MAKASSAR, RAKYATSULSEL -- Pengamat politik, Muhammad Asratillah menilai adanya pengalihan dukungan kader Golkar Palopo kepada pasangan calon Naili Trisal-Akhmad Syarifuddin (Naili-Ome) menjelang pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Palopo, akan semakin memperkuat posisinya dan berpeluang memenangkan Pilkada untuk kedua kalinya.
Dimana, salah satu kader Golkar Kota Palopo, Kafrawi, melakukan manuver politik secara terang-terangan mendukung pasangan calon Naili-Ome. Padahal, partai Golkar diketahui mengusung pasangan calon Rahmat Masri Bandaso-Andi Tenri Karta (RMB-ATK).
"Itu biasa dalam politik, para elit partai itukan selalu ingin menang dalam 'taruhan' politik. Artinya untuk mengamankan posisinya, yang mesti mereka lakukan adalah sebisa mungkin berada di pihak yang paling memungkinkan untuk menang," kata Asratillah saat diwawancara, Kamis (13/3/2025).
Adanya pengalihan dukungan ini tentun akan semakin memperkuat posisi Naili-Ome dalam PSU Pilkada Palopo dan berpeluang untuk memenangkan Pilkada yang kedua kalinya.
Asratillah menyebut, salah satu alasan para politisi mengalihkan dukungannya dikarenakan sudah ada gambaran pemetaan kondisi politik di Kota Palopo dalam Pilkada 2024 lalu. Menurutnya, hasil dalam Pilkada 2024 tersebut sudah bisa dijadikan ukuran dalam PSU tanpa harus melalui perhitungan lembaga survei.
"Kan hasil Pilkada kemarin itu sudah menjadi gambaran terang bahwa hanya ada dua kandidat yang berpeluang menang. Kandidat lainnya kecil kemungkinan untuk menang. Hasil Pilkada kemarin meskipun dinyatakan PSU kembali oleh MK, tapi itu gambaran awal dan lebih bisa dipercaya sebagai dasar untuk menentukan kondisi politik ke depan ketimbang survei," ungkapnya.
"Karena kemarin itu kan sudah pemilihan, artinya sudah ada peta kearah mana pemilih mayoritas Palopo ini memberikan dukungan. Jadi sangat realistis politisi Palopo ini, baik terang-terangan maupun tidak untuk mendukung kandidat yang berpeluang menang, walaupun partainya terdaftar di KPU mendukung kandidat lain," sambungnya.
Direktur Profetik Institute juga menyampaikan, ada banyak faktor kenapa kader-kader partai sering tidak sejalan dengan keputusan partainya. Mulai dari adanya kepentingan politis pribadi jangka panjang, juga adanya kepentingan proyek jangka pendek pasca dilantiknya kepala daerah yang memang.
Jika berkaca dari rekam jejak kader partai Golkar, Asratillah menyebut memang kebanyakan lebih prakmetis dalam melihat konstalasi politik. Bahkan bukan hanya parti Golkar saja, beberapa partai politik juga disebut kerap melakukan hal yang sama, kader-kadernya melawan partainya dengan mengalihkan dukungannya.
"Terpecahnya antar dukungan partai dengan oknum-oknum partai itu merupakan hal yang lumrah dalam pilkada, bukan hanya tingkat daerah tapi bahkan tingkat provinsi. Bukan hanya parti Golkar, tapi hampir semua parti yang mendukung kandidat lain yang suaranya kecil kemungkinan sudah mulai berpikir untuk mengalihkan dukungan pribadinya ke kandidat yang berpeluang besar untuk menang, apakah secara terang-terangan atau tidak," sebutnya.
Kondisi politik seperti ini, menurut Asratillah dikarenakan minimnya penanaman ideologi partai terhadap kader-kader partai di Indonesia saat ini. Parti disebut hanya kerap dijadikan sebagai tunggangan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, termasuk dalam posisi politik.
"Secara etis memang tidak, karena ini menandakan bahwa politisi kita tidak ideologis dalam berparti. Parti hanya dijadikan barang tunggangan, yang penting untuk mereka adalah untuk kepentingan pribadi, komitmen dan integritas dalam berparti itu dianggap nomor dua," pungkasnya. (Isak/B)