MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Jawaban-jawaban komisioner KPU Sulsel dan Bawaslu Sulsel yang terkesan tidak terlalu rasional atau tak masuk akal dalam menghadapi gugatan pasangan calon gubernur Sulsel, Mohammad Ramdhan Pomanto-Azhar Arsyad (DIA) di Mahkamah Konstitusi (MK) bisa menjadi titik balik untuk penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 di Sulsel, utamanya hasil Pilgub.
Sebagaimana diketahui, dalam sidang lanjutan Perselisihan Hasil Pemilu atau Pilgub (PHP) Sulsel 2024, dengan nomor perkara 257/PHPU.GUB-XXIII/2025, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (20/1/2025) kemarin, sempat diwarnai ketegangan. Di mana komisioner Bawaslu dan KPU Sulsel yang hadir nampak kebingungan menjawab pertanyaan-pertanyaan Hakim MK, Saldi Isra.
Terutama saat Saldi Isra menanyakan mengenai adanya dugaan pemilih yang membludak di sejumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Kota Makassar pada saat hari pencoblosan Pilkada Serentak 2024 berlangsung. Pihak KPU Sulsel berdalih jika saat itu banyak masyarakat yang datang secara bersamaan untuk menyalurkan hak suaranya karena ingin lanjut bekerja di siang harinya.
Hanya saja, alasan tersebut terkesan tidak masuk akal dan kurang rasional mengingat saat hari pemilihan, 27 November 2024, pemerintah Indonesia menetapkan sebagai hari libur nasional. Begitu juga saat komisioner Bawaslu Sulsel yang dimintai penjelasan terkait pengawasan mereka akan masalah tersebut sempat terlihat kesulitan untuk memberikan argumen yang rasional.
Lemahnya penjelasan KPU dan Bawaslu Sulsel itu dinilai bisa jadi poin gugatan DIA dikabulkan oleh Hakim MK.
"Saya rasa dalam konteks persidangan seperti itu, apapun yang kemudian diucapkan, keterangan-keterangan atau jawaban-jawaban yang diucapkan itu menjadi bukti peradilan dan itu akan menjadi petikan hakim dalam membuat keputusan," ujar pengamat politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Andi Ali Armunanto saat dikonfirmasi, Selasa (21/1/2025).
"Tentu dengan jawaban yang menimbulkan pertanyaan kembali, menimbulkan keragu-raguan, tentu itu akan memberikan ketidak yakinkan pada hakim dan memposisikan KPU dan Bawaslu sebagai pihak yang tergugat dalam posisi yang tidak menguntungkan. Itu akan berpengaruh pada hasil akhir sidang atau keputusan yang nantinya akan dibacakan oleh hakim," sambungnya.
Menurut Ali, argumentasi yang disampaikan oleh tergugat dalam ruang sidang akan turut berkonstribusi dalam putusan Hakim MK nantinya. Sebagaimana diketahui, kata dia, pertanyaan-pertanyaan hakim dalam ruang sidang adalah salah satu strategi untuk menggali informasi yang akurat dalam membuat atau mengambil keputusan.
Sehingga keragu-raguan dalam memberikan jawaban atas gugatan yang ada disebut bisa menjadi bumerang untuk tergugat.
"Saya rasa memang jawaban-jawaban seperti itu bisa berkontribusi terhadap ketetapan-ketetapan akhir yang diputuskan oleh hakim karena itukan fakta-fakta persidangan. Sementara keputusan hakim itu selalu didasarkan pada fakta-fakta persidangan. Saya tidak terlalu paham karena saya bukan ahli hukum tapi politik, tapi saya rasa itu akan menjadi pertimbangan hakim, karena yang dilakukan hakim di persidangan kan adalah mengumpulkan informasi yang sedetail mungkin untuk membatunya dalam mengambil keputusan yang tepat," terang Ali.
Ali juga menjelaskan, pertanyaan-pertanyaan inti dari masalah yang dibahas di pengadilan jika tidak bisa dirasionalkan dengan baik oleh KPU Sulsel dan Bawaslu Sulsel akan berdampak negatif pada mereka. Sebab untuk meyakinkan hakim perlu argumen yang jelas dan disertai bukti-bukti kuat.
"Ini bisa jadi justru menjadi poin positif pada gugatan yang diajukan oleh penggugat," ujarnya.
Saat ditanyakan apakah pernyataan-pernyataan tersebut bisa dijadikan pertimbangan dalam menyatakan proses Pilgub Sulsel memang terjadi tindakan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM), menurut Ali, butuh syarat banyak agar suatu perkara PHP dinyatakan TSM.
Hanya saja, menurut dia, tidak ada yang mustahil meskipun sepanjang sejarah peradilan PHP di Indonesia belum ada yang dinyatakan TSM. Apalagi jika penggugat dalam hal ini kuasa hukum Danny-Azhar mampu menyajikan bukti-bukti yang kuat di meja persidangan maka bisa saja dinyatakan TSM.
"Kalau untuk TSM itukan ada syarat-syaratnya. Termasuk misalnya presentase kasus, besaran dan eskalasi kejadian itukan ada ukurannya semua untuk dinyatakan sebagai TSM. Tapi kalau penggugat mampu membuktikan bahwa ini sudah memenuhi syarat untuk dikatakan terstruktur, sistematis dan masif, maka tentu hakim akan mempertimbangkan hal itu dalam keputusannya," ucap Ali.
Meski begitu, Ali mengatakan, tentunya akan ada opsi lainnya untuk hakim dalam memberikan putusan terutama membludaknya pemilih tersebut. Salah satunya, kata dia, adalah dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU) sebagaimana yang dilakukan selama ini berdasarkan hasil putusan Hakim MK.
"Bisa jadi kalau tidak mampu dibuktikan, artinya itu kecurangan-kecurangan yang terjadi secara parsial dan itu yang kemudian umumnya diputuskan oleh hakim karena tidak terbukti TSM tapi terbukti secara parsial, makanya banyak dilakukan penghitungan ulang atau pemungutan suara ulang (PSU). Karena sampai saat ini belum ada yang terbukti TSM (di sidang MK)," pungkasnya. (isak pasa'buan/B)