MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo (RL) menyikapi proses eksekusi lahan berujung ricuh di Jalan AP Pettarani Makassar beberapa waktu lalu. Menurutnya, proses eksekusi lahan yang melibatkan ribuan personel kepolisian adalah tindakan yang berlebihan.
Hal tersebut disampaikan anggota legislatif penggagas tagline "Anak Rakyat" itu sebagai tindak lanjut dari aduan masyarakat yang masuk di Rumah Aspirasi Anak Rakyat di Jalan AP Pettarani, Kota Makassar.
"Isu yang akan saya coba komentari, ini sebagai narasumber, saya berbagi informasi kepada kawan-kawan. Berkaitan dengan berita yang menarik perhatian publik, atau istilah kerennya viral. Pertama, adalah kasus eksekusi lahan yang menjadi tanda tanya, kontroversi, pro kontra oleh karena diatasnya ada sertifikat," kata Rudianto kepada wartawan di Makassar, Senin (24/2).
"Ada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, inkrah, apakah ini adalah bagian dari praktek mafia tanah atau ada praktek mafia peradilan," sambungnya.
Hanya saja, Rudianto enggan mengomentari terlalu jauh terkait pokok masalahnya, mengingat dalam kasus ini masing-masing pihak ada kuasa hukumnya. Sebagai anggota Komisi III DPR RI yang konsen mengawasi kinerja kepolisian dan kejaksaan, hal yang ia kritik dalam proses eksekusi lahan tersebut adalah pengerahan anggota kepolisian yang dianggap terlalu berlebihan.
"Saya hanya mengkritisi catatan saya terkait pelaksanaan eksekusi yang banyak melibatkan anggota Polri untuk pengamanan. Kok bisa eksekusi lahan sampai menghadirkan 1.500 personel (Kepolisian). Seperti negara dalam keadaan darurat saja, banyak polisi," tegaskan.
Menurutnya, eksekusi lahan dengan pelibatan ribuan personel kepolisian patut dipertanyakan karena ini merupakan sesuatu yang tidak biasa. Terlebih, setelah pihak yang melakukan eksekusi berhasil mengambil alih lahan tersebut masih dijaga oleh aparat kepolisian.
"Ini ada apa? tidak seperti eksekusi-eksekusi lahan lain yang hanya mungkin tidak sebesar 1500, itu menjadi tanda tanya. Yang kedua setelah eksekusi, bisanya langsung bubar. Kok polisi bisa menjaga lahan-lahan itu, seakan-akan dia menjadi sekuriti atas lahan-lahan itu, ini ada apa?," tegas Rudianto mengkritik pelibatan kepolisian.
"Ini yang saya kritisi dari mitra saya Polri, khususnya kepolisian yang ada di Kota Makassar (Polrestabes). Kok bisa seperti itu, ini tidak bisanya, tentu karena tidak lazim dan tidak bisaya memunculkan pertanyaan, siapa yang main di sini," lanjutnya.
Mantan Ketua DPRD Makassar itu juga menjelaskan, masala pelibatan aparat kepolisian dalam proses eksekusi lahan telah dibahas pihaknya di Komisi III DPR RI. Mereka meminta agar institusi Kepolisian tidak dijadikan alat oleh kelompok-kelompok tertentu untuk memuluskan keinginannya.
Ia berharap agar putusan pengadilan yang masih dianggap kontroversi karena adanya dugaan keterlibatan mafia tanah maupun mafia peradilan didalamnya ikut dikaji oleh kepolisian sebelum turun melakukan pengamanan dengan melibatkan ribuan personel.
"Kami dari komisi III dalam rapat kemarin sudah menyampaikan hal serupa. Meminta kepada Kepolisian, Polri untuk tidak dijadikan alat untuk kemudian menguntungkan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu, sehingga dijadikan alat untuk mengamankan misalnya aset-aset tertentu, itu yang kita kritik, penggunaan aparat dalam eksekusi. Seharusnya polisi berhati-hati, khususnya jajaran kepolisian Polrestabes Makassar, hati-hati. Jangan ikut campur, terlibat di situ meskipun ada permintaan pengamanan dari Pengadilan Negeri Makassar," pesannya.
Untuk diketahui, eksekusi lahan yang diatasnya terdapat sembilan bangunan ruko di Jalan AP Pettarani, Kelurahan Sinrijala, Kecamatan Panakkukang, pada Kamis (13/2/2025) siang, diwarnai kericuhan.
Ribuan personel Kepolisian yang dikerahkan untuk mengawal jalannya proses eksekusi lahan tersebut bersitegang oleh massa dari warga yang telah lama menetap di kawasan tersebut bersama kelompok salah satu ormas. Massa sempat bertahan dengan memblokade satu jalur Jalan AP Pettarani. Mereka melakukan demo penolakan eksekusi sambil membakar ban di badan jalan.
Mereka juga berusaha menghalau rencana eksekusi oleh Pengadilan yang dikawal Polisi dan TNI tersebut. Bahkan ketegangan memuncak saat petugas terus merapat ke lokasi lahan yang akan dieksekusi. Kelompok massa yang mencoba bertahan berusaha menghalau petugas dengan lemparan batu.
Posisi yang sudah siap sejak pagi dengan peralatan lengkap, seperti water cannon dan kendaraan taktis (rantis) lainnya pun berusaha membubarkan massa yang mencoba menghalangi proses eksekusi lahan tersebut.
Kabag Ops Polrestabes Makassar, AKBP Darminto mengatakan kericuhan tidak berlangsung lama berkat kehadiran personel gabungan TNI-Polri yang melakukan pengamanan. Dimana ada sebanyak 1.000 personel gabungan dikerahkan ke lokasi untuk mengamankan jalannya eksekusi lahan tersebut.
"Ada 1000 personel kita kerahkan," sebutnya.
Ia juga mengungkapkan dalam kericuhan tersebut tidak ada korban jiwa. Meskipun ada beberapa orang yang diamankan karena mencoba menghalangi jalannya eksekusi.
"Ada tiga orang yang kami amankan karena menghalang-halangi jalannya eksekusi. Namun, sejauh ini tidak ada korban dalam kejadian ini," ujar Darminto.
Eksekusi lahan tersebut dilakukan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri Makassar Nomor 05 EKS/2021/PN.Mks jo.No.:49/Pdt.G/2018/PN.Mks, dalam perkara antara Andi Baso Matutu sebagai pemohon eksekusi melawan Drs. Salahuddin Hamat Yusuf, M.Si, dkk sebagai termohon eksekusi. (Isak/B)