Pangkas Kementerian, Efisiensi Anggaran ala Vietnam

  • Bagikan

Oleh: Babra Kamal
Akademisi Universitas Teknologi Sulawesi

MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Mantra itu bernama efisiensi. Ya, awal Januari 2025 sepertinya Presiden Prabowo tak punya kosa kata yang lain selain menggaungkan pemangkasan anggaran. Beberapa pengamat menyebutnya realokasi. Bagaimana tidak, di akhir tahun rakyat menanti dengan harap-harap cemas, untung PPN 12 persen tidak jadi diloloskan.

Saya berpikir bahwa Presiden Prabowo tidak ingin di awal kepemimpinannya terutama di 100 hari pertama dirujak netizen atau bahkan didemo mahasiswa karena kebijakan pajak tersebut. Namun apa mau dikata, tertanggal 22 Januari 2025 lalu, Presiden Prabowo menerbitkan Inpres Nomor 1/2025 yang mengatur pemangkasan anggaran belanja APBN 2025. Presiden Prabowo ingin menghemat anggaran belanja negara hingga Rp 306,69 trilliun.

Pajak tidak jadi naik, tapi APBN kena imbas efisiensi. Dan itu yang, saya kira, memunculkan kemarahan di media sosial, mulai dari tagar #Kaburajadulu sampai #Indonesiagelap.

Dua Dilema

Pemerintahan Presiden Prabowo setidaknya mengalami dua dilema dalam soal efisiensi ini. Pertama, pemerintahannya diwarisi defisit anggaran jumbo, baik yang berasal dari defisit APBN 2024 maupun dari utang jatuh tempo di 2025 yang mencapai Rp 507,8 trilliun. Prabowo harus menanggung beban fiskal hingga Rp 1.308,13 triliun. Itu Artinya ia harus bersiasat karena di sisi yang lain ia batal menaikkan PPN 12 persen.

Yang kedua, kabinet gemuk. Ia berbicara efisiensi sementara jumlah kabinetnya tidak menggambarkan itu. Seperti diketahui Presiden Prabowo Subianto membentuk dan merombak beberapa K/L baru hingga Kabinet Merah Putih berisi total 112 orang pejabat. Rinciannya ada 48 menteri, 56 wakil menteri, 5 kepala lembaga setingkat menteri, panglima TNI, Kapolri dan Sekretaris Kabinet.
Dilema itulah yang membawa para pengamat membandingkan efisiensi yang dilaksanakan negara lain, seperti Amerika Serikat, China, Argentina, dan Vietnam. Dalam tulisan ini saya mencoba membandingkannya dengan Vietnam.

Perbandingan

Mengapa Vietnam? Karena negara berpenduduk kurang lebih 100 juta itu punya banyak kesamaan dengan negara kita yang ingin beranjak dari negara dengan middle income menjadi negara high income. Bahkan pertumbuhan ekonomi yang dicanangkan negara Paman Ho itu sama dengan pencanangan pemerintah kita yakni, 8 persen.

Lalu apa yang membedakan program efisiensi Vietnam dengan negara kita? Pertama, efisiensi di Vietnam dijalankan dengan memangkas birokrasi. Pemerintah Vietnam melakukan efisiensi birokrasi dengan mengurangi jumlah kementerian, lembaga, dan memotong jumlah PNS, termasuk kepolisian dan militer dari 30 lembaga jadi 22 lembaga. Mendagri Vietnam, Pham Thi Thanh Tra, menyatakan langkah ini bertujuan menghemat anggaran untuk mendukung pembangunan nasional.

Ini berbalik dengan yang terjadi di tanah air. Pemerintah Presiden Prabowo melaksanakan efisiensi tanpa melakukan pengurangan kementerian dan lembaga bahkan Presiden Prabowo menambah jumlah K/L. Yang ia lakukan adalah pengalihan dana ke program yang dianggapnya lebih produktif dan bermanfaat secara ekonomi, seperti program makan siang gratis untuk lebih dari 82 juta anak dan ibu hamil, yang diperkirakan membutuhkan dana sebesar US$28 miliar per tahun.

Penghematan pemerintahan Presiden Prabowo dilakukan dengan mengurangi perjalanan dinas, meminimalkan pengeluaran untuk perlengkapan kantor, membatasi penggunaan pendingin ruangan, dan mendorong kerja jarak jauh serta pertemuan virtual. Yang terbaru adalah peluncuran Dana Anagata Nusantara (Danantara) Badan pengelola Investasi strategis yang mengkonsolidasikan investasi pemerintah.

Mengapa berbeda dengan efisiensi yang terjadi di Vietnam? Saya kira ini yang harus dijawab. Yang pertama, ini terkait dengan fundamental ekonomi di masing-masing negara. Vietnam beberapa tahun belakangan mendapat rapor yang baik dalam soal ekonomi dengan pertumbuhan yang terjaga diangka 6-7 persen.

Juga soal investasi asing, dua raksasa teknologi seperti Apple dan Samsung berinvestasi dengan nilai yang cukup fantastis di Vietnam. Apple, misalnya, berinvestasi sebesar 265,7 triliun di Vietnam bandingkan di Indonesia. Apple hanya berinvestasi sebesar 1,6 triliun. Fokus pada sektor manufaktur dan ekspor jadi kunci kesuksesan negara ini dalam menarik perhatian investor global.

Walaupun Vietnam dicap sebagai negara komunis tapi sejak tahun 1985 lewat program Doi Moi-nya Vietnam telah membuka diri dan lebih ramah terhadap investasi asing. Vietnam juga aktif menerapkan berbagai kebijakan perdagangan bebas dalam beberapa tahun terakhir. Artinya Vietnam lebih resilience secara ekonomi dibanding kita.

Yang kedua, secara politik, walaupun ekonomi Vietnam saat ini sangat terbuka, secara politik mereka tetap menganut sistem tertutup. Partai Komunis Vietnam (PKV) sangat dominan. Pemerintah Vietnam bisa melakukan pengurangan K/L karena didukung kondisi politik yang stabil.

Indonesia sebaliknya, pembentukan pemerintahan amat sarat dengan politik balas budi, penentuan jumlah K/L didorong oleh kepentingan partai politik dan relawan. Tidak hanya beratambahnya jumlah K/L, pengangkatan staf khusus di berbagai kementerian dianggap mencederai rasa keadilan rakyat. (*)

  • Bagikan