Menulis di Era Kebisingan Digital dan AI

  • Bagikan

Oleh: Babra Kamal

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Di sela-sela wawancara Andy F. Noya, host acara Kick Andy dengan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Profesor Stella Christie bertanya kepada sang host, kurang lebih seperti ini, “Bang Andy tahu tidak hanya ada satu kelas yang diwajibkan untuk seluruh mahasiswa semester satu di Harvard University?”

Sang Host tak langsung menjawab dan lebih memilih diam. Pertanyaan itu lalu dijawab sendiri oleh Bu Wamen, “Orang mungkin tebak matematika, bukan, tapi kelas menulis Bang Andy.” Lalu Andy F Noya menimpali “apa pentingnya menulis?
"Karena menulis adalah berpikir," pungkas Stella.

Begitu petingnya menulis sehingga salah satu kampus terkemuka di dunia mengharuskan mahasiswanya untuk lulus di satu kelas itu. Jacques Barzun memang mengatakan bahwa menulis adalah kegiatan intelektual. Ia dimulai dari pemikiran. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, penulis harus menawarkan isu-isu intelektual. Maka, kita selalu akan mendengar saran bacalah sebanyak mungkin, setiap penulis yang baik selalu bermula dari pembaca yang lahap.

Menurut AS Laksana, menulis adalah kegiatan linguistik. Ia membutuhkan kecakapan verbal, seperti halnya bercakap-cakap lisan, tetapi menulis berbeda dari bercakap-cakap.

Kecakapan berbahasa tulis sulit dikuasai, sementara berkomunikasi lisan lebih mudah: Kita mendapatkan kemampuan berkomunikasi lisan secara alami melalui pergaulan sehari-hari. Menulis tidak seperti itu. Ia bukan kecakapan yang kita dapatkan secara alami; kita harus belajar untuk mendapatkan pengetahuannya dan melatih diri untuk mendapatkan keterampilannya.

Dahulu media sosial berbasis teks seperti, blog, Facebook, Twitter memungkinkan penggunanya belajar menulis-bahkan Facebook menawarkan layanan untuk menuangkan apa yang sedang kita pikirkan yang disebut status. Namun saat ini media sosial telah berubah menjadi semacam kebisingan video-video pendek-trend media sosial berubah dari berbasis teks menjadi berbasis audiovisual seperti Instagram dan Tiktok.

Tantangannya kini bukan hanya kebisingan media sosial, tetapi juga keberadaan AI yang mampu menulis layaknya manusia. Pertanyaannya kemudian: Jika mesin bisa menulis sebaik manusia, apa yang membuat tulisan kita tetap bernilai?

Brain Rot

Banjirnya informasi yang mendatangi kita membuat kita kewalahan memilih mana informasi yang benar dan mana yang hoaks. Dahulu sebelum era digital kita mencari informasi entah dengan menonton tv, membaca berita di koran, mendengar dari radio atau membaca buku. Tapi, kini situasinya berbalik. Informasi yang mendatangi kita lewat gawai.

Memang tak bisa dipungkiri media sosial dan internet memberi banyak referensi tetapi juga merusak fokus dan kebiasaan multitasking dan scroll tanpa henti melemahkan daya pikir yang disebut sebagai Brain Rot.

Saya sepakat dengan seorang konten kreator yang mengatakan, “kenapa membaca itu penting karena memang sekarang kita hidup di dunia yang serba cepat dan buku membuatmu melambat, otak mu itu ngga diciptakan untuk multitasking sebanyak itu, buku membuatmu bertahan pada satu aktifitas yang sama dalam waktu yang lama dan itu membuat otak lebih sehat”.

Penulis Manusia

Bagaimana dengan kehadiran AI? Seperti pertanyaan di atas, ketika AI seperti ChatGPT, Jasper, atau Sudowrite bisa menghasilkan artikel, esai, bahkan puisi dalam hitungan detik. Jika AI bisa menulis lebih cepat dan efisien, apa yang membuat tulisan manusia tetap berarti?

Mungkin AI bisa meniru gaya, tetapi AI tidak memiliki pengalaman manusiawi: emosi dan memori. Perspektif pribadi tetap menjadi kekuatan utama penulis manusia. Manusia punya pengalaman personal yang tidak bisa ditiru AI. AI bisa digunakan sebagai alat bantu dalam mengembangkan kreativitas.

Setidaknya ada lima alasan mengapa kita masih tetap harus belajar menulis di era AI seperti sekarang ini dari seorang penulis AS Laksana:

Pertama, dengan belajar menulis kita belajar tentang ketepatan dalam berpikir, menulis membantu kita mengklarifikasi pemikiran-pemikiran kita sendiri. Jika anda tidak mampu menulis dengan jelas kemungkinan besar pikiran anda masih berantakan, dalam hal ini menulis adalah tindakan membangun pemikiran dan menyajikannya dalam cara yang dapat dipahami orang lain.

Kedua, belajar menulis berarti menghidari kekeliruan logika, kita berlatih memberi alasan yang mendukung pemikiran kita, dan menyediakan bukti-bukti untuk mempertanggungjawabkan apapun pernyataan kita. Dalam hal ini belajar menulis berarti menghindari sesat pikir.

Ketiga, belajar menyampaikan ide secara efektif. Menulis akan memberi keterampilan menyebarkan ide-ide dalam cara yang bisa dipahami oleh banyak orang dan memikat. Jika tulisan anda tidak mampu memikat orang anda pasti gagal mendapatkan pembaca, maka secara otomatis dengan menulis anda akan mendapatkan cara berkomunikasi secara efektif.

Kempat, mencegah diri dari bias pemikiran dan emosi berlebihan, banyak konflik dan kesalahpahaman berasal dari emosi yang tidak dikendalikan dan bias yang tidak disadari, belajar menulis membantu berfikir lebih objektif dan mengurangi pengaruh emosi yang berlebihan di dalam argumen.

Dan yang kelima, belajar menulis meningkatkan kemandirian berfikir. Ini tentang berfikir kritis dan kesanggupan kita tidak menerima bergitu saja apa-apa yang disampaikan orang lain tanpa mempertimbangkannya secara matang, dengan menulis sesorang dipaksa untuk mempertanyakan bahkan pandanganya sendiri, mencari bukti-bukti dan menghindari tindakan menelan mentah-mentah apa saja yang disampaikan orang lain kepada kita. (*)

  • Bagikan

Exit mobile version