jawaban yang didapatkan dari Bawaslu Sulsel.

"Ini yang saya tanyakan ada orang datang mencoblos tidak tanda tangan dan jumlahnya banyak dan itu sebagiannya di Kota Makassar apa yang bisa ibu jelaskan sebagai pengawas?" timpal Saldi.

Mardiana mengatakan terdapat alasan beragam dari kasus tersebut. Di beberapa TPS sebenarnya variatif kasusnya misalnya ada TPS yang terjadi pemilih datang kemudian mencatatkan dalam daftar hadir. Tetapi dia kembali lagi sehingga pada saat selesai pemungutan suara itu tidak menggunakan hak pilihnya.

"Jadi, rata-rata kami temukan informasi adanya perlakuan pengawas KPPS yang tidak memberikan ruang kepada pemilih jika dia tidak membawa C pemberitahuan meski membawa KTP elektronik," ujar Mardiana.

Meski telah dijelaskan oleh Bawaslu Sulsel, namun Saldi tetap tidak puas. "Kalau satu atau dua orang tidak tanda tangan mungkin lupa, tapi kalau segerombolan orang tidak tanda tangan, siapa yang bisa menjelaskan ini?" ujar Saldi.

Atas sejumlah fakta yang terungkap di persidangan, juru bicara Danny-Azhar, Asri Tadda, mengatakan termohon (KPU-Bawaslu Sulsel begitu sulit menjelaskan soal fakta pemilih tak bertanda tangan atau tanda tangan pemilih yang dipalsukan.

Untuk diketahui, salah satu gugatan utama palson DIA ke Mahkamah Konstitusi adalah perihal dugaan tanda tangan palsu yang tersebar merata di setiap TPS se-Sulawesi Selatan. Adanya tanda tangan pemilih yang palsu atau dipalsukan diduga terjadi dengan cara membatasi partisipasi pemilih hadir ke TPS melalui berbagai cara, termasuk dengan tidak mengedarkan seluruh undangan memilih kepada para wajib pilih.

"Nah, para pemilih yang tidak hadir ke TPS, gunakan hak pilihnya oleh oknum KPPS untuk mencoblos paslon tertentu dan membubuhkan tanda tangan palsu atas nama pemilih tersebut. Ini terjadi secara terstruktur dan masif," kata Asri.

Asri menjelaskan bahwa tim Danny-Azhar menemukan tanda tangan palsu yang jumlahnya mencapai 90 hingga 130 di setiap TPS se-Sulawesi Selatan.

"Kalau direratakan, kami dapatkan sekitar 110 tandatangan palsu per TPS dari jumlah 14.548 TPS yang tersebar di Sulsel. Dengan demikian maka terdapat 1.600.280 tanda tangan palsu," ucap dia.

"Angka 1.600.280 tanda tangan palsu itu, kami sebutkan sebagai suara siluman. Dugaan tersebut dapat kami perlihatkan di hadapan majelis hakim mahkamah konstitusi nantinya," imbuh Asri.

Asri mengatakan, dugaan kecurangan yang sifatnya terstruktur, sistematis dan masif (TSM) pada Pilgub Sulsel 27 November 2024 lalu, dapat dilihat dari dua pendekatan.

"Pertama adalah pendekatan selisih partisipasi pemilih, dan kedua dilihat dari temuan tanda tangan palsu di daftar pemilih di seluruh TPS se-Sulsel," jelas Asri.

Dari pendekatan selisih partisipasi pemilih, didapatkan fakta bahwa jumlah warga yang menerima undangan memilih rata-rata hanya 50% dari Daftar Pemilih Tetap (DPT).

"Hal ini sejalan pernyataan KPU Sulsel pada headline Koran Fajar terbit tanggal 4 Desember 2024," ungkap Asri.
Fakta lainnya adalah, total pemilih yang mendapatkan undangan tetapi kemudian tidak datang ke TPS karena persoalan jarak.

"Kami temukan rata-rata ada 9 orang per TPS yang tidak datang mencoblos karena persoalan jarak. Jadi itu sekitar 1,96% dari total DPT," beber dia.

Dari kedua fakta ini, terlihat bahwa total realisasi pemilih di Pilgub Sulsel adalah 100% - 50% - 1,96% = 48,04%. Sementara hasil rekap akhir KPU Sulsel disebutkan partisipasi pemilih mencapai 71,8%.

"Jika angka partisipasi versi KPU Sulsel ini dikurangi dengan realisasi pemilih temuan kami, maka ada 23,76% suara tak bertuan, atau sekitar 1.587.360 suara dari total 6.680.807 DPT di Sulsel," jelas Asri.

Pendekatan kedua, lanjut Asri adalah dari dugaan tanda tangan palsu. Tim Hukum DIA menemukan sekitar 90 hingga 130 tanda tangan yang diduga palsu di setiap TPS se-Sulawesi Selatan.

"Nah, kalau dirata-ratakan, maka ada sekitar 110 tanda tangan palsu di setiap TPS. Jumlah TPS di Sulsel ada 14.548, artinya ada sekitar 1.600.280 tanda tangan palsu pada Pilgub lalu," imbuhnya.

Kedua pendekatan ini memberikan hasil yang tidak jauh berbeda, dimana pada pendekatan selisih jumlah partisipasi pemilih sebanyak 1.587.360, sedangkan dari dugaan tanda tangan palsu mencapai 1.600.280.
Asri optimis gugatan DIA di Mahkamah Konstitusi akan berlanjut ke sidang pokok perkara dan petitum yang dilayangkan kuasa hukum DIA akan diterima oleh majelis hakim. (suryadi/C)

  • Bagikan