MAKASSAR, RAKYATSULSEL -- Efisiensi anggaran yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Prabowo-Gibran terhadap sejumlah sektor terus menuai pro dan kontra. Kebijakan ini diambil dengan tujuan untuk menyeimbangkan keuangan negara dan memastikan bahwa anggaran digunakan secara efektif.
Namun, di sisi lain, banyak pihak yang khawatir bahwa pengurangan anggaran ini dapat berdampak langsung terhadap masyarakat, terutama bagi kalangan menengah ke bawah.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Rizal Fauzi mengatakan bahwa kebijakan ini harus dipahami sebagai langkah positif, bukan sekadar pemangkasan tanpa mempertimbangkan dampaknya.
"Pada prinsipnya, efisiensi anggaran ini perlu diterjemahkan dalam hal positif, bukan pada posisi pemerintah mengurangi semua skala-skala yang ada. Kita harus melihat bahwa anggaran itu sudah memiliki prioritas, terutama untuk pelayanan dasar yang diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU Pemda)," kata Rizal saat diwawancara, Kamis (20/2/2025).
Ia menambahkan bahwa ada beberapa sektor yang wajib mendapatkan anggaran sesuai standar layanan dasar. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa sektor-sektor esensial ini tidak terdampak oleh efisiensi yang dilakukan.
Efisiensi, menurutnya, harus difokuskan pada hal-hal yang bersifat formalitas dan tidak berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.
Contoh konkretnya, kata Rizal, terkait aspek-aspek yang bisa diefisiensikan, seperti seminar, kunjungan kerja, studi banding, dan berbagai rapat yang tidak perlu digelar di tempat mewah.
"Seminar-seminar, kunjungan atau studi banding, menurut saya, perlu diminimalisir. Termasuk di dalamnya rapat-rapat yang seharusnya bisa dilakukan secara online atau terbatas di kantor tanpa perlu menggelar acara di hotel," jelasnya.
Rizal juga menekankan bahwa fokus utama pemerintah seharusnya adalah mendorong skala prioritas yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.
Dengan demikian, efisiensi anggaran tidak mengurangi hak-hak masyarakat terhadap layanan publik yang sudah menjadi kewajiban negara.
Salah satu kebijakan yang menuai sorotan adalah pengadaan mobil dinas baru bagi para pejabat. Banyak pihak yang menilai bahwa kebijakan ini bertentangan dengan semangat efisiensi anggaran yang sedang digalakkan oleh pemerintah.
Untuk itu, Rizal menilai bahwa pengadaan mobil dinas baru di tengah upaya efisiensi merupakan tindakan yang mubazir. Ia menegaskan bahwa masih ada opsi lain yang lebih bijak dan tidak membebani keuangan negara.
"Menurut saya, pengadaan mobil dinas itu sesuatu yang mubazir di tengah efisiensi anggaran. Ada beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan, misalnya perawatan mobil lama yang masih layak pakai atau menggunakan skema penyewaan dengan melibatkan pihak ketiga tetapi dalam jangka waktu tertentu," ungkapnya.
Lebih jauh, Rizal menjelaskan bahwa meskipun skema penyewaan mobil mungkin terdengar lebih mahal, namun dalam jangka panjang bisa lebih efisien karena pemerintah tidak perlu menanggung biaya perawatan dan depresiasi kendaraan.
"Walaupun mungkin biayanya lebih besar di awal, tetapi skema ini lebih fleksibel dan tidak membebani negara dengan biaya perawatan jangka panjang. Model seperti ini jauh lebih baik dibandingkan dengan pengadaan mobil baru yang terus berulang setiap beberapa tahun," pungkasnya. (Isak Pasabuan/B)