Prof. Dr. Muh. Shuhufi Abdullah, M.Ag.
MAKASSAR, RAKYATSULSEL - Reward dan punishment biasanya menjadi semacam bangunan relasional untuk memaksimalkan potensi seseorang dalam relasi sosial. Reward dapat berbentuk penghargaan, pujian atau imbalan balas jasa yang diberikan kepada seseorang karena telah berperilaku baik dan memang layak untuk memperolehnya, biasanya diberikan kepada seseorang yang telah memberikan kontribusi yang baik terhadap hubungan sosialnya. Sedangkan Punishment ini dapat berbentuk hukuman, celaan atau hinaan yang diberikan karena berprilaku kurang baik.
Dalam Islam, hubungan manusia dengan Allah swt, terkadang berwujud dalam bentuk reward. Adanya janji-janji akan disediakannya Surga nanti di akhirat bagi yang melakukan suatu perbuatan baik, misalnya janji Surga Firdaus bagi yang menepati janji. Dijanjikan kehidupan yang baik bagi yang melakukan amal kebaikan kepada orang lain dan bahkan janji balasan yang berlipat ganda ketika melakukan perbuatan tertentu.
Pada kondisi tertentu, seorang hamba melakukan kebaikan bisa saja karena hanya berharap Surga Firdaus sebagai balasan dari kebaikan yang dilakukannya, pada tingkat ini, dikhawatirkan orientasi kebaikan yang dilakukan telah bergeser dari “lillah” ke “lil Jannah” (dari Karena Allah ke Karena Surga). Padahal tingkat keikhlasan tertinggi dalam beribadah adalah “lillah” , sehingga umat Islam diharapkan tidak terjebak pada tujuan-tujuan yang lain selain kepada Allah swt.
Di sisi lain, terkadang ditemukan ancaman-ancaman yang bersifat punishment, misalnya sabda Rasulullah saw.: “Barangsiapa yang tidak menepati janji sesorang muslim, niscaya akan mendapat laknat Allah swt, malaikat, dan seluruh manusia dan tidak diterima taubat dan tebusannya”. Hadis ini memberikan gambaran tentang punishment yang diberikan kepada seorang yang mengingkari janji dan sumpahnya kepada orang lain.
Kekhawatiran yang muncul pada pola menghindari punishment ini adalah umat Islam terjebak pada stigma bahwa meninggalkan melakukan keburukan dikarena ketakutannya mendapatkan siksa atau laknat. Akhirnya yang muncul adalah penyembahan atau penghambaan hanya karena takut dimasukkan ke dalam neraka.
Pola hubungan reward-punishment ini banyak ditemukan dalam ajaran Islam, yang dapat dimaknai sebagai bentuk stimulant motivasi bagi umat Islam untuk melakukan kebaikan dan juga sebagai penguatan larangan agama pada hal-hal yang dikaitkan dengan punishmet. Sehingga dengan pola ini seakan-akan umat Islam dipaksa untuk melakukan kebaikan atau sebaliknya, dipaksa untuk meninggalkan larangan agama.
Lain halnya dengan ibadah puasa, Allah berfirman dalam hadis qudsi: “Semua amal ibadah anak Adam untuk mereka sendiri, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” Dalam firman Allah ini tidak menyebutkan bentuk reward yang akan diberikan kepada orang-orang yang berpuasa, hal ini bisa dipahami bahwa puasa itu memiliki pola hubungan khusus yang berbeda dengan ibadah-ibadah lainnya.
Pola hubungan Tuhan dan hamba dalam ibadah puasa dapat dikatakan sebagai pola “kindness” (kebaikan). Umat Islam dipersilahkan berbuat kebaikan semaksimal mungkin dalam mengisi ibadah puasa itu. Ibadah puasa tidak mudah akan dimasuki sifat riya atau ingin dipuji orang lain. Sebab ibadah puasa tidak tampak dan tidak dapat dilihat manusia karena ibadah puasa tidak memiliki ciri-ciri khusus, sehingga unsur “lillah” bisa lebih terpelihara dan terjamin orisinalitasnya.
Puasa mengajarkan umat Islam melakukan ibadah tanpa balasan dan hukuman tertentu, biarlah Tuhan yang menentukan ganjarannya berdasarkan tingkat hubungan “kindness”. Dalam tataran seperti ini, umat Islam akan berpacu untuk mengisi ibadah puasanya dengan banyak kebaikan. Kebaikan yang mungkin mengisi ibadah puasa, seperti memperbanyak membaca Alquran, menggiatkan shalat-shalat sunat, banyak bersedekah dan menjalin silaturrahim kepada sesame, keseluruhannya diarahkan untuk mendapatkan “kindness” Allah swt.
Dalam kenyataannya memang ada orang yang berpuasa tetapi kesehariannya hanya diisi dengan tidur, sebagian lainnya mengisi dengan memperbanyak bacaan Alquran dan memperbanyak shalat sunat. Puasa keduanya ini dianggap sah dalam Islam. Hanya saja karena standar hubungan Tuhan dan hamba dalam puasa adalah standar “kindness”, maka untuk menghadirkan kecintaan Allah swt., wajar jika Ramadhan dan Puasa diisi dengan beragam kebaikan yang diarahkan untuk mewujudkan kebaikan maksimal yang mengundang rida Allah swt,. (*)